Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anidah

Sertifikasi Halal, Mampukah Menjamin Pangan Halal?

Kulineran Halal | 2025-03-14 21:48:48

 

Bulan Oktober 2024, menandai dimulainya kewajiban sertifikasi halal di Indonesia. Pasca diundangkan dalam UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), sertifikasi halal yang semula bersifat sukarela berubah menjadi wajib. Kewajiban ini mulai diberlakukan lima tahun kemudian (2019), dan implementasinya dibagi menjadi beberapa tahapan dengan selang waktu 5 tahun untuk setiap tahapnya.

Lima tahun pertama penerapan wajib halal menyasar produk makanan dan minuman (termasuk bahan baku, BTP, dan lainnya), jasa sembelihan, produk hasil sembelihan, serta jasa pendistribusiannya. Diharapkan pada Oktober 2024 lalu, semua produk dan jasa tersebut sudah memiliki sertifikat halal. Pelaku usaha terancam sanksi berupa peringatan tertulis, denda, hingga penarikan barang dari peredaran, jika belum mengurus sertifikat halal produknya.

Faktanya hingga Oktober 2024, baru terdapat 5,3 juta produk yang memiliki sertifikat halal, dan 3,3 juta di antaranya merupakan produk UMK yang disertifikasi melalui jalur self-declare. Padahal BPJPH menargetkan 10 juta sertifikat halal pada 2024.

Pemerintah akhirnya memutuskan menunda pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan-minuman skala UMK menjadi Oktober 2026. Sementara bagi industri menengah dan besar kewajiban tetap berlaku, itu pun dengan mengeliminasi kewajiban sertifikat halal pada bahan baku impor yang masih banyak digunakan dalam industri pangan.

Kompromi Demi Target Sertifikasi?

Mengacu data BPS (2024), industri makanan & minuman di Indonesia didominasi oleh pelaku UMK yang jumlahnya mencapai 1,8 juta, dibanding industri menengah-besar yang tak lebih dari 8 ribu pelaku usaha. Keterbatasan literasi pada pelaku UMK, dinilai menjadi kendala terhambatnya proses sertifikasi halal. BPJPH akhirnya mengeluarkan prosedur sertifikasi halal jalur self-declare yang diharapkan mempermudah dan mempercepat sertifikasi halal produk UMK.

Prosedur sertifikasi halal self-declare mengacu pada pernyataan pelaku usaha yang menyatakan kehalalan dari produk dan bahan yang digunakan, serta diproduksi melalui proses yang halal. Tidak ada audit dari Lembaga Pemeriksa Halal, sebagai gantinya akan diverifikasi oleh seorang Pendamping PPH.

Namun jalur sertifikasi ini mendapat perhatian masyarakat, karena kasus kongkalikong Pendamping Halal dengan produsen Nabidz yang memanipulasi pendaftaran produk khamr sebagai jus buah anggur sehingga mendapat label halal. Juga lolosnya nama-nama nyeleneh yang semestinya dilarang digunakan untuk menamai produk halal, seperti “Tuyul”, dan “Tuak”. Kredibilitas Pendamping Halal pun dipertanyakan. Dan yang terbaru kasus bundling kue yang sudah berlabel halal dengan minuman wine oleh pelaku usaha yang tidak memahami kriteria sertifikasi halal.

Banyak kalangan akhirnya menyangsikan status sertifikasi halal self-declare. BPJPH dianggap hanya mengejar target angka sertifikasi tanpa menjaga kredibilitas dan pengawasan di lapangan. Ketiga kasus tersebut justru diketahui dari aduan masyarakat. Apalagi sertifikasi halal saat ini tidak memiliki masa kadaluwarsa atau berlaku selamanya, sepanjang produsen tidak mengganti bahan dan prosesnya.

Sertifikasi Halal Demi Raih Pasar Global

Industri halal memang menggiurkan. Pasar produk halal secara global bernilai tak kurang dari US$ 2,29 triliun pada 2023, yang menggambarkan belanja 2 miliar konsumen muslim dunia di sektor makanan, farmasi, kosmetik, mode, perjalanan, dan media/rekreasi. Nilai tersebut diproyeksikan terus meningkat ke depannya, karena permintaan di sektor ini tak hanya dari kalangan muslim, namun banyak konsumen non muslim yang menganggap produk halal lebih sehat dan higienis.

Indonesia berpotensi menjadi pemain dalam industri halal global. Dengan populasi muslim mencapai 230 juta orang, atau setara dengan 13% populasi muslim global, menjadikan Indonesia pusat produksi dan inovasi produk halal, dan pada saat yang sama menjadi pasar halal terbesar.

Dalam lndeks Ekonomi Islam Global 2023-2024, Indonesia berhasil menempati peringkat ketiga di bawah Malaysia dan Arab Saudi, sebagai negara dengan ekosistem ekonomi Islam terbesar. Kementerian Perdagangan RI, turut mencatat sektor yang menjadi penunjang ekspor halal Indonesia pada 2024 ditempati oleh produk makanan olahan (81,16%), pakaian muslim (16.48%), farmasi (1,48%), dan kosmetika (0,88%).

Sertifikasi halal dianggap strategi meraih posisi di pasar halal global. Sertifikasi yang sebelumnya bersifat sukarela melalui LPPOM MUI, diubah menjadi mandatori dengan legitimasi undang-undang. Lembaga setingkat kementerian pun dibuat untuk mengurusinya, yaitu BPJPH. Perangkat teknis regulasi disusul untuk mengatur hal-hal teknis pelaksanaannya. Produk-produk dalam negeri dengan label halal dinilai akan mudah menembus pasar halal dunia, sekaligus menghasilkan pundi pemasukan baru melalui biaya sertifikasi halal.

Faktanya banyak pihak menilai ekosistem halal di Indonesia belum siap, meski setuju untuk segera dimulai. Penerapan kewajiban sertifikasi halal melalui undang-undang yang tak dibarengi dengan kesiapan ekosistem hanya akan menimbulkan masalah baru. Salah satunya kompromi pada status halal itu sendiri.

Fokus Wajib Halal Dahulu, Sertifikat Halal Kemudian

Banyaknya pelaku UMK pangan yang belum mengantongi label halal tak melulu karena belum mengerti prosedur pengurusannya. Sebagian besar justru karena terganjal persyaratan yang tak sesuai dengan fakta di lapangan. Misalnya bahan baku daging yang digunakan oleh UMK wajib berasal dari Rumah Potong Hewan/RPH atau Rumah Potong Unggas/RPU yang telah mendapat sertifikasi halal. Faktanya RPH/RPU yang ada saat ini sangat sedikit sekali yang sudah mendapatkan sertifikasi halal, dengan penyebaran yang juga tidak merata. Kesulitan bahan baku daging tersebut menjadi kendala di hulu yang berpengaruh hingga ke hilir.

Kendalanya adalah sarana/fasilitas di RPH yang bahkan tidak memenuhi aspek higienitas dan sanitasi yang memadai. Padahal aspek tersebut merupakan persyaratan minimal yang harus dipenuhi jika akan disertifikasi halal. Kendala lainnya adalah masih sedikitnya keberadaan juru sembelih halal yang berkompeten. Sehingga daging segar di pasaran banyak yang tak mampu telusur status halalnya.

Ketidakmampuan UMK memenuhi persyaratan bahan baku daging yang halal adalah cerminan tak mampunya negara dalam menjamin kehalalan bahan daging segar sejak dari hulu. Selama masalah di hulu tersebut belum diselesaikan, maka permasalahan sertifikasi produk pangan akan tetap ada.

Negara seharusnya fokus pada "wajib halal" sebelum mewajibkan sertifikasi halal. Artinya negara menjamin semua produk harus memenuhi standar halal terlebih dahulu. Halal yang jadi kewajiban, sedangkan sertifikasi halal adalah pendukung klaim halal. Pendekatan ini lebih efektif dan realistis, daripada menghabiskan waktu, biaya, dan tenaga di hilir, sebaiknya meletakkan fokus di hulu yang produknya sudah pasti mengalir ke hilir.

Penjaminan halal bermakna seluruh proses yang terlibat dalam mata rantai pangan dipastikan berasal dari sumber yang halal, diproses dengan cara yang halal, dan bebas dari kontaminasi najis atau bahan haram. Jika pengaturan mata rantai pangan halal sudah terjamin, barulah sertifikasi halal diterapkan. Sehingga masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan produk halal tanpa merasa waswas akan tercampur dengan yang haram. Di sisi lain pelaku usaha pun sudah siap karena telah memenuhi persyaratan. Penjaminan halal tersebut mutlak membutuhkan keterlibatan semua pihak baik negara, swasta, maupun individu.

Allah SWT yang memerintahkan untuk mengonsumsi pangan halal, sebagaimana firmannya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi ” (QS Al-Baqarah: 168).

Sertifikasi halal produk bisa menjadi salah satu cara untuk memastikan dan menjamin status kehalalannya.

"Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang musyta-bihat (syubhat), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat, sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya..." (HR. Muslim).

Sertifikasi halal memang diperlukan, khususnya untuk produk yang memiliki titik kritis halal, dan yang belum jelas statusnya. Penetapan status halal-haram menjadi tanggung jawab negara dengan memberdayakan kolaborasi para ilmuwan yang akan menelaah fakta dan ulama yang menggali nash syara untuk menetapkan statusnya.

Namun jika negara berhasil menjamin produk halal dari hulu hingga hilir, sertifikasi halal mungkin tidak perlu diterapkan untuk seluruh barang/jasa. Dengan menjadikan halal & thoyyib sebagai payung utama penyediaan pangan masyarakat, peredaran barang haram, dan kontaminasi barang halal dengan barang haram akan mampu diminimalisir.

Semua itu hanya bisa dilakukan jika negara melandaskan pengaturan urusan masyarakat dengan akidah Islam bukan kemanfaatan. Akidah Islam menjadikan para pemimpin berhukum dengan syariat secara kafah, termasuk penjaminan pangan halal adalah perkara yang wajib dilakukan oleh negara.

Negara wajib berinvestasi pada teknologi pendukung inovasi pangan, untuk menyediakan bahan-bahan spesifik yang diperlukan industri pangan. Dengan tujuan agar terhindar dari ketergantungan pada produk impor yang belum jelas status halalnya.

Negara juga akan mengatur dengan ketat peredaran bahan haram, seperti produk asal babi, khamr, dan lainnya, tidak diizinkan beredar secara bebas. Kafir dzimni bisa mendapatkannya hanya secara terbatas di tempat yang telah diizinkan saja.

Upaya yang tak kalah penting adalah meningkatkan literasi masyarakat tentang halal. Halal-haram adalah wujud ketaatan seorang muslim. Tak boleh ada kompromi dalam urusan halal dan haram. Semua itu bisa ambyar jika pengetahuan halal umat terbatas pada asal bukan babi dan khamr.

Halal-Haram bagi umat muslim adalah mutlak dan berhubungan dengan faktor keimanan dan ketundukan pada syariat Islam. Hanya dengan penerapan Islam secara kafah yang mampu mewujudkan penjaminan pangan halal untuk masyarakat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image