Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Fathu Makkah dan Kesatuan Umat: Saat Islam Dihimpit Kekuasaan Absolut Romawi dan Persia

Dunia islam | 2025-02-24 11:12:20
Ilustrasi fathu Makkah (Sumber: ppalanwar.com)

Berdasarkan pemikiran Ahmad Mansur Suryanegara yang terdapat di dalam buku Api Sejarah Jilid I,[1] terdapat pembahasan mendalam mengenai posisi Islam dalam konteks geopolitik yang jauh lebih luas, terutama yang berkaitan dengan dua kekaisaran besar. Kedua kekaisaran besar ini menjadi tantangan besar bagi Rasulullah ﷺ dan umat Islam pada masa awal penyebarannya, yaitu Kekaisaran Romawi Nasrani dan Kekaisaran Persia Majusi.

Islam dalam konteks geopolitik tidak pernah menekankan strategi yang bersifat agresi atau imperialisme. Sebaliknya, ajaran Islam lebih menekankan pada perang sebagai bentuk pembelaan diri, sebuah sikap yang tercermin dalam Surah Al-Baqarah ayat 194 yang menyatakan bahwa peperangan hanya dibolehkan untuk mempertahankan diri, bukan untuk menyerang atau memperluas kekuasaan.

Oleh sebab itu, siapa yang menyerang kamu, seranglah setimpal dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Baqarah: 194)

Islam sebagai Alat untuk Membela Diri dan Penentangan terhadap Kekaisaran Absolut

Pemikiran Suryanegara menyoroti bagaimana kebangkitan kesadaran hukum Allah, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, mampu menggoyahkan kekuasaan absolutisme yang diterapkan oleh kekaisaran-kekaisaran besar seperti Kekaisaran Romawi dan Persia.[2] Pada masa itu, kedua kekaisaran ini tidak mengenal pembatasan kekuasaan mereka dengan hukum atau aturan apa pun, berbeda dengan ajaran Islam yang memberikan pembatasan dan pengaturan yang jelas dalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam kehidupan sosial, politik, maupun perekonomian.

Oleh karena itu, Islam menjadi momok yang menakutkan dan tantangan yang amat besar bagi kekuasaan absolut seperti yang dimiliki oleh Kaisar Romawi dan Shah Persia. Islam memperkenalkan konsep bahwasanya pemimpin, baik itu raja, kaisar, atau sultan, haruslah mendasarkan segala tindakannya pada hukum Allah, yang tidak hanya berlaku bagi rakyat jelata tetapi juga bagi para penguasa.

Ajaran Islam mematahkan semua pemikiran dan anggapan bahwa kekuasaan seorang penguasa adalah mutlak dan tidak terbatas oleh hukum apa pun. Islam datang memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan pola pikir di dunia Arab dan sekitarnya, bahkan menyebar dan bertahan di seluruh dunia hingga yaumil qiyamah.

Persatuan Melalui Ancaman Bersama: Kesatuan Bangsa Arab

Mansur Suryanegara lebih lanjut menjelaskan bagaimana tantangan dari Kekaisaran Romawi dan Persia memberikan hikmah besar bagi Islam, yaitu terciptanya kesatuan umat yang lebih solid. Tidak ada seorang rasul pun dalam sejarah yang tidak menghadapi tantangan besar, demikian pula Rasulullah ﷺ. Kehadiran kekaisaran-kekaisaran besar tersebut menjadi pengikat bagi umat Islam, karena adanya musuh bersama (common enemy) yang mengancam keberadaan mereka.

Penting untuk dicatat bahwa pasca-Fathu Makkah dan kemenangan Islam atas Quraisy, Islam dihadapkan dengan tantangan internal yang cukup berat, yaitu pemulihan kehidupan damai pascaperang saudara antarbangsa Arab. Namun, Rasulullah ﷺ memberikan contoh mulia dengan menerapkan kebijakan amnesti massal pada kaum Quraisy yang kalah.

Di bawah sistem kesukuan yang berlaku, kaum Quraisy yang dominan merasa superior dan menindas kelompok yang lebih lemah, termasuk budak dan orang-orang yang bukan keturunan Quraisy. Namun, dengan kebijakan amnesti ini, Rasulullah ﷺ tidak hanya membebaskan umat manusia dari perbudakan sosial, tetapi juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk memulai hidup baru tanpa rasa takut akan pembalasan atau diskriminasi. [3]

Salah satu momen yang sangat bersejarah adalah pembersihan Kakbah dari berhala-berhala yang telah lama menjadi simbol paganisme (politeisme) masyarakat Quraisy. Rasulullah ﷺ, dengan dibantu oleh sepupu dan menantunya, Ali bin Abi Thalib r.a., mengangkat tabir yang menutupi pintu Kakbah dan memasuki bagian dalamnya. Di dalam Kakbah, terdapat banyak berhala yang dihormati oleh masyarakat Quraisy sebagai simbol dewa-dewa dan nabi mereka, seperti berhala Hubal yang dianggap sebagai dewa utama mereka.

Rasulullah ﷺ tidak hanya menghancurkan berhala-berhala ini, tetapi juga memberikan simbolisme yang mendalam dengan menghancurkan patung-patung dewa tersebut dan menggunakannya sebagai anak tangga menuju pintu Kakbah. Pemusnahan berhala ini menunjukkan bahwa kekuasaan Allah adalah yang tertinggi dan tidak ada lagi tempat bagi keyakinan atau penghambaan kepada selain-Nya.

Perubahan ini juga menggambarkan bagaimana Islam menghapuskan sistem penyembahan berhala dan menggantinya dengan monoteisme yang murni, yaitu tauhid. Kemenangan ini tidak hanya kemenangan gilang-gemilang bagi umat Islam, tetapi juga sebagai kemenangan bagi seluruh umat manusia yang sebelumnya hidup dalam sistem keyakinan yang penuh dengan ketidakadilan dan penyembahan berhala.

Amnesti massal dan pemusnahan seluruh berhala ini menghilangkan permusuhan dan kemusyrikan yang ada, serta memberikan peluang bagi banyak orang untuk memasuki Islam, termasuk di dalamnya para musuh-musuh yang sebelumnya memerangi umat Islam. Amnesti massal juga menjadi simbol Islam yang rahmatan lil ‘alamin—agama yang membawa kedamaian bagi seluruh umat manusia, termasuk mereka yang sebelumnya merupakan musuh.

Fathu Makkah: Revolusi Tanpa Setetes Darah

Dalam konteks Fathu Makkah atau Pembebasan Mekah, Nasaruddin Umar, Menteri Agama Republik Indonesia, memberikan perspektif yang sangat penting mengenai rekonsiliasi dan revolusi tanpa kekerasan.[4] Beliau menekankan bahwa salah satu momen paling monumental dalam sejarah Islam ini adalah tindakan penuh kebijaksanaan dan belas kasih yang diambil oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam menghadapi musuh-musuhnya.

Hal ini terlihat ketika pasukan Nabi ﷺ akhirnya berhasil mencapai perbatasan kota Mekah, kaum Quraisy mulai merasa ketakutan yang mendalam. Dalam tradisi peperangan Arab, setelah kalah dalam pertempuran biasanya kaum yang kalah akan dihukum mati, sedangkan perempuan dan anak-anak mereka akan dijadikan budak. Ketakutan akan pembalasan darah meliputi hati mereka, tetapi para musuh Nabi ﷺ terkejut ketika Nabi Muhammad ﷺ mengumumkan dengan suara keras: “Antum thulaqa!” yang artinya “Kalian semua sudah bebas!”

Nasaruddin Umar menilai tindakan Nabi ini sebagai kearifan luar biasa yang patut dicontoh oleh siapa pun. Ketika salah satu sahabat Nabi ﷺ, dalam kegelisahannya secara tidak sengaja mengatakan “Al-yau yaumul malhamah” (Hari ini adalah hari pertumpahan darah), banyak orang menjadi takut. Namun, Nabi ﷺ menjelaskan bahwa maksudnya adalah “Al-yaum yaum al-marhamah” (Hari ini adalah hari kasih sayang). Hal ini menunjukkan sikap kebijaksanaan Nabi Muhammad ﷺ dalam mengelola ketegangan dan menenangkan ketakutan yang melanda umatnya.

Apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam peristiwa Fathu Makkah adalah sebuah revolusi tanpa kekerasan atau sebuah pembebasan tanpa balas dendam yang luar biasa. Dunia tercengang menyaksikan perubahan besar yang terjadi tanpa satu tetes darah pun.

Revolusi Nabi Muhammad ﷺ menjadi contoh bagaimana sebuah perubahan besar dalam masyarakat dapat dilakukan dengan biaya murah dan tanpa kekerasan fisik, hanya melalui kebijaksanaan, pengampunan, dan rekonsiliasi yang penuh kasih sayang.

Nasaruddin Umar melanjutkan bahwa rekonsiliasi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam hal ini menjadi sebuah contoh revolusioner dalam sejarah manusia. Penyelesaian konflik tanpa kekerasan yang dilakukan Rasulullah ﷺ di Mekah menampilkan nilai-nilai Islam yang tidak hanya berfokus pada kemenangan militernya, tetapi lebih pada mewujudkan kedamaian dan keutuhan umat manusia. Dengan menyatukan umat yang terpecah, tanpa melakukan kekerasan lebih lanjut, Nabi berhasil membentuk masyarakat yang lebih adil dan harmonis, di mana semua lapisan masyarakat dapat hidup berdampingan dengan saling menghargai.

Perang Sebagai Pembelaan Diri dan Pengalihan Fokus ke Musuh Bersama

Setelah terjadinya amnesti massal, pergeseran fokus dari permusuhan internal kepada ancaman eksternal semakin nyata. Umat Islam mulai mengalihkan fokus peperangan mereka untuk melawan musuh bersama, yakni Kekaisaran Romawi Nasrani dan Persia Majusi. Dalam hal ini, perang bukan lagi menjadi sarana untuk mempertahankan diri dari sesama umat manusia, melainkan untuk menghadapi ancaman dari luar yang bisa menghancurkan keutuhan umat Islam.

Berdasarkan pemikiran Suryanegara, ancaman eksternal ini menjadi katalisator untuk mempercepat proses terbentuknya kesatuan bangsa Arab, yang sebelumnya terpecah akibat perbedaan keyakinan. Islam dengan ajarannya yang mengajarkan kedamaian dan persatuan ini berhasil menjadi simbol kesatuan bagi seluruh umat Islam di Jazirah Arabia. Hal ini berlanjut pada masa-masa berikutnya, di mana Islam berkembang sebagai agama yang tidak hanya mengatur kehidupan individu tetapi juga menjadi dasar bagi perjuangan politik dan kemerdekaan umat Islam dari penjajahan dan imperialisme Katolik Portugis dan Protestan Belanda.

Pengaruh Islam di Nusantara dan Perjuangan Melawan Imperialisme Barat

Tantangan dari Kekaisaran Romawi dan Persia juga memberikan pengaruh besar terhadap masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara, Indonesia.[5] Suryanegara menjelaskan bahwa Islam hadir di Nusantara tidak hanya sebagai agama yang dipeluk oleh masyarakatnya, tetapi juga sebagai simbol perjuangan melawan imperialisme Barat yang mulai menguasai Asia pada abad ke-16. Kolonialisasi oleh Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris yang membawa serta agama Kristen ini memaksa rakyat jajahan untuk berpindah agama melalui misi yang disebut Gospel atau Kristenisasi.

Namun, seperti halnya dengan perjuangan melawan Kekaisaran Romawi dan Persia, Islam di Nusantara menjadi lambang kesatuan dalam melawan penjajahan. Ulama dan cendekiawan Islam di Indonesia, Mesir, Aljazair, dan Persia memainkan peran penting dalam perjuangan nasional melawan imperialisme Barat.

Islam memberikan kesadaran akan adanya musuh bersama yang harus dilawan, yaitu kekuatan imperialisme yang berusaha menindas rakyat dan merampas kekayaan mereka. Dalam konteks ini, Islam tidak hanya menjadi agama yanfg bernuansa spiritualitas saja, tetapi juga menjadi landasan perjuangan politik untuk kemerdekaan dan pembebasan dari penindasan.

Kesimpulan: Islam sebagai Agama Pembebas dan Pembela Keadilan

Secara keseluruhan, pemikiran Ahmad Mansur Suryanegara mengenai pengaruh Islam dalam sejarah politik global dan perjuangan umat Islam menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian, kesetaraan, dan keadilan. Islam tidak mengajarkan agresi atau imperialisme, tetapi lebih menekankan pada perang sebagai pembelaan diri dan sebagai reaksi terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh kekuatan eksternal seperti Kekaisaran Romawi dan Persia.

Dalam sejarahnya, Islam telah berperan sebagai kekuatan yang menyatukan umat manusia, melawan penindasan, dan memperjuangkan kebebasan dan keadilan, baik dalam konteks sosial, politik, maupun spiritual. Perubahan yang terjadi di Mekah, dari pusat penyembahan berhala menjadi pusat agama tauhid, menjadikan Kakbah sebagai “Rumah Allah” yang kini menjadi tempat ibadah bagi umat Islam di seluruh dunia.

Referensi

[1] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 1: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ed. oleh Nia Kurniawati, Anni Rosmayani, dan Rakhmat Gumilar, Rev., Api Sejarah (Bandung: Suryadinasti, 2014), https://books.google.co.id/books?id=0AMxDwAAQBAJ.

[2] Meski Islam mendapatkan ancaman dari Nasrani Romawi, kehidupan kalangan Nasrani di Tha’if yang daerah huniannya berjarak tidak begitu jauh dari Mekah tetap dilindungi oleh Islam. Karena Islam tidak mengenal pemaksaan beragama sebagaimana disebut dalam Surah Al-Baqarah ayat 256 untuk pengalihan keimanan agama atau konversi agama. Adapun Kekaisaran Romawi dan Persia dilawan oleh Islam hanya karena kedua-duanya melancarkan agresi.

[3] Muhammad Iqbal, “Saat Nabi Muhammad Menaklukkan Mekkah tanpa Pertumpahan Darah,” Tirto.id, 26 Mei 2018, https://tirto.id/saat-nabi-muhammad-menaklukkan-mekkah-tanpa-pertumpahan-darah-cK1i.

[4] Nasaruddin Umar, “Revolusi Tanpa Setetas Darah,” Detik.com, 20 Januari 2020, https://news.detik.com/kolom/d-4866418/revolusi-tanpa-setetas-darah.

[5] Ajaran Islam tentang perang untuk membela diri dan harga diri digunakan oleh para ulama dan para santrinya untuk menghadapi agresi imperialis Barat yang menggunakan agama Katolik dari Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol (abad ke-16) dan agama Protestan dari Kerajaan Protestan Belanda dan Inggris (abad ke-17). Kekuatan imperialis Barat ini menggunakan kedok agamanya untuk menjustifikasi tindakan penjajahan kepada bangsa lain.

Gerakan melawan penjajahan ini kemudian disebut gerakan nasionalisme. Bila ciri nasionalime Eropa bersinggungan dengan gerakan Protestan atau Calvinis, yang bersifat anti-Katolik atau anti-Clerical, ciri gerakan nasionalisme di Indonesia adalah anti-Katolik dan Protestan. Hal ini disebabkan kedua agama ini digunakan penjajah pada saat itu, sebagai dasar ajaran pembenar penjajahan, sebagaimana diungkap oleh Ahmad Mansur Suryanegara.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image