Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahiduz Zaman

Predatory Pricing: Strategi Curang di Pasar Digital dan Perspektif Islam

Bisnis | 2025-01-30 14:28:58
Ilustrasi penerapan predatory pricing dalam e-marketplace. (Sumber: Freepik.com)

Persaingan bisnis dalam era digital semakin ketat dengan hadirnya berbagai e-marketplace yang menawarkan harga rendah secara agresif. Salah satu strategi yang sering digunakan adalah predatory pricing, yaitu penetapan harga produk di bawah biaya produksi dengan tujuan menyingkirkan pesaing. Taktik ini tidak hanya mengancam keberlangsungan bisnis kecil dan menengah, tetapi juga dapat menciptakan monopoli pasar yang akhirnya merugikan konsumen. Dalam perspektif Islam, praktik semacam ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan persaingan sehat, sehingga perlu diwaspadai dan dikaji lebih lanjut.

Dampak Predatory Pricing bagi Pasar dan Konsumen

Predatory pricing dalam e-marketplace sering kali muncul dalam bentuk diskon besar-besaran, cashback, atau program flash sale yang terlihat menguntungkan konsumen. Namun, di balik harga murah tersebut terdapat strategi bisnis yang berpotensi merusak keseimbangan pasar. Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa transaksi e-commerce di Indonesia mencapai Rp689 triliun pada 2023. Dengan dominasi beberapa pemain besar dalam pasar digital, persaingan usaha menjadi semakin timpang.

Dalam jangka pendek, harga yang sangat murah mungkin tampak menguntungkan bagi konsumen. Namun, setelah pesaing kecil tersingkir dari pasar, perusahaan dominan cenderung menaikkan harga kembali. Situasi ini pernah terjadi di India, di mana setelah pasar dikuasai oleh dua e-commerce raksasa, harga barang elektronik naik 15-20% dibandingkan masa promosi sebelumnya. Di Indonesia, situasi serupa bisa terjadi apabila tidak ada regulasi yang mengawasi praktik-praktik predatory pricing dengan ketat.

Selain itu, pelaku usaha kecil sering kali menjadi korban dari strategi ini. Mereka yang tidak memiliki modal besar untuk bertahan dalam persaingan harga yang tidak sehat akhirnya harus menutup usaha mereka atau bergantung pada platform marketplace yang sama, tetapi dengan margin keuntungan yang sangat rendah. Ini menyebabkan ketergantungan yang tinggi pada pemain besar, melemahkan daya saing ekonomi lokal, dan berpotensi menciptakan monopoli.

Regulasi dan Tantangan Pengawasan

Di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memiliki mandat untuk mengawasi dan mencegah praktik predatory pricing sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun, dalam dunia digital, membuktikan adanya niat predatory pricing tidaklah mudah. Marketplace besar sering kali berargumen bahwa harga murah yang mereka tawarkan merupakan bagian dari strategi pemasaran biasa dan bukan upaya untuk menghilangkan pesaing.

Tantangan terbesar dalam pengawasan adalah penggunaan algoritma harga yang dapat menyesuaikan harga secara otomatis berdasarkan data pasar. Marketplace dapat memanfaatkan big data untuk mengatur harga di wilayah tertentu agar lebih murah dibandingkan pesaing, sehingga menimbulkan persaingan yang tidak sehat tanpa terlihat secara langsung. Regulasi yang lebih ketat, termasuk kewajiban transparansi dalam algoritma harga, menjadi langkah yang perlu dipertimbangkan untuk mencegah dampak buruk dari praktik ini.

Perspektif Islam terhadap Predatory Pricing

Dalam Islam, predatory pricing dapat dikategorikan sebagai bentuk ketidakadilan (ẓulm) dalam bisnis. Prinsip dasar dalam ekonomi Islam adalah keadilan (ʿadl), keseimbangan (mīzān), dan kebermanfaatan (maslahah) bagi semua pihak. Oleh karena itu, strategi bisnis yang merugikan sebagian pihak untuk keuntungan segelintir orang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Salah satu larangan dalam Islam yang berkaitan dengan praktik ini adalah iḥtikār (monopoli). Nabi Muhammad SAW bersabda: "Tidak akan memonopoli kecuali orang yang berdosa." (HR. Muslim, no. 1605). Meskipun predatory pricing tidak serta-merta berbentuk monopoli langsung, praktik ini dapat menjadi langkah awal menuju dominasi pasar yang akhirnya merugikan banyak pihak.

Islam juga menolak praktik bisnis yang mengandung gharar (ketidakpastian) dan taghrir (penyesatan harga). Menjual barang dengan harga di bawah biaya produksi untuk menyingkirkan pesaing menciptakan ketidakpastian bagi pelaku usaha kecil, yang pada akhirnya akan mempengaruhi stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Dalam konteks ini, pemerintah memiliki peran penting dalam tasʿīr, yaitu intervensi harga yang bertujuan untuk mencegah eksploitasi dan ketidakadilan dalam pasar.

Keadilan dalam Penetapan Harga

Islam tidak melarang perdagangan dengan harga murah atau diskon selama dilakukan dengan cara yang adil dan tidak bertujuan merugikan pihak lain. Dalam sejarah, Khalifah Umar bin Khattab pernah menolak untuk secara langsung menetapkan harga barang, tetapi ia turun tangan ketika mendapati ada praktik perdagangan yang tidak sehat. Dalam hal ini, regulasi harus hadir untuk menjaga keseimbangan pasar tanpa menghambat inovasi atau pertumbuhan ekonomi.

Lebih jauh, Islam mendorong persaingan yang sehat dan inovasi dalam bisnis. Al-Qur'an menekankan prinsip transparansi dan kejujuran dalam transaksi: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil..." (QS. Al-Baqarah: 188). Oleh karena itu, predatory pricing, yang dapat mengarah pada eksploitasi dan persaingan yang tidak sehat, tidak sesuai dengan prinsip muamalah Islami.

Solusi dan Langkah Pencegahan

Mengatasi predatory pricing tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga memerlukan kesadaran dari masyarakat dan pelaku usaha. Konsumen perlu memahami bahwa harga murah yang berlebihan dapat berdampak negatif dalam jangka panjang. Oleh karena itu, penting untuk lebih selektif dalam memilih platform dan produk yang mendukung usaha kecil dan menengah.

Dari sisi regulasi, transparansi dalam algoritma harga dan pembatasan terhadap praktik subsidi silang yang merugikan pesaing kecil bisa menjadi solusi. Beberapa negara telah mulai menerapkan aturan untuk membatasi dominasi marketplace besar dalam menetapkan harga, agar pelaku usaha lokal tetap memiliki ruang untuk bersaing secara adil.

Bagi pelaku usaha kecil dan menengah, diversifikasi strategi pemasaran dan meningkatkan nilai tambah produk menjadi kunci untuk bertahan. Ketergantungan pada satu platform marketplace harus dikurangi dengan membangun brand sendiri dan memanfaatkan berbagai kanal pemasaran lainnya. Dalam Islam, strategi ini sejalan dengan semangat ijtihad dalam ekonomi, yaitu terus berusaha mencari cara yang adil dan berkelanjutan dalam menjalankan usaha.

***

Predatory pricing adalah strategi bisnis yang sekilas menguntungkan konsumen, tetapi dalam jangka panjang dapat merusak ekosistem pasar dan menciptakan monopoli. Dalam Islam, praktik ini bertentangan dengan prinsip keadilan, persaingan sehat, dan larangan eksploitasi dalam bisnis. Oleh karena itu, regulasi yang lebih ketat, pengawasan yang lebih transparan, serta kesadaran dari masyarakat dan pelaku usaha menjadi kunci dalam mencegah dampak buruk dari praktik ini.

Masa depan ekonomi digital harus dibangun di atas prinsip keseimbangan dan keberlanjutan, bukan sekadar mengejar keuntungan jangka pendek dengan cara yang merugikan banyak pihak. Jika tidak ada intervensi yang jelas, maka bukan tidak mungkin ekonomi digital Indonesia akan dikuasai oleh segelintir pemain besar yang mengendalikan harga dan akses pasar secara sewenang-wenang. Islam telah memberikan panduan dalam hal ini, dan kini tinggal bagaimana kita menerapkannya dalam kebijakan ekonomi modern.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image