Terapi Sel Punca Sebagai Pengobatan Alternatif Penyakit Autoimun
Eduaksi | 2025-01-02 10:11:53Tubuh manusia tersusun dari sel-sel aktif yang bekerja sesuai dengan struktur dan fungsinya masing-masing. Sel-sel dengan kesamaan dalam struktur dan fungsi akan bergabung membentuk jaringan aktif, yang selanjutnya menyusun organ fungsional. Organ-organ ini saling terhubung dan bekerja sama untuk menjalankan berbagai aktivitas, membentuk sistem organ yang berkoordinasi dalam mendukung kelangsungan hidup setiap individu.
Salah satu sistem yang sangat vital bagi tubuh manusia adalah sistem imunitas. Imunitas merujuk pada kemampuan tubuh untuk melawan organisme asing yang dapat berpotensi membahayakan atau merusak jaringan dan organ. Sistem imunitas memiliki peran penting dalam mengeliminasi zat-zat beracun atau alergen yang masuk ke dalam tubuh.
Sejalan dengan pendapat Mayasari dan Pratiwi (2009), sistem imunitas bertindak sebagai pelindung dari mikroorganisme yang merusak. Ia mampu mendeteksi patogen, merancang strategi perlawanan, dan kemudian menghancurkannya, sehingga jaringan yang terancam dapat tetap utuh dan berfungsi dengan baik.
Namun, sistem imunitas tidak selalu berfungsi dengan optimal, yang dapat menyebabkan gangguan atau penyakit. Kinerjanya dapat dipengaruhi oleh respons imun yang terlalu lemah atau terlalu aktif. Banyak gangguan kekebalan timbul akibat reaksi imun yang berlebihan atau serangan autoimun.
Gangguan autoimun terjadi ketika imunologi mengalami ketidakseimbangan dan kehilangan toleransi, sehingga sistem imun menyerang jaringan tubuh sendiri. Penyakit ini muncul ketika respons imun adaptif menyerang antigen yang diproduksi oleh tubuh, sering kali disertai dengan aktivasi sel limfosit T dalam jumlah yang tinggi.
Diagnosis penyakit autoimun dapat menjadi tantangan, karena gejala yang muncul seringkali mirip dengan gejala penyakit lainnya. Penyakit ini tidak mengenal jenis kelamin, artinya pria maupun wanita dapat mengalaminya. Beberapa contoh penyakit autoimun meliputi ankylosing spondylitis, diabetes melitus tipe 1, Wegener’s granulomatosis, Crohn’s disease, dan psoriasis.
Di antara penyakit autoimun tersebut, terdapat Lupus Eritematosus Sistemik yang ditandai oleh peradangan pada organ tertentu akibat serangan kekebalan tubuh terhadap jaringan sendiri, Skloderma yang menyebabkan pengerasan kronis pada kulit dan jaringan ikat, serta Dermatomiositis, yang merupakan penyakit radang dengan gejala melemahnya otot dan ruam pada area kulit tertentu.
Penggunaan sel punca dalam pengobatan penyakit autoimun disesuaikan dengan struktur yang rusak sesuai dengan jenis penyakitnya. Oleh karena itu, terdapat berbagai metode penyembuhan spesifik yang diusulkan melalui terapi sel punca untuk setiap jenis penyakit. Beberapa kasus yang paling umum berhasil diobati dengan terapi sel punca meliputi multiple sclerosis, rheumatoid arthritis, dan systemic lupus erythematosus.
Terapi sel punca menjadi salah satu pilihan pengobatan untuk penyakit autoimun yang menjanjikan. Sel punca adalah sel yang memiliki kemampuan unik untuk berdiferensiasi, diedit, atau dimodifikasi menjadi berbagai jenis sel fungsional, sehingga dapat menggantikan sel-sel tubuh yang tidak lagi berfungsi.
Keunikan sel punca terletak pada kemampuannya yang belum terspesialisasi, dapat membelah diri (proliferasi), dan berpotensi menjadi berbagai jenis sel lainnya. Penelitian medis menunjukkan bahwa pengembangan terapi sel punca memiliki potensi untuk mengubah pendekatan pengobatan penyakit manusia menjadi lebih aman dan secara langsung memperbaiki jaringan atau organ yang telah rusak.
Berdasarkan lokasi asalnya, sel punca dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis: pertama, sel punca embrional yang berasal dari blastokista; kedua, sel punca ekstraembrional yang diperoleh dari tali pusat, plasenta, dan cairan amnion; ketiga, sel punca dewasa yang dapat diambil dari sumsum tulang, darah, lemak, atau kulit. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi sel punca memiliki potensi untuk mengobati berbagai penyakit, seperti demam berdarah, hepatitis, serta infeksi virus lainnya. Tujuan terapi ini adalah untuk menekan respons imun dengan menggantikan sel-sel tertentu yang berperan dalam mengaktivasi sel imun di organ yang terkena.
Terapi sel punca memainkan peran penting dalam mengontrol respons kekebalan yang tidak diinginkan, dengan kemampuan untuk mengekspresikan atau memproduksi molekul imunomodulator, serta melindungi tubuh dari serangan kekebalan dengan cara menghambat inisiasi reaksi tersebut. Meskipun terapi sel punca tidak dapat menyembuhkan penyakit lupus eritematosus sistemik (SLE), terapi ini dapat mengurangi inflamasi secara signifikan.
Dalam proses terapi sel punca ini, dilakukan pengendalian pembentukan autoantibodi yang berlebihan. Sementara itu, sel B yang memproduksi autoantibodi akan berkurang jumlahnya, thanks to peningkatan jumlah treg cell (sel T regulator) yang bertugas menekan pertumbuhan sel B.
Sel B akan mengalami proses kemotaksis, yang membuatnya bertransisi menjadi sel plasma. Pada saat yang sama, sel punca dipersiapkan untuk memproduksi sel B baru yang sehat, dan sel dendritik (DC) sebagai monosit akan mengalami pematangan dan aktivasi. Dengan demikian, reaksi inflamasi dalam sel-sel tubuh akan berkurang.
Namun, terdapat beberapa efek samping yang mungkin muncul akibat terapi sel punca, seperti mual, diare, kelelahan, dan kerontokan rambut. Gejala-gejala ini dapat terjadi apabila terjadi penolakan secara spontan selama transplantasi sel punca, yang sering disebut sebagai penyakit graft-versus-host. Efek samping lainnya dapat mencakup gangguan penglihatan, sakit kepala, kelainan neurologis seperti ataksia dan kejang, serta risiko infeksi atau pendarahan yang dapat mengakibatkan penurunan jumlah trombosit.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.