
Kisah Cita dan Cinta di Bulan Ramadhan
Agama | 2025-03-18 15:05:57
Ismail Suardi Wekke (Cendekiawan Muslim Indonesia)
Di Jakarta, seorang pemuda yang dinamakan Hasan. Ia adalah sosok yang sederhana, namun memiliki cita-cita yang tinggi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Merantau ke Jakarta, selain untuk kuliah, juga menuntaskan tekadnya untuk menjalani kehidupan organisasi.
Setiap kali Ramadan tiba, hatinya selalu bergetar, seolah ada panggilan suci yang membisikkan harapan. Sekaligus kesempatan silaturahmi kepada keluarga, dan juga senior-senior.
Di awal Ramadan, Hasan merasa seperti memulai perjalanan panjang. Ia bertekad untuk menahan diri dari segala godaan, bukan hanya lapar dan dahaga, tetapi juga amarah dan keburukan hati.
Setiap kali dendang sahur bergema, ia bangun untuk sahur dengan semangat baru, seolah ada energi tak terlihat yang memberinya kekuatan. Sekalipun dengan segala keterbatasan. Bahkan, kadang di kedai warung Tegal, sesekali berutang.
Siang harinya, ketika terik matahari menyengat, Hasan merasakan dahaga yang begitu hebat. Namun, ia teringat akan cita-citanya untuk menjadi pribadi yang sabar dan kuat. Ia pun melanjutkan aktivitasnya dengan senyum, seolah dahaga itu tak berarti apa-apa.
Saat senja tiba, Hasan bergegas menuju masjid untuk berbuka yang disediakan takmir masjid sekaligus melaksanakan shalat tarawih. Di sana, ia bertemu dengan teman-temannya, dan mereka bersama-sama membaca Al-Qur'an. Setiap ayat yang dibaca, seolah meresap ke dalam hati Hasan, memberinya ketenangan dan kedamaian.
Begitu pula kalau ada undangan senior yang memberinya kesempatan melihat rumah mentri atau pejabat. Bahkan kantor kementerian, dimana sang senior menjadi pejabat di sana.
Namun, Ramadan bukan hanya tentang menahan diri dan beribadah. Ada satu hal lagi yang membuat Ramadan begitu istimewa bagi Hasan, yaitu cinta. Ia melihat bagaimana orang-orang di sekitarnya saling berbagi, saling membantu, dan saling memaafkan.
Setiap saat, Hasan dapat melihat seorang bapak ataupun ibu dan juga nenek tua yang hidup di gerobak. Tanpa ragu, ia menghampiri orang itu itu dan membantunya sekalipun ia juga kadang kekurangan.
Orang-orang itu tersenyum, dan senyum itu seolah menerangi hati Hasan. Ia merasa bahagia, bukan karena pujian, tetapi karena telah melakukan sesuatu yang baik dan melampaui apa yang ia miliki.
Di malam-malam terakhir Ramadan, Hasan merenungkan perjalanan spiritualnya. Ia menyadari bahwa Ramadan telah mengekalkan menjadi pribadi yang lebih baik dari masa ke masa. Ia telah belajar untuk lebih bersabar, lebih kuat, dan lebih mencintai.
Saat Idul Fitri tiba, Hasan merasa sedih karena Ramadan telah berakhir. Namun, ia juga merasa bahagia karena telah berhasil meraih cita-citanya. Ia berjanji akan terus menjaga semangat Ramadan, dan terus menebar cinta kepada sesama.
Kisah Hasan adalah kisah tentang cita dan cinta di bulan Ramadan. Ia adalah kisah tentang bagaimana seorang pemuda sederhana berhasil mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik, dengan bantuan semangat Ramadan.
Ramadan adalah Kita: Refleksi Diri dalam Bingkai Spiritual
Ramadan adalah cermin yang memantulkan hakikat diri kita. Ia adalah laboratorium spiritual di mana kita menguji dan menempa karakter, mengasah empati, dan memperdalam hubungan dengan Sang Pencipta.
Dalam sunyi malam dan lapar siang, kita menemukan ruang untuk merenungkan makna hidup, mengevaluasi tindakan, dan memperbarui komitmen pada nilai-nilai luhur.
Puasa Ramadan melatih kita untuk mengendalikan hawa nafsu, bukan hanya fisik, tetapi juga emosional dan spiritual. Ia mengajarkan kesabaran, ketekunan, dan keikhlasan.
Melalui shalat tarawih, tadarus Al-Qur'an, dan amalan lainnya, kita berusaha membersihkan hati dari noda-noda duniawi, menggantinya dengan cahaya Ilahi. Ramadan adalah proses transformasi diri, dari manusia biasa menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih dekat dengan Tuhan.
Ramadan juga merupakan bulan solidaritas sosial. Berbagi makanan, bersedekah, dan membantu sesama yang membutuhkan adalah wujud nyata dari empati dan kepedulian. Kita diingatkan bahwa di balik kemewahan yang kita nikmati, ada saudara-saudara kita yang berjuang melawan kemiskinan dan kesulitan.
Ramadan mengajarkan kita untuk tidak hanya peduli pada diri sendiri, tetapi juga pada orang lain, menciptakan masyarakat yang lebih adil dan harmonis.
Ramadan adalah momentum untuk perubahan. Ia memberikan kita kesempatan untuk meninggalkan kebiasaan buruk, memperbaiki hubungan yang retak, dan memulai lembaran baru yang lebih baik.
Spirit Ramadan seharusnya tidak berhenti saat bulan suci berakhir, tetapi terus membimbing kita dalam setiap langkah kehidupan. Nilai-nilai Ramadan seperti kesabaran, kejujuran, dan kepedulian sosial harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, menciptakan dunia yang lebih damai dan sejahtera.
Pada akhirnya, Ramadan adalah cerminan hakikat kemanusiaan kita. Ia mengingatkan kita bahwa kita adalah makhluk yang lemah, yang membutuhkan pertolongan dan bimbingan dari Sang Pencipta.
Ia juga mengajarkan kita bahwa kita adalah makhluk sosial, yang saling membutuhkan dan saling terhubung. Ramadan adalah perjalanan spiritual yang memperkaya jiwa, memperkuat hubungan dengan Tuhan, dan mempererat tali persaudaraan antar sesama manusia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.