
Manajemen Kuda Mati dalam Birokrasi
Kolom | 2025-03-03 14:47:05
Mengapa suatu birokrasi tidak maju-maju dan selalu terganjal masalah? padahal kita sudah melakukan berbagai inovasi yang efektif dan efisien. Atas pertanyaan tersebut, jawabannya adalah barangkali kita menggunakan manajemen kuda mati (the dead horse management) dalam birokrasi. Tanpa sadar, kita sering mempertahankan strategi yang sudah tidak relevan atau berpegang teguh nilai-nilai yang sudah usang terkubur oleh kemajuan zaman sehingga kita menyangkal kebenaran dan tetap mempertahankan cara-cara lama yang diyakininya.
Manajemen kuda mati adalah suatu metafora yang menggambarkan suatu kondisi dimana para birokrat mengetahui masalah birokrasi secara gamblang namun seolah-olah tidak mengetahuinya atau memang tidak memahaminya. Artinya jika kita mengetahui kuda yang ditunggangi telah mati maka langkah logisnya adalah turun dan meninggalkan kuda tersebut bukan mencari cara atau menyusun strategi untuk menghidupkannya kembali. Demikian pula dalam birokrasi. Jika kita sudah mengetahui strategi yang kita gunakan, nilai yang kita pegang tidak mampu menyelesaikan masalah birokrasi, maka kita harus meninggalkan strategi tersebut, bukan malah mempertahankannya mati-matian;
Pertama, membeli pelana baru untuk kuda mati. Kuda yang sudah mati dihiasi, dilengkapi dengan peralatan baru dengan harapan dapat hidup kembali. Bahkan kuda yang sudah mati diganti tapal kakinya agar tidak merasakan sakit dan dapat berlari kencang.
Para birokrat cenderung menghiasi birokrasi secara lahiriah agar tampak menarik demi memajukan birokrasi namun strategi tersebut tidak cukup ampuh. Birokrasi yang penuh masalah akibat kesalahan strategi tidak dapat diperbaiki hanya dengan polesan lahiriah. Kegiatan memoles sesuatu yang tampak lahiriah bukan solusi tepat untuk menghidupkan kembali birokrasi yang penuh masalah.
Kedua, mengganti penunggang kuda yang baru. Penunggang baru diharapkan bisa mengendarai dan mengendalikan kuda yang sudah mati. Penunggang baru diharapkan dapat mengendarai kuda mati secara kencang padahal sudah tergeletak tidak berdaya.
Para birokrat akan menyeleksi dan menyaring secara ketat calon birokrat dengan berbagai penilaian kompetensi, bahkan rela memecat orang lama yang kompeten agar birokrasi dapat berakselerasi kembali, namun kenyataannya tidak. Birokrasi semakin runyam dan semakin mendekati kebangkrutan. Perekrutan calon birokrat baru yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah justru menambah masalah. Hal ini disebabkan karena penyelesaian masalah birokrasi hanya melihat dari perspektif tunggal yaitu sumber daya manusia padahal persoalan bukan SDM-nya namun strategi dan nilai yang diyakini tidak tepat.
Ketiga, mengumpulkan para ahli untuk membahas strategi percepatan kuda. Para ahli diajak berdiskusi tentang tata cara menghidupkan kuda yang sudah mati. Bahkan mereka rela menggelontorkan dana untuk membiayai kegiatan tersebut.
Para birokrat sering berkumpul, berdiskusi, tukar guling pikiran untuk merumuskan strategi yang efektif semata-mata untuk merumuskan strategi percepatan laju birokrasi ternyata birokrasi malah jalan di tempat. Tujuan untuk meningkatkan prestasi dan kepercayaan publik ternyata hanya isapan jempol semata sebab tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada. Tema pembahasan diskusi bukan terkait masalah pokok namun masalah asesor sehingga tidak menjawab akar persoalan. Doktrin-doktrin yang dianggap sakral tidak boleh didiskusikan apalagi didugat karena khawatir birokrasinya semakin bangkrut.
Keempat, membentuk tim khusus untuk meneliti dan mengkaji penyebab kuda mati. Kuda yang sudah mati diteliti secara detail hingga menghabiskan waktu berlarut-larut.
Para birokrat dengan penuh semangat menyusun laporan berbulan-bulan, mengadakan pertemuan intensif dengan mengusulkan beberapa solusi dan ide, padahal sejak awal sudah diketahui bahwa strategi tersebut tidak relevan, nilanya sudah usang. Baru setelah sekian lama, para birokrat menyadari bahwa birokrasi ini memang sudah benar-benar bangkrut. Mengapa birokrasi mengalami collapse setelah sekian lama beroperasi? Karena birokrat tidak sadar atas kekeliruannya selama ini yaitu mempertahankan nilai/strategi yang sudah tidak relevan. Mereka rela terjebak dalam ilusi intelektual dalam kurun waktu yang lama, bukan untuk mencari alternatif tetapi mencari pembenaran.
Kelima, karena waktu, tenaga dan pikiran yang sudah terbuang, mereka enggan mengakui kenyataan. Mereka malah membandingi dengan kuda yang masih hidup bahkan memberikan latihan khusus untuk menghidupkannya.
Para birokrat yang sudah menghabiskan energi, biaya dan waktu untuk memperbaiki portofolio semakin penasaran dan semakin semangat memberikan treatment khusus agar birokrasinya maju kembali namun kenyataannya malah mengalami kegagalan. Para birokrat cenderung mengulur-ngulur waktu, bahkan senang mencari celah untuk memperkuat argumennya. Bahkan birokrat senang menganalogikan strateginya dengan strategi lain guna mendapatkan dukungan pembenaran. Energinya habis untuk membanding-bandingkan bukan mencari solusi penyelesaian.
Keenam, pada akhirnya mereka lelah, kemudian mengganti definisi “mati” dengan harapan kudanya tetap hidup bahkan mereka marah jika dikatakan kudanya telah mati.
Para birokrat yang terlibat dalam pembangunan birokrasi suka mencari alternatif lain yang tidak substantif seperti mengganti merek dan merekayasa judul agar menghidupkan kembali birokrasinya namun teryata sia-sia. Birokrat senang memainkan retorika untuk menutupi masalah biroksasi di ruang publik. Namun cara tersebut tidak ampuh, justru bau busuknya tercium kemana-mana. Oleh karena itu, birokrat harus mampu menemukan langkah substantif untuk memecahkan masalah secara solutif.
Dari manajemen kuda mati, kita dapat mengambil pelajaran dalam dunia birokrasi sebagai berikut:
Pertama, kita hidup bukan untuk selalu menyangkal keadaan namun bersedia menerima keadaan dengan penuh kesadaran dan kewarasan. Jangan pernah membuang waktu, tenaga dan uang untuk hal yang sia-sia padahal kita mengetahui solusinya sejak awal. Dalam konteks birokrasi, setiap birokrat harus bergegas pindah dari zona nyaman. Zona nyaman meninabobokan dan menutup harapan sehingga kita akan terjebak dalam praktik yang stagnan.
Kedua, sikap ksatria yang harus dilakukan adalah menerima dan mengakui kegagalan. Kita harus muhasabah diri dan menganalisis penyebab kegagalan dan segera mencari solusi baru untuk membangun program atau proyek baru. Proyek maupun program yang terbukti gagal dan tidak memberikan dampak bagi perbaikan segera ditinggalkan kemudian mencari alternatif baru dengan mengalokasikan sumber daya manusia yang mumpuni.
Ketiga, Setiap birokrat segera mengembangkan strategi baru, orientasi baru, tujuan baru dan paradigma baru yang berbeda dari strategi yang lama. Kita dilarang takut akan kegagalan dan kita wajib mencoba hal-hal baru meskipun taruhannya adalah nasib diri sendiri.
Keempat, setiap birokrat harus mendorong perubahan. Dirinya harus mampu mengomunikasikan perubahan kepada rekan kerja maupun masyarakat sehingga perubahan tersebut benar-benar dilaksanakan. Dengan beberapa langkah tersebut, situasi manajemen kuda mati dapat diatasi dengan manajemen baru yang lebih adaptif dan responsif dalam mencapai tujuan birokrasi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook