Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Melacak Titik Awal Perjalanan Islamophobia Bagian 1

Sejarah | Friday, 18 Feb 2022, 02:44 WIB

Setiap mendengar kata Islamophobia penulis selalu bertanya-tanya adakah phobia terhadap ajaran agama selain Islam? Pertanyaan selanjutnya mengapa mesti menggunakan istilah phobia? Apakah istilah ini tidak keliru?

Seperti sudah sedikit disinggun pada tulisan sebelumnya, Kartini Kartono dalam bukunya, Patologi Sosial, Jilid 3, Gangguan-Gangguan Kejiwaan (1986 : 146) menyebutkan, phobia merupakan gangguan kejiwaan berupa rasa takut berlebihan terhadap sesuatu yang bersifat abnormal dan irrasional.

Gangguan kejiwaaan ini merupakan ketakutan atau kecemasan khas neurotis yang menimbulkan kecemasan dan rasa takut yang tak beralasan. Faktor penyebab seseorang mengidap phobia terhadap sesuatu adalah karena pernah mengalami ketakutan hebat disertai rasa malu dan bersalah.

Dari sinilah, penulis sering berasumsi, jangan-jangan mereka yang selama ini menggembor-gemborkan Islamophobia karena mereka pernah berbuat kesalahan kepada umat Islam, mereka menyadari atas kesalahannya, kemudian mereka merasa malu. Untuk menutupi kesalahan dan rasa malunya, mereka merekayasa fakta dan ajaran Islam. Tujuannya agar Islam dan penganutnya menjadi sang tertuduh yang harus diwaspadai, dijauhi, dan ditakuti semua manusia di muka bumi ini.

Namun demikian, penulis juga berasumsi lain, bisa juga orang-orang yang awam terhadap ajaran Islam menjadi takut dengan ajarannya, karena ada orang-orang yang tidak tepat dalam menyampaikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menyampaikan ajaran Islam tanpa menggunakan metode yang tepat.

Dengan dalih kebenaran itu harus disampaikan sepahit apapun, mereka menyampaikan ajaran Islam tanpa memperhatikan situasi dan kondisi sosial, budaya, dan pengetahuan orang-orang yang mereka ajak bicara. Padahal, sesuai dengan sunnah Rasulullah saw, menyampaikan ajaran Islam itu mesti setahap demi setahap sesuai dengan kadar kemampuan dan pengetahuan seseorang yang kita ajak untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam.

Ketika Rasulullah saw mengutus Mu’ad bin Jabal untuk berdakwah di negeri Yaman, ia berpesan agar menyampaikan ajaran Islam setahap demi setahap.

وَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“Dan dari Ibnu ‘Abbas r.a. bahwa ketika Nabi Saw mengutus Mu'adz r.a. ke negeri Yaman, Beliau berkata,: ‘Ajaklah mereka kepada syahadah (persaksian) tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah mentaatinya, beritahukanlah Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah mentaatinya, beritahukanlah Allah telah mewajibkan atas mereka zakat dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya diantara mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir diantara mereka.” (Al Faqih Yahya bin Syaraf an Nawawi asy Syafi’i, Riyadlu al Shalihiin min Kalami Sayyidil Mursalin, Bab Ta’kidi Wujubi al Zakat wa Bayani Fadliha wa Maa Yata’allaqu Minha, hadits nomor 1208, Kairo : Maktab ats Tsaqafy)

Tak dapat dipungkiri, kekerasan yang mengatasnamakan ajaran Islam seperti tindakan terorisme dengan dalih jihad untuk memperoleh derajat syahid telah menyebabkan orang-orang membenci dan takut akan ajaran Islam.

Sejak peristiwa pengeboman gedung World Trade Centre (WTC) di Amerika, 9 September 2001, gerakan kebencian terhadap Islam semakin gencar dikampanyeukan hampir oleh seluruh negara-nagara Barat. Islamophobia kembali mencuat dan menjadi perbincangan hangat dalam setiap kegiatan sosial, politik, dan budaya.

Negara-negara yang berada di kawasan Amerika dan Eropa mengingatkan warganya agar berhati-hati terhadap ajaran Islam dan para penganutnya. Sejak peristiwa tersebut, ajaran Islam beserta sombol-simbolnya menjadi bulan-bulanan para pembenci Islam.

Kehadiran beberapa organisasi yang berlabel Islam seperti ISIS (Syiria), Al-Qaida, Thaliban (Afghanistan), Hammas (Palestina) yang secara kebetulan berdiri di negara-negara yang tengah dilanda konflik sosial-politik menambah deretan panjang daftar kebencian orang-orang terhadap Islam. Terlebih-lebih organisasi-organisai tersebut karena situasi dan kondisi sosial-politik di tempat mereka berada, dengan terpaksa melakukan tindakan kekerasan.

Di Indonesia pernah juga “terpapar” islamophobia meskipun dengan gaya bahasa sarkasme, terlebih-lebih pada masa pemerintahan Orde Baru. “ekstrim kanan” merupakan istilah yang ditujukan kepada gerakan atau aktivitas dakwah yang selalu mengkritik pemerintah.

Pada masa orde baru, bukan hanya kepada gerakannya saja, beberapa syariat Islam yang sederhana saja pernah tidak boleh dilaksanakan di lingkungan institusi pemerintahan, misalnya pelarangan penggunaan jilbab di kalangan siswi, mahasiswi, dan karyawati.

Secara politis gerakan-gerakan dakwah yang berbau politik dan berseberangan dengan kebijakan pemerintah Orde Baru selalu dibredel dan terkadang sengaja dibuat seolah-olah gerakan tersebut benar-benar ada dan mengancam eksistensi negara. Pada masa Orde Baru sering terdengar santer isu Komando Jihad (Koji), Darul Islam, dan lain sebagainya. (bersambung)

Ilustrasi : Penolakan terhadap gerakan Islamophobia (sumber gambar : mcjl.ug)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image