Saat PM Jepang disambut Malapetaka 15 Januari (MALARI)
Politik | 2025-01-14 21:59:55Presiden Prabowo menerima kunjungan kenegaraan PM Jepang Ishiba Shigeru, keduanya bersepakat untuk memperkuat kerjasama strategis antar kedua negara. Pertemuan tersebut terlaksana pada Sabtu, 11 Januari 2025 di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat. Dalam berbagai media disebutkan bahwa Jepang akan turut membantu program makan bergizi gratis yang menjadi program unggulan Presiden Prabowo. Selain itu, Presiden Prabowo juga mengajak Jepang untuk mendukung usaha Indonesia dalam program hilirisasi, energi, hingga maritim.
Kunjungan kenegaraan di awal tahun 2025 dari PM Ishiba seakan menandakan bahwa Indonesia merupakan negara Asia Tenggara yang memiliki posisi penting bagi Jepang. Namun, sebenarnya sejak kapan hubungan keduanya berjalan harmonis?, mari kita telisik lebih jauh. Sejarah mencatat bahwa setelah perang kemerdekaan, hubungan Indonesia dan Jepang tidak sepenuhnya pulih dengan cepat. Perlu waktu kurang lebih 12 tahun untuk melakukan hubungan diplomatik secara resmi antara keduanya. Hubungan yang hangat antara Indonesia–Jepang ditandai dengan lawatan kenegaraan PM Kishi Nobusuke ke Indonesia pada 26 November 1957 dan puncaknya terjadi saat dilaksanakannya Perjanjian Perdamaian Jepang-Indonesia pada tanggal 20 Januari 1958.
Kisah asmara pun mewarnai cerita hubungan kedua negara. Pasalnya, Presiden Soekarno mempersunting Naoko Nemoto (Ratna Sari Dewi), seorang gadis Jepang yang kemudian menjadi istri kelima Presiden Soekarno, keduanya melangsungkan pernikahan pada 3 Maret 1962. M. Yuanda Zara dalam buku Sakura di Tengah Prahara: Biografi Ratna Sari Dewi Sukarno (2008) menjelaskan bahwa perkenalan Soekarno dengan Naoko berkat andil Kubo Masao, seorang pengusaha terkemuka dari Perusahaan Dagang Tonichi. Memang rumor yang beredar adalah para pengusaha Jepang yang ingin melakukan investasi di Indonesia melakukan pendekatan dengan Presdien Soekarno melalui usaha perjodohan.
Pecahnya Malari dan Goyahnya Hubungan Indonesia-Jepang
Gelagat akan pecahnya peristiwa MALARI (Malapetaka 15 Januari) telah diprediksi oleh berbagai pihak, pasalnya masyarakat terutama golongan muda terdidik merasa kurang puas dengan langkah ekonomi yang diambil oleh pemerintah. Masyarakat menilai bahwa pemerintah terlalu leluasa memberikan akses kepada perusahaan multinasional dan seakan mengesampingkan kepentingan nasional yang akhirnya dapat merugikan negara, Jepang menjadi sasaran utama dari pelampiasan keresahan mereka, mengingat maraknya produk “made in Japan” di Indonesia. Sejak awal 1970an Presiden Soeharto memang menjalin hubungan yang erat di bidang ekonomi dengan Jepang, kala itu Indonesia diwakili oleh Soedjono sedangkan Jepang mengutus Takeo Fukuda, menteri keuangan Jepang, bahkan keduanya berhasil merealisasikan pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air Asahan.
Sebuah Pesawat Super DC-8 JAL mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma pada 14 Januari 1974 sekitar pukul 19.45 WIB, pesawat tersebut membawa Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka untuk melakukan lawatan kenegaraan di Indonesia dari 14-17 Januari 1974. Sebelum melakukan kunjungan ke Indonesia, PM Tanaka terlebih dahulu mengunjungi Filipina dan Thailand, di dua tempat tersebut PM Tanaka mendapatkan penolakan yang hebat dari para demonstran yang menolak kehadirannya di dua negara tersebut. Informasi bahwa kedatangan PM Tanaka ditolak oleh mahasiswa di Manila dan Bangkokg turut menjadi pemantik bagi kalangan mahasiswa Indonesia untuk melakukan hal yang sama, yakni menolak kedatangan PM Tanaka.
Sehari berselang, Presiden Soeharto menyambut PM Tanaka beserta rombongannya di Istana Negara, 15 Januari 1974. Sementara itu ribuan mahasiswa dan pelajar melancarkan aksi turun ke jalan menentang kedatangan perdana menteri Jepang itu. Saat itu PM Tanaka dianggap sebagai lambang modal asing yang harus dilawan karena akan membawa kerugian terhadap ekonomi negara. Aksi long march pun dilakukan dari Kampus Universitas Indonesia Salemba menuju Univeritas Trisakti di Grogol, mereka menyampaikan tiga tuntutan utama yakni pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi terkait modal asing, dan penghapusan lembaga Asisten Pribadi Presiden.
Aksi penolakkan kedatangan PM Tanaka berubah menjadi malapetaka. Hariman Siregar seorang aktivis dan juga impinan demonstran dalam peristiwa MALARI menerangkan dalam sebuah wawancara dengan Tempo (2008) bahwa aksi mahasiswa telah selesai pada pukul 14.30. Namun, satu jam kemudian sekelompok massa yang mengaku dirinya dari golongan buruh menyerbu Kedutaan Besar Jepang, mereka meleparkan batu ke arah kedutaan dan menurunkan bendera Jepang yang berkibar. Selain itu, massa bergerak ke kawasan Pasar Senen, Blok M, dan Glodok. Mereka menjarah pertokoan hingga membakar mobil-mobil buatan Jepang. Kantor Astra yang dikenal sebagai perusahaan importir produk Jepang juga diamuk massa, show room miliknya pun tak lepas dari amukkan massa. Selain Astra, perusahaan PT Insan Apollo, PT Subaru dan perusahaan lainnya yang dianggap berkaitan dengan Jepang bernasib sama, kondisi dengan cepat berubah menjadi aksi anti-Jepang yang mencekam.
Merunut berbagai catatan sejarah, kerusuhan Malari 1974 menyebabkan korban tewas sebanyak 11 jiwa, 685 unit mobil hangus terbakar, 120 toko dalam kondisi rusak dan hancur, dan 128 korban mengalami luka baik berat maupun ringan. Keadaan mencekam ini membuat PM Tanaka dievakuasi menggunakan helikopter TNI Angkatan Darat dari atap Gedung Bina Graha menuju Bandara Halim Perdanakusumah pada Kamis, 17 Januari 1974, sekitar pukul 08.00, hal ini agar menghindari perjalanan lewat darat yang ditakutkan akan bertemu dengan massa yang mengamuk. Perjalanan PM Tanaka menggunakan Helikopter didampingi Presiden Soeharto, setelah tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, PM Tanaka melanjutkan penerbangan kembali ke Jepang.
Buntut dari peristiwa Malari 1974, pihak polisi dan tentara menangkap banyak pihak, terutama dari kalangan mahasiswa. Sebanyak 775 orang jadi sasaran untuk diamankan, termasuk para aktivis politik dan mahasiswa. Namun, hanya Hariman Siregar dan Sjahrir dua tokoh mahasiswa Universitas Indonesia serta Aini Chalid dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diadili melalui meja hijau. Mereka didakwa telah melakukan suatu perbuatan subversi dan makar. Akhirnya Hariman Siregar pada 21 Desember 1974 divonis hukuman enam setengah tahun penjara.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.