Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mohammad Farid Yacoeb, S.H., M.H.

Mencapai Keadilan yang Setara melalui Modernisasi KUHAP

Hukum | 2025-03-21 20:14:38
Photo: Bagus Ahmad Rizaldi
Photo: Bagus Ahmad Rizaldi

Modernisasi KUHAP: Kemerdekaan Tersangka dalam Sistem Peradilan

Ketika mendengar kata “tersangka,” banyak orang langsung membayangkan sosok bermasalah dan bersalah. Stigma ini begitu kuat, hingga tak ada seorang pun yang rela disematkan label tersebut. Padahal, dalam hukum, tersangka hanyalah seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti awal, bukan pelaku yang telah divonis bersalah. Namun realitasnya berbeda. Sering kali, sebelum ada putusan pengadilan, tersangka dan bahkan hingga keluarganya sudah dihujani prasangka dan perundungan sosial.

Padahal, konstitusi kita, melalui Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, menjamin bahwa setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam prinsip hukum pun dikenal asas presumptio iures de iure (setiap orang dianggap tahu hukum) dan ignorantia juris non excusat (ketidaktahuan terhadap hukum tidak bisa dijadikan alasan pembelaan). Artinya, kita seharusnya berpegang teguh pada hukum yang berlaku, bukan pada prasangka dan opini liar.

Oleh karena itu, modernisasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi langkah penting untuk memastikan sistem peradilan kita benar-benar menjunjung tinggi asas keadilan dan kesetaraan bagi setiap individu di hadapan hukum.

RUU KUHAP: Langkah Besar dalam Reformasi Hukum

Setelah bertahun-tahun dinantikan, pada 18 Februari 2025, DPR RI akhirnya menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP sebagai usul inisiatif. Langkah ini menjadi angin segar dalam reformasi hukum pidana, terutama dalam hukum acara. KUHAP yang saat ini berlaku merupakan produk tahun 1981, yang tentu saja belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan zaman. Dengan perubahan sosial, teknologi, dan dinamika hukum yang semakin kompleks, pembaruan KUHAP menjadi suatu keharusan agar sistem peradilan lebih adaptif, transparan, dan menjamin hak-hak setiap warga negara.

Nantinya, RUU KUHAP akan disesuaikan dengan KUHP baru yang mulai berlaku pada 1 Januari 2026. Harmonisasi ini penting agar kedua regulasi tersebut bisa saling menopang dan membentuk sistem hukum yang lebih terintegrasi. Jika implementasinya berjalan sesuai harapan, kita bisa melihat proses peradilan yang lebih adil, serta mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang yang selama ini masih menjadi isu krusial di dunia hukum pidana Indonesia.

Hak Tersangka: Antara Teori dan Praktik

Salah satu aspek yang paling diharapkan dari RUU KUHAP adalah aturan tegas tentang perlindungan hak asasi bagi korban, saksi, dan terutama tersangka. Sayangnya, hingga kini, konsep Miranda Rules yang populer di Amerika Serikat belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Di AS, polisi wajib memberi tahu tersangka tentang hak-haknya sebelum pemeriksaan. Jika aturan ini tidak dijalankan, maka pernyataan tersangka bisa dianggap tidak sah di pengadilan.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki aturan serupa, tetapi masih setengah hati. Pasal 56 ayat (1) KUHAP Nomor 8 Tahun 1981 hanya mengatur bantuan penasihat hukum bagi tersangka yang tidak mampu dan menghadapi ancaman pidana lima tahun atau lebih. Akibatnya, tersangka dengan ancaman hukuman lebih ringan sering kali dibiarkan menghadapi proses hukum sendirian, tanpa perlindungan yang memadai.

Hal tersebut di atas jelas menciptakan polemik ketidakadilan, sebab setiap individu berhak mendapatkan pendampingan hukum tanpa memandang status ekonomi atau tingkat ancaman hukuman yang dihadapi. RUU KUHAP harus menghapus ketimpangan ini dengan memastikan semua tersangka, tanpa kecuali, mendapatkan pendampingan hukum.

Masalah Kunjungan dan Hak Berkomunikasi

Dalam prinsip hukum acara pidana, tersangka memiliki hak untuk dikunjungi keluarga dan penasihat hukum, yang mana diharapkan RUU KUHAP kedepannya bisa mengakomodir serta menjamin agar hal tersebut benar-benar dapat terimplementasikan secara nyata. Sesungguhnya hal tersebut sudah diatur dalam Pasal 58, Pasal 69, dan Pasal 61 KUHAP. Namun ironinya, praktik di lapangan sering kali berbeda dari yang tertulis dalam regulasi.

Birokrasi yang berbelit, perubahan jam besuk yang tiba-tiba, atau aturan administrasi yang tidak jelas sering kali menjadi hambatan bagi tersangka untuk bisa bertemu dengan keluarganya atau penasihat hukumnya. Ini adalah bentuk pelanggaran terhadap hak-hak dasar tersangka, yang seharusnya bisa mendapatkan akses penuh terhadap bantuan hukum tanpa hambatan.

Dalam RUU KUHAP, diharapkan masalah teknis seperti ini harus dijabarkan secara eksplisit dan detail agar tidak ada lagi celah interpretasi yang merugikan hak tersangka. Sistem yang lebih transparan dan mudah diakses akan membantu tersangka mendapatkan perlindungan hukum yang lebih baik, sekaligus memastikan bahwa aparat penegak hukum bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku.

Keberatan atas Penahanan dan Problematika Asas Keadilan

RUU KUHAP juga mengatur hak tersangka atau penasihat hukumnya untuk mengajukan keberatan atas penahanan langsung kepada penyidik yang melakukan penahanan. Tapi di sinilah masalah muncul. Jika penyidik diberi wewenang untuk menilai keputusan penahanannya sendiri, jelas itu bertentangan dengan asas Nemo Judex in Causa Sua (tidak boleh ada yang menjadi hakim atas perkaranya sendiri).

Dalam praktiknya, aturan ini bisa menciptakan bias, di mana penyidik justru dapat menerbitkan keputusan yang bersifat tendensius. Hal ini berpotensi membuka peluang terjadinya ketidakadilan dan penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, perlu adanya mekanisme independen yang mengawasi keputusan terkait keberatan atas penahanan.

Salah satu solusinya adalah dengan tidak memberikan kewenangan itu kepada atasan penyidik atau Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Sebagai gantinya, kewenangan tersebut bisa diberikan kepada lembaga eksternal independen yang bertugas menilai, apakah penahanan tersebut sudah sesuai prosedur hukum atau tidak. Dengan cara ini, keadilan bisa lebih terjamin, dan tersangka tidak lagi berada dalam posisi rentan terhadap keputusan subjektif penyidik.

Optimalisasi Peran Profesi Advokat dalam Sistem Peradilan Pidana

Para profesional hukum yang berkecimpung dalam teknis hukum acara pidana tentu memahami bahwa KUHAP saat ini lebih condong pada crime control model. Pendekatan ini berfokus pada efisiensi sistem peradilan pidana yang mengutamakan kecepatan dalam penyelesaian perkara, tentu jelas bertolak belakang dengan prinsip due process of law yang menekankan keadilan substantif. Padahal menurut prinsip keadilan, hukum acara pidana seharusnya tidak hanya mengejar efisiensi prosedural, tetapi juga menjamin hak-hak individu dalam sistem peradilan yang berkeadilan.

Dalam konteks ini, Advokat sering kali menjadi pihak yang terkena dampak langsung dari kesewenang-wenangan oknum aparat penegak hukum. Tidak jarang, Advokat dipersulit saat ingin mendampingi kliennya, padahal hak tersebut dijamin oleh undang-undang. Prinsipnya jelas: kapan pun seorang advokat hendak bertemu klien yang berstatus tersangka dan ditahan, aparat penegak hukum wajib memberikan akses. Sayangnya, praktik di lapangan menunjukkan hal sebaliknya, Advokat kerap diabaikan, hak tersangka untuk didampingi sering kali dikesampingkan.

Pengabaian terhadap peran Advokat ini bukanlah kebetulan. KUHAP yang ada saat ini cenderung mengadopsi pendekatan presumption of guilt, di mana seorang tersangka lebih sering diperlakukan seolah sudah bersalah sejak awal. Paradigma ini bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis serta asas equality before the law, yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan kepastian hukum yang adil.

Masalah serupa juga terjadi dalam tahap penyelidikan. Seharusnya, setiap individu yang diperiksa atau dimintai keterangan berhak mendapatkan pendampingan Advokat. Namun, pada praktiknya, para terperiksa tidak diberi ruang untuk didampingi Advokat dalam tahap penyelidikan. Padahal, penyelidikan merupakan bagian integral dari sistem peradilan pidana, sehingga memastikan keterlibatan Advokat sejak awal adalah langkah penting untuk mencegah penyimpangan prosedural yang dapat merugikan hak-hak terperiksa atau tersangka.

Oleh karena itu, optimalisasi peran Advokat dalam setiap fase sistem peradilan pidana harus menjadi prioritas dalam pembaruan RUU KUHAP. RUU KUHAP tidak boleh lagi mempertahankan kesenjangan antara pilar-pilar sistem peradilan pidana yakni Pengadilan, Advokat, Kejaksaan, Kepolisian, dan Lembaga Pemasyarakatan. Sebaliknya, ia harus mengadopsi prinsip differentiation of functions yang memastikan bahwa setiap elemen sistem peradilan pidana bekerja dalam koordinasi yang sejajar, bukan dalam hubungan yang bersifat subordinatif.

Perubahan ini bukan sekadar soal reformasi hukum, melainkan upaya untuk menegakkan prinsip keadilan yang sesungguhnya. Sistem peradilan yang sehat tidak hanya bergantung pada kecepatan dan efisiensi, tetapi juga pada kepastian bahwa hak setiap individu dihormati dan dilindungi. Di sinilah peran krusial Advokat yang harus diperkuat, bukan dilemahkan.

Kesimpulan

RUU KUHAP adalah langkah besar dalam modernisasi sistem peradilan pidana. Namun, hak-hak tersangka masih harus diperjelas dan diperkuat. Akses terhadap Penasihat Hukum dalam rangka optimalisasi peran profesi Advokat, kunjungan keluarga, serta mekanisme keberatan atas penahanan harus benar-benar diatur tanpa celah interpretasi. Selain itu, aparat penegak hukum yang melanggar aturan KUHAP seharusnya dikenai sanksi tegas agar hukum tidak sekadar menjadi alat kekuasaan, tetapi benar-benar menjadi alat keadilan.

Reformasi hukum melalui RUU KUHAP diharapkan bukan hanya omon-omon aturan tertulis, tetapi juga tentang bagaimana kita memperlakukan seseorang yang masih dalam proses hukum. Jika kita bisa membangun sistem peradilan yang lebih adil dan transparan, maka kita telah selangkah lebih dekat menuju Indonesia yang benar-benar menjunjung tinggi keadilan dan hak asasi manusia.

oleh: Mohammad Farid Yacoeb, S.H., M.H.

Kabid Litbang Organisasi Pergerakan Advokat Indonesia

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image