Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lazuardi Imani Hakam

AI dan Otomatisasi: Siapa yang Ditinggalkan dalam Transisi Ekonomi Digital Global?

Bisnis | 2025-03-23 21:33:14

Revolusi digital yang didorong oleh kecerdasan buatan (AI) dan otomatisasi menjanjikan efisiensi, peningkatan produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Namun, di balik optimisme ini tersembunyi kenyataan bahwa tidak semua kelompok masyarakat akan menikmati manfaat secara setara. Pertanyaan mendasarnya adalah: siapa yang tertinggal dalam transisi ini?

Dampak yang Tidak Merata Secara Global

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami ketimpangan ini adalah teori Structural Inequality, yang menjelaskan bahwa ketimpangan bukan hanya hasil dari perbedaan individu, tetapi juga akibat dari struktur sosial dan ekonomi yang secara sistematis menempatkan sebagian kelompok dalam posisi tidak menguntungkan. Dalam konteks AI dan otomatisasi, ketimpangan ini tercermin dalam akses yang tidak merata terhadap teknologi, pendidikan, dan peluang ekonomi.

Transisi menuju ekonomi digital sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur, kualitas pendidikan, dan kapasitas kelembagaan. Negara-negara dengan sumber daya dan kemampuan teknologi tinggi memimpin dalam adopsi AI, sementara negara-negara dengan keterbatasan infrastruktur digital tertinggal jauh. Kesenjangan ini memperlebar jurang pembangunan global dan memperkuat ketimpangan yang telah ada.

Menurut McKinsey Global Institute, pada tahun 2030, sekitar 400 juta hingga 800 juta pekerjaan di seluruh dunia berpotensi tergantikan oleh otomatisasi. Negara-negara dengan biaya tenaga kerja rendah dan tingkat digitalisasi rendah kemungkinan akan menghadapi disrupsi yang lebih besar tanpa kesiapan yang memadai.

Kelompok Rentan dalam Perekonomian Maju

Bahkan di negara-negara dengan ekonomi maju, manfaat AI tidak dirasakan secara merata. Pekerja di sektor manufaktur, logistik, dan ritel menghadapi risiko besar akibat otomatisasi.

Meskipun AI terbukti meningkatkan produktivitas, pekerja tanpa keterampilan teknologi yang relevan berisiko kehilangan pekerjaan atau dipaksa beralih ke peran baru dengan kondisi kerja yang kurang menguntungkan. Kawasan metropolitan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi digital, tetapi komunitas di luar pusat-pusat ini kerap tertinggal dan mengalami stagnasi.

Risiko di Asia Tenggara dan Indonesia

Asia Tenggara menghadapi ambiguitas dalam transisi digital. Di satu sisi, teknologi memberikan peluang untuk melompat langsung ke era digital tanpa melalui tahapan industrialisasi konvensional. Di sisi lain, sebagian besar tenaga kerja di kawasan ini masih bergantung pada sektor informal dan manufaktur padat karya—dua sektor yang paling rentan terhadap disrupsi teknologi.

Indonesia memiliki potensi besar dalam ekonomi digital, tetapi ketimpangan akses teknologi antara kawasan perkotaan dan pedesaan masih mencolok. Sebagian besar pelaku UMKM, yang merupakan tulang punggung ekonomi nasional, belum memiliki literasi digital yang memadai. Pekerja sektor informal pun belum sepenuhnya terlibat dalam proses transformasi ini.

Menuju Transisi yang Inklusif

Kerangka Skill-Biased Technological Change (SBTC) juga memberikan wawasan penting. SBTC menyatakan bahwa kemajuan teknologi seperti AI lebih menguntungkan tenaga kerja yang memiliki keterampilan tinggi, sementara mengurangi permintaan terhadap pekerja dengan keterampilan rendah. Tanpa intervensi yang memadai, fenomena ini dapat memperkuat eksklusi digital dan memperdalam ketimpangan sosial.

Keadilan dalam transformasi digital bukanlah keniscayaan, melainkan hasil dari kebijakan yang dirancang secara sadar. Pemerintah dan lembaga internasional perlu berinvestasi dalam pendidikan teknologi, pelatihan ulang (reskilling), serta sistem perlindungan sosial untuk mendampingi kelompok yang terdampak. Perusahaan teknologi juga harus turut bertanggung jawab dalam memastikan bahwa nilai ekonomi yang tercipta bersifat inklusif.

Indonesia dan negara berkembang lainnya perlu memperkuat kapasitas kelembagaan untuk mendampingi proses ini. Kebijakan fiskal dan insentif ekonomi harus diarahkan pada percepatan inklusi digital, termasuk pembangunan infrastruktur dan dukungan bagi UMKM serta pekerja informal.

Kesenjangan Baru dalam Kemasan Baru

AI dan otomatisasi bukan sekadar inovasi teknologi; keduanya telah menjadi kekuatan ekonomi dan sosial yang membentuk arah pembangunan masa depan. Jika tidak dikelola secara adil dan inklusif, transisi ini berisiko melahirkan generasi baru pekerja yang terpinggirkan dan memperdalam ketimpangan yang sudah ada. Pertanyaan pentingnya bukan hanya bagaimana kita mengadopsi teknologi, tetapi bagaimana memastikan bahwa dalam ekonomi digital yang sedang tumbuh, tidak ada yang tertinggal.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image