
Ketabahan atas Penganiayaan: Strategi Dakwah dan Warisan Perdamaian Nabi Muhammad
Khazanah | 2025-02-26 07:34:41
Mukadimah
Setelah Nabi Muhammad ﷺ mulai menyebarkan ajaran Islam secara terbuka, para pengikutnya yang masih sedikit segera menghadapi penderitaan yang luar biasa. Menyatakan iman kepada Nabi ﷺ secara terbuka akan berujung pada penyiksaan tanpa ampun bahkan ancaman eksekusi.
Orang-orang dari kalangan bangsawan Mekah, seperti sahabat Abu Bakar r.a., dipukuli hingga pingsan di jalanan, sedangkan budak seperti Bilal bin Rabah r.a. dan Shuhaib bin Sinan r.a. dirantai dan dibiarkan terpapar terik matahari di padang gurun.
Ada pula kisah masyhur tentang seorang wanita syuhada pertama, yaitu Sumayyah binti Khayyat r.a., yang dibunuh dengan tombakan di panggulnya, dan putranya, Ammar bin Yasir r.a., disiksa dengan api hingga ia terpaksa berpura-pura mengingkari imannya.
Begitu pula Khabbab bin Al-Aratt r.a. yang dipaksa berbaring di atas bara api dan harus mencium aroma dagingnya sendiri yang terbakar. Beberapa kekejaman yang kami sebut ini bahkan terus meningkat seiring berjalannya dekade tragis karena kekejaman kaum kafir Quraisy.
Penganiayaan terhadap Nabi Muhammad ﷺ Sendiri
Nabi Muhammad ﷺ sendiri mengalami perlakuan yang sangat brutal dari para penyembah berhala (pagan kafir) Quraisy. Mereka tidak melewatkan satu kesempatan pun untuk mendemonstrasikan kebencian mereka terhadap beliau, termasuk menceraikan putri-putrinya, serta mengasingkan dan mengeksploitasi seluruh bani beliau selama tiga tahun.
Serangan fisik terhadap beliau sangat beragam, mulai dari ‘Uqbah bin Abi Mu’aith yang mencekik beliau dari belakang saat Nabi Muhammad ﷺ sedang shalat di tempat umum, Abu Jahal yang memerintahkan sisa-sisa usus unta untuk dibuang di atas beliau saat beliau bersujud, hingga ‘Utbah bin Abi Lahab yang meludah ke arah beliau, serta orang-orang lain yang memukuli beliau hingga Sang Nabi ﷺ pingsan.
Strategi Ketabahan dan Respons Non-Kekerasan
Selama periode penganiayaan ini, terdapat beberapa elemen kunci yang dapat dicatat dari peristiwa sejarah tersebut. Nabi Muhammad ﷺ secara jelas mengarahkan kebijakan ketabahan dan respons non-kekerasan di tengah provokasi berulang dari Quraisy.
Provokasi ini semakin parah seiring dengan meningkatnya rasa frustrasi kaum kafir Quraisy akibat kegagalan mereka menghentikan dakwah beliau. Meskipun upaya kafir Quraisy untuk menanamkan rasa takut kepada publik terus dilakukan, justru jumlah pengikut Islam tetap bertambah.
Abu Lahab, salah satu paman Nabi Muhammad ﷺ yang sangat memusuhi beliau, mulai melemparkan hinaan kepada beliau sejak awal dakwah beliau kepada anggota baninya sendiri di atas bukit Shafa dekat Ka’bah. Insiden ini membuka jalan bagi tindakan ejekan publik terhadap umat Islam menjadi biasa dilakukan oleh kafir Quraisy, terutama ketika kaum Muslim sedang shalat di Ka’bah.
Kampanye Fitnah dan Propaganda Quraisy
Kafir Quraisy melakukan upaya terkoordinasi untuk menggagalkan penyebaran Islam dengan memandang para Muslim sebagai penjahat pemberontak yang meninggalkan agama pagan nenek moyang mereka. Upaya ini dilakukan baik di dalam maupun di luar Mekah, karena orang-orang dari seluruh Semenanjung Arab yang sering datang ke Mekah untuk berhaji dan berdagang mulai berinteraksi dengan beliau dan pesan Islam.
Al-Walid bin Al-Mughirah, seorang tokoh elite dan pengusaha berpengaruh di Mekah, memulai serangkaian kampanye fitnah terhadap Nabi Muhammad ﷺ di sebuah dewan para pemimpin suku. Dalam kampanye tersebut, ia merancang rencana untuk menuduh Nabi Muhammad ﷺ sebagai seorang penyihir.
Tindakan ini dilakukan olehnya sebagai cara untuk memperingatkan kaum Quraisy terhadap pengaruh kata-kata beliau saat membacakan Al-Qur’an yang sungguh membuat pendengarnya terpukau. Insiden historis lain tentang upaya propaganda tambahan yang dilakukan oleh kafir Quraisy, antara lain dengan menuduh beliau sebagai pembohong, orang gila, kerasukan, bahkan sebagai penyair yang memikat dan memanipulasi orang untuk mengikutinya. Kesemua fitnah ini tercatat dalam Al-Qur’an.
Tantangan Kepemimpinan dan Ketahanan Komunitas Muslim
Nabi Muhammad ﷺ merasakan penderitaan karena para pengikutnya mengalami kesulitan dan juga karena beliau ﷺ merasa tidak mampu melindungi mereka dari bahaya. Nabi ﷺ juga merasakan kesedihan karena tidak dapat meyakinkan masyarakat luas terhadap kebenaran Islam—termasuk banyak anggota bani beliau sendiri.
Meskipun demikian, strategi yang beliau ambil tetap sama, yakni dengan cara: terus mengajak orang dengan menggunakan pendekatan moral dan akal rasional dibandingkan dengan menggunakan kekuatan yang berpotensi lebih merusak. Hal ini disebabkan, karena dilihat dari perspektif masyarakat sukuisme, setiap provokasi dari Quraisy akan menjadi alasan yang cukup untuk perang antara suku-suku yang terlibat.
Namun, yang terlihat dari pribadi agung Nabi Muhammad ﷺ adalah pengendalian diri beliau yang belum pernah terjadi sebelumnya, keyakinan, dan ketabahan yang hanya dapat dicapai dengan wawasan spiritual dan moral yang sangat-sangat besar. Wawasan ini menjadi landasan strategi kepemimpinan untuk upaya mereformasi Quraisy secara hati-hati, yang dibangun oleh Nabi Muhammad ﷺ pada tahap ini di Mekah.
Hijrah ke Madinah dan Warisan Perdamaian
Akhirnya, Nabi Muhammad ﷺ mengakhiri masa penganiayaan ini dengan peristiwa hijrah bersama para Sahabatnya ke Madinah. Keputusan ini diambil sebelum meninggalkan legasi tak tertandingi tentang pengampunan (mercyful) dan perlakuan yang penuh martabat (harga diri) terhadap musuh.
Peristiwa hijrah ini tidak hanya menyelamatkan komunitas Muslim dari kehancuran yang diancam oleh peperangan yang semakin dekat, tetapi juga membuka babak baru dalam sejarah Islam dengan permulaan dari penyusunan komunitas yang lebih stabil dan mampu berkembang di Madinah.
Meskipun menghadapi tantangan besar, keputusan untuk menghindari konflik berskala besar dan memilih jalan perdamaian di Mekah ini menunjukkan kebijaksanaan dan kekuatan spiritual Nabi Muhammad ﷺ, yang kemudian menjadi fondasi bagi penyebaran Islam yang lebih luas pada masa depan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook