Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adella Fiahsani

OMIAI: Tadisi Perjodohan di Jepang

Humaniora | 2024-10-03 22:27:21
Source by Pxhere : https://pxhere.com/id/photo/825175?utm_content=shareClip&utm_medium=referral&utm_source=pxhere

Tradisi Omiai (お見合い) merupakan tradisi yang telah ada sejak zaman dahulu. Omiai sudah ada dari zaman Edo merupakan perjodohan untuk mengatur pernikahan dengan menggunakan “mak comblang” atau disebut Nakodo. Pada mulanya, pernikahan ini dilakukan atas dasar politik atau kekayaan tanpa ada rasa cinta sehingga kedua calon pasangan tidak memiliki hak untuk memilih sendiri calon pasangan mereka. Tetapi, setelah Perang Dunia Kedua, tradisi Omiai mengalami penurunan karena para wanita dan pria mendapat pengaruh romantis dari Barat seperti mengutamakan cinta sehingga mereka lebih bebas dalam memilih pasangan dan peran keluarga dalam mencarikan pasangan berkurang.

Jepang merupakan salah satu negara maju di Asia Timur yang penduduknya terkenal dengan kegigihan dan etos kerja yang tinggi. Dilansir dari Japanese International Labour Foundation, pada tahun 2023, jumlah masyarakat Jepang yang bekerja mencapai 67,47 juta orang dari total penduduk 123 juta orang. Etos kerja yang tinggi dan budaya kerja keras sudah melekat pada setiap individu sehingga masyarakat Jepang lebih memilih untuk fokus berkarir. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi kurang tertarik untuk menikah dan memiliki anak. Menurut data Population Reference Bureau, persentase penduduk Jepang menjadi tidak seimbang dengan persentase lansia lebih tinggi sebanyak 29% sedangkan persentase generasi muda usia dibawah 15 tahun hanya 12%. Jika masyarakat tetap tidak ingin menikah dan memiliki anak, maka Jepang akan semakin kekurangan generasi muda.

Menurut Statistics Bureau of Japan, persentase usia orang Jepang yang menikah di rentang usia 25 hingga 34 tahun semakin menurun. Sebanyak 69,3% pria dan 54,5% wanita berusia 25 hingga 30 tahun masih lajang. Adanya permasalahan ini dapat diminimalisir dengan perjodohan melalui perantara atau disebut Omiai. Tradisi perjodohan ini masih dilakukan hingga sekarang karena menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan angka kelahiran pada bayi. Dilansir dari Tsubomi House, faktanya melalui Omiai sekitar 40% masyarakat Jepang berhasil mendapatkan pasangannya hingga ke jenjang pernikahan.

Asal-usul Omiai

Peran perempuan dalam keluarga adalah menjadi ibu yang hanya mendidik anak dan mengerjakan tugas domestik sedangkan laki-laki pergi bekerja mencari nafkah di luar rumah. Peran seperti ini memang sudah ada sejak zaman dahulu bahkan di era Meiji, perempuan belajar di sekolah untuk menjadi istri yang baik dan ibu yang bijaksana atau disebut dengan Ryosai Kenbo. Pada zaman dahulu, pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat bersifat mura (村)atau komunitas yang berarti menikah demi kepentingan desa.

Akibatnya, warga biasanya menikah dengan seseorang yang tinggal berdekatan atau sudah mengenal satu sama lain. Seiring berjalannya waktu, pernikahan menjadi bagian dari sistem ie atau berpusat pada keluarga, dan kepala keluarga yang memutuskan pasangan untuk semua anggota keluarga lainnya. Kriteria pemilihan menekankan pada status sosial keluarga calon pasangan dengan tujuan untuk mendorong kemakmuran keluarga dalam jangka panjang. Keinginan pasangan yang akan dinikahkan sering kali diabaikan bahkan pasangan yang akan dinikahkan terkadang tidak bertemu satu sama lain sampai hari pernikahan tiba.

Proses Omiai

Proses Omiai melalui perantara (Nakodo) untuk melakukan pertukaran informasi awal untuk dua orang beserta keluarga mereka. Informasi ditukarkan secara tertulis dalam sebuah dokumen disebut Tsurisho yang selalu disertai foto. Jika kedua belah pihak setuju untuk melanjutkan ke tahap berikutnya, Nakodo akan memperkenalkan mereka berdua beserta orang tua mereka. Pertemuan ini disebut Omiai. Miai (見合い)mempunyai definisi secara luas yang artinya perjodohan atau perkawinan melalui bantuan perantara untuk mempertemukan kedua calon pengantin beserta keluarga kedua belah pihak. Pasangan ini akan bertemu secara berulang hingga mereka merasa saling cocok satu sama lain dan memutuskan untuk lanjut ke tahap pertunangan yang disebut Yuino. Biasanya pihak pria mengirimkan hadiah berupa cincin pertunangan dan sejumlah uang sebesar gaji tiga bulan kepada calon pengantin wanita dan keluarganya. Dalam banyak kasus, beberapa bulan kemudian pernikahan dilangsungkan dengan gaya Shinto atau bisa juga dengan upacara Buddha atau Kristen.

Manfaat Omiai

Menurut Roger J. Davies dan Osamu Ikeno dalam buku Japanese’s mind, manfaat dari Omiai antara lain,

1. Menjadi sarana untuk mencari calon pasangan, orang-orang dapat mengetahui secara detail mengenai biodata calon pasangan sehingga jika merasa tidak cocok bisa memilih orang lain

2. Lebih hemat melakukan Omiai daripada ke agensi pernikahan

3. Orang tua diikutsertakan dalam seleksi sehingga bisa menghindari konflik dilain hari

4. Jika perempuan tidak ingin menikah dengan anak laki-laki tertua dan tinggal dengan keluarga suami bisa mencari pasangan yang sesuai.

5. Setiap individu bisa menyesuaikan kriteria calon pasangan melalui Tsurisho

Omiai zaman modern

Saat Perang Dunia II usai, Omiai sempat mengalami penurunan. Maraknya seks bebas dan pemerkosaan di Jepang menyebabkan Baby Boom tidak dapat dihindari. Adanya fenomena tersebut, pemerintah membuat Undang-undang Aborsi yang berakibat pada penurunan angka kelahiran. Kondisi tersebut membuat pemerintah memikirkan kembali cara meningkatkan populasi masyarakat yang salah satu caranya adalah membuat Undang-undang tidak melegalkan aborsi serta memberikan intruksi kepada masyarakat untuk segera menikah dan meningkatkan angka kelahiran.

Pada era modern ini wanita di Jepang memiliki sudut pandang dan pemikiran yang berbeda terhadap pernikahan. Budaya patriarki yang melekat pada kehidupan masyarakat Jepang menyebabkan Jepang berada di urutan 144 dari 144 negara dengan kesetaraan gender (World Economic Forum) yang membuat laki-laki mendominasi atas perempuan dalam lingkup keluarga maupun masyarakat. Wanita Jepang fokus untuk berkarir dan memilih untuk menunda pernikahan atau bahkan menolak untuk menikah. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan zaman dulu yang mana wanita Jepang tidak diperbolehkan untuk bekerja, mereka hanya di rumah untuk mengurus anak dan mengerjakan pekerjaan domestik sedangkan laki-laki bertugas untuk mencari nafkah sehingga jarang berada di rumah dan kurang berinteraksi dengan anak. Seiring berjalannya waktu, pemerintah Jepang memberi kebebasan agar perempuan bisa bekerja dan memiliki derajat yang sama dengan laki-laki hingga mencetuskan kebijakan Womenemics. Dewasa ini, perempuan maupun laki-laki memfokuskan diri untuk mendapatkan karir yang cemerlang sehingga tidak memiliki waktu untuk menjalin hubungan menjadi salah satu faktor penurunan angka kelahiran di Jepang.

Seiring dengan kemajuan teknologi, banyak aplikasi kencan atau dating apps yang bisa digunakan untuk mencari pasangan seperti M's Bridal, Tinder dan Bumble. Selain itu, terdapat Asosiasi Perjodohan Nasional atau Zenkoku Nakodo Rengokai yang melayani jasa konsultasi melalui Nakodo menggunakan basis data untuk menjadwalkan pertemuan antara para klien. Bisa dikatakan bahwa Omiai saat ini mengikuti perkembangan zaman bahkan tempat pertemuan untuk calon pasangan diadakan di restoran, bioskop, teater, pertunjukkan musik, dan lain-lain.

Daftar Pustaka :

Jane, M. (2018). FENOMENA PENURUNAN ANGKA PERNIKAHAN DAN. 2(2), 65–71.

May, J. (2012). Matchmaking in Japan. Japan Experience. https://www.japanexperience.com/plan-your-trip/to-know/understanding-japan/match-making

Nugroho, D. A., Alfarisy, F., Kurniawan, A. N., & Rahma, E. (2022). Tren Childfree dan

Unmarried di kalangan Masyarakat Jepang Childfree and Unmarried Trends among

Japanese Society. 1(11), 1023–1030. https://doi.org/10.36418/comserva.v1i11.153

Putra, D. A. (2020). Omiai, Tradisi Perjodohan Masyarakat Jepang. Tsubomi House.

https://www.tsubomihouse.com/post/omiai-tradisi-perjodohan-masyarakat-jepang

Roger, J. (n.d.). the japanese mind THE JAPANESE

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image