Generasi Dokter Sehat Mental untuk Masa Depan Lebih Baik
Pendidikan dan Literasi | 2025-01-11 09:37:06Belakangan ini, dunia maya dihebohkan dengan sebuah kasus pemukulan terhadap mahasiswa koas atau dokter muda oleh kerabat mahasiswa lainnya di salah satu institusi pendidikan di Kota Palembang. Insiden ini terjadi dengan alasan adanya ketidakadilan dalam pembagian jadwal jaga. Kasus ini memicu perbincangan mengenai kondisi mental mahasiswa kedokteran yang sering kali terabaikan dalam proses panjang mereka untuk menjadi seorang dokter.
Proses pendidikan untuk menjadi seorang dokter memang sangat panjang. Dimulai dari pendidikan di bangku kuliah untuk mendapatkan gelar sarjana (S.Ked), dilanjutkan dengan program profesi yang dikenal dengan koas, hingga akhirnya seorang dokter disumpah. Namun, perjalanan tersebut belum berakhir. Setelah disumpah, seorang dokter masih wajib mengabdi pada negara melalui tahapan internship sebelum dapat melanjutkan kariernya.
Dibanding dengan jurusan lainnya, proses untuk menjadi seorang dokter memang jauh lebih kompleks: perlu komitmen yang kuat dan waktu yang lebih lama. Artinya, memilih untuk menjadi mahasiswa kedokteran harus siap secara fisik dan mental dalam menghadapi beban akademis yang berat, jam kerja yang panjang, serta ekspektasi tinggi dari diri sendiri dan masyarakat. Lantas, apa yang sesungguhnya terjadi dalam dunia pendidikan kedokteran, dan bagaimana kesiapan mental yang harus dimiliki oleh mahasiswa kedokteran?
Kesehatan Mental di Dunia Medis
Penelitian oleh Maulina dan Sari (2018) mengindikasikan bahwa tingkat kecemasan, burnout, dan depresi pada mahasiswa kedokteran cukup tinggi, terutama bagi mahasiswa yang tidak dapat melakukan penyesuaian diri dengan tuntutan akademik atau saat menghadapi beban kerja yang sangat berat. Dalam statement yang disampaikan oleh dr. Eva Sri Diana pada salah satu stasiun televisi menegaskan bahwa “tidak boleh ada ‘generasi strawberry’ di dunia pendidikan kedokteran.” Istilah generasi strawberry merujuk pada individu yang terlihat baik dari luar tetapi rapuh di dalam, sehingga tidak mampu menghadapi tekanan sosial maupun tuntutan kerja keras.
Ketika seseorang memilih untuk menjadi dokter, ia mesti bersedia untuk mengedepankan kepentingan dan keselamatan pasien di atas kepentingan pribadi. Dimulai sejak kuliah, jadwal yang padat dan mengikat di jurusan kedokteran menuntut mahasiswa untuk disiplin waktu. Bahkan setelah selesai perkuliahan mahasiswa masih harus menyisihkan waktu luangnya untuk belajar. “Long life learner” adalah istilah yang sering kali disematkan bagi mahasiswa kedokteran.
Setelah menyelesaikan bangku perkuliahan, rumah sakit adalah wadah belajar selanjutnya. Tidak dapat dipungkiri hampir seluruh aktivitas dokter muda (koas) berada di rumah sakit. Seiring waktu mereka pun tidak dapat melihat matahari—berangkat sebelum subuh, pulang tengah malam. Belum lagi, adanya tuntutan pasien, tanggung jawab akademis, dan persoalan pribadi memicu burnout pada mahasiswa. Sehingga memiliki mental yang matang sangat krusial bagi mahasiswa kedokteran, agar terlepas dari mental strawberry.
Membangun Budaya yang Mendukung
Dalam menghadapi tekanan akademis dalam pendidikan kedokteran, mahasiswa perlu membekali diri dengan kemampuan komunikasi yang baik, empati, dan ketahanan psikologis yang kuat. Tentunya hal ini harus didukung oleh institusi pendidikan terkait baik di kampus maupun di rumah sakit.
Perguruan tinggi kedokteran juga harus fokus pada kesiapan mental mahasiswa dengan memberikan pelatihan keterampilan psikologis, seperti pelatihan komunikasi, konseling, dan manajemen stres. Program-program seperti ini dapat membantu mahasiswa belajar mengelola emosi dan stres dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan.
Selain itu, rumah sakit tempat mahasiswa praktik juga harus mendukung kesehatan mental mereka. Dengan sistem yang mendukung keseimbangan antara karier medis dan kesehatan mental, mahasiswa dapat lebih mudah menghadapi tekanan. Penting juga untuk memperkenalkan mata kuliah atau workshop yang menekankan pentingnya kesehatan mental, serta cara-cara untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional.
Kesimpulan
Kesadaran akan pentingnya kesejahteraan mental mahasiswa kedokteran sangatlah penting. Membangun budaya yang mendukung dan menghilangkan stigma terhadap masalah kesehatan mental di dunia medis dapat membantu mahasiswa mengelola tantangan psikologis dan emosional yang mereka hadapi dan merupakan bagian integral dalam membangun tenaga kerja medis yang berkualitas. Karena tanpa dukungan mental yang memadai, seorang dokter mungkin akan kesulitan untuk memberikan perawatan terbaik bagi pasiennya.
Referensi:
Maulina, B., & Sari, D. R. (2018). Derajat stres Mahasiswa Baru fakultas kedokteran ditinjau Dari Tingkat Penyesuaian Diri Terhadap Tuntutan Akademik. Jurnal Psikologi Pendidikan Dan Konseling: Jurnal Kajian Psikologi Pendidikan Dan Bimbingan Konseling, 4(1), 1. https://doi.org/10.26858/jpkk.v4i1.4753
tvOneNews. (2024, Desember 17). Ketua Dokter Indonesia: Orang Tua Ikut Campur di Masalah Pendidikan Itu Tidak Baik. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=hGYp_YZ8MGQ
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.