Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tita Rahayu Sulaeman

Pendidikan dalam Islam vs Pendidikan dalam Kapitalisme

Agama | 2025-01-24 12:05:28
sumber gambar : smarthistory

Oleh : Aisyah Farha

Dunia Pendidikan di Indonesia mengalami kejutan awal tahun baru. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) rupanya tak menganggarkan tunjangan bagi dosen tahun ini ( tribunnews 2025/01/15). Lalu dengan berbagai protes yang dilayangkan, pemerintah megklaim akan mengusahakan tunjangan ini agar tetap bisa cair.

Miris memang, mengingat hasil survei yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Kampus (SPK) menunjukkan fakta yang cukup mencengangkan: mayoritas dosen di Indonesia menerima gaji kurang dari Rp 3 juta pada kuartal pertama 2023. Bahkan, dosen di perguruan tinggi swasta (PTS) ada yang hanya digaji di bawah Rp2 juta. Kondisi ini memaksa 76% dosen mencari pekerjaan sampingan, sementara 61% lainnya merasa bahwa gaji yang mereka terima tidak sebanding dengan beban kerja yang harus mereka jalani (liputan6.com)

Beban kehidupan juga turut dirasakan oleh mahasiswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu. Program beasiswa seperti KIP Kuliah 2025 yang seharusnya menjadi solusi justru sulit diakses karena ketatnya persyaratan yang diberlakukan. Banyak mahasiswa miskin yang sebenarnya sangat membutuhkan bantuan ini, namun gagal mendapatkannya akibat aturan-aturan yang tidak fleksibel. Kondisi ini semakin menunjukkan kurangnya keberpihakan negara kepada rakyat kecil, khususnya dalam dunia pendidikan, yang seharusnya menjadi hak dasar bagi setiap warga negara.

Rendahnya gaji dosen mencerminkan kegagalan sistem kapitalisme dalam menyejahterakan tenaga pengajar. Negara tidak mampu memberikan jaminan penghasilan yang cukup kepada dosen, sehingga banyak di antara mereka yang harus mencari sumber pendapatan tambahan. Bahkan, pekerjaan sampingan ini terkadang lebih menguntungkan dibandingkan tugas utama mereka sebagai dosen.

Meroketnya biaya pendidikan yang harus ditanggung mahasiswa juga merupakan buah pahit dari sudut pandang kapitalisme yang memandang pendidikan sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan.

Dalam sistem ini, pendidikan tidak lagi dilihat sebagai hak dasar setiap warga negara, melainkan sebagai peluang bisnis yang menghasilkan keuntungan. Hal ini semakin dipertegas dengan diratifikasinya UU No. 7 Tahun 1994, di mana Indonesia menyepakati perjanjian WTO dan General Agreement on Trade in Service (GATS). Dalam perjanjian tersebut, pendidikan termasuk dalam dua belas sektor layanan jasa yang diperdagangkan secara global. Akibatnya, pendidikan yang seharusnya menjadi sarana mencerdaskan kehidupan bangsa malah berubah menjadi tambang uang.

Konsep Knowledge-Based Economy (KBE), yang digagas oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 1996, semakin memperparah pandangan ini. Melalui KBE, ilmu pengetahuan tidak lagi dipandang sebagai aset yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, tetapi sebagai komoditas ekonomi yang harus distandarisasi sesuai kebutuhan bisnis. Dalam sistem kapitalisme sekuler ini, tanggung jawab negara terhadap pendidikan dilepaskan, dan beban pembiayaan pendidikan dialihkan kepada individu. Pendidikan tinggi pun dijadikan sarana menghasilkan tenaga kerja terampil yang sesuai kebutuhan pasar, bukan sebagai lembaga yang mencetak pemikir yang mampu membangun peradaban.

Kondisi ini semakin memperlihatkan bagaimana kapitalisme telah menjadikan ilmu pengetahuan sebagai komoditas yang diperjualbelikan, bukan sebagai amanah untuk mencerdaskan umat. Sistem ini meniadakan tanggung jawab negara dalam menjamin pendidikan yang terjangkau dan berkualitas bagi seluruh rakyat.

Sebaliknya, Islam memandang pendidikan sebagai kewajiban negara untuk memenuhi hak dasar rakyatnya. Dalam sistem Islam, pendidikan tidak pernah menjadi komoditas, melainkan sarana mencetak generasi yang mampu membangun peradaban dengan ilmu yang bermanfaat.

Dalam pandangan Islam, pendidik, termasuk dosen, memegang peran besar dalam membentuk kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah) generasi penerus. Mereka adalah pilar utama dalam mencetak generasi pembangun peradaban yang mulia. Islam memberikan penghargaan besar kepada para pendidik melalui jaminan kesejahteraan yang memadai. Pada masa kekhilafahan, misalnya, gaji yang diberikan kepada guru dan dosen sangat besar, mencerminkan penghormatan atas tanggung jawab besar mereka. Dengan jaminan ini, para pendidik mampu fokus pada tugas mendidik, berkarya, dan mengembangkan ilmu tanpa perlu khawatir mencari tambahan penghasilan.

Tidak hanya itu, Islam juga menyediakan layanan pendidikan berkualitas secara gratis untuk seluruh warga negara hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Negara dalam sistem Islam memiliki berbagai sumber pendapatan yang besar, seperti pengelolaan sumber daya alam, kharaj, jizyah, dan lainnya, yang dikelola secara optimal melalui baitulmal. Dengan pemasukan yang melimpah, negara mampu menjamin pendidikan gratis dan berkualitas untuk semua, tanpa diskriminasi. Negara berperan sebagai raa’in (pengurus) yang melayani kebutuhan rakyat sesuai hukum syara’, memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal dalam meraih pendidikan dan kesejahteraan.

Pendidikan dalam peradaban Islam memiliki sejarah yang sangat gemilang dan menjadi landasan kebangkitan peradaban dunia pada masa lalu. Islam sejak awal sangat menekankan pentingnya ilmu pengetahuan, sebagaimana tercermin dalam wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW, yaitu perintah untuk membaca (Iqra') dalam surah Al-'Alaq. Pendidikan tidak hanya dianggap sebagai kebutuhan individu, tetapi juga sebagai tanggung jawab kolektif umat Islam untuk mencetak generasi yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Sistem pendidikan Islam tidak hanya melahirkan ilmuwan hebat, tetapi juga menyebarkan cahaya ilmu ke seluruh dunia, yang turut berkontribusi besar pada perkembangan ilmu pengetahuan global.

Pada masa Kekhilafahan Abbasiyah (750-1258 M), pendidikan dan ilmu pengetahuan mencapai puncak kejayaannya. Di bawah kepemimpinan para khalifah seperti Harun Al-Rasyid dan Al-Ma'mun, pendidikan berkembang pesat dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan dan pusat penelitian seperti Baitul Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad. Baitul Hikmah menjadi pusat penerjemahan manuskrip ilmu pengetahuan Yunani, Persia, India, dan Romawi ke dalam bahasa Arab, sehingga menjadi jembatan peradaban yang mengintegrasikan berbagai ilmu pengetahuan. Di tempat ini, para ilmuwan dari berbagai latar belakang agama dan bangsa berkumpul untuk meneliti, berdiskusi, dan mengembangkan ilmu dalam berbagai bidang, seperti matematika, astronomi, kedokteran, filsafat, dan sastra.

Pada era tersebut, pendidikan Islam memiliki pendekatan komprehensif. Pendidikan diawali di masjid-masjid, yang berfungsi tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pendidikan dasar. Dari sini lahir lembaga-lembaga formal seperti madrasah dan kuttab, yang memberikan pengajaran agama dan ilmu pengetahuan umum. Lembaga pendidikan ini terbuka bagi semua orang tanpa memandang latar belakang sosial atau ekonomi, mencerminkan inklusivitas Islam dalam mendistribusikan ilmu. Selain itu, pendirian perpustakaan besar di dunia Islam, seperti Darul Kutub di Kairo dan perpustakaan di Cordoba, memungkinkan akses ilmu pengetahuan secara luas.

Kejayaan pendidikan dalam peradaban Islam didukung oleh peran aktif negara dalam memastikan sistem pendidikan berjalan dengan baik. Negara bertanggung jawab mendanai pendidikan melalui baitulmal, sehingga para guru, ilmuwan, dan dosen diberi gaji yang layak. Dengan dukungan penuh dari negara, para ilmuwan dapat berkonsentrasi penuh pada pengembangan ilmu tanpa harus khawatir dengan kebutuhan finansial. Sistem ini memungkinkan ilmu berkembang pesat dalam suasana yang kondusif dan penuh penghargaan terhadap para pemilik ilmu.

Kesuksesan sistem pendidikan Islam pada masa lalu menjadi bukti bahwa ketika ilmu pengetahuan diposisikan sebagai ibadah dan amanah, maka ia akan melahirkan generasi yang berperadaban tinggi. Pendidikan dalam peradaban Islam tidak hanya menghasilkan individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki spiritualitas yang tinggi, sehingga mampu memberikan manfaat bagi umat manusia secara keseluruhan.

Masihkah berharap pada sistem kapitalisme yang rusak saat ini?

Atau sudah saatnya kita beralih ke sistem Islam yang sudah terbukti melahirkan peradaban gemilang?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image