Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Menggunakan Kembali Huruf Buatan Sendiri

Eduaksi | 2024-12-29 21:00:58

Indonesia sebelum merdeka adalah wilayah Kolonial Hindia Belanda. Indonesia merdeka pada tahun 1945, pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia membutuhkan waktu empat tahun sebagai negara berdaulat pada tahun 1949.

Meskipun rakyat Indonesia telah berhasil merebut kembali hak-hak mereka, Kolonial Hindia Belanda meninggalkan warisan yang mendalam di berbagai aspek kehidupan Indonesia. Salah satu pengaruh yang masih sangat menonjol adalah pemakaian alfabet Latin, yang tetap digunakan secara luas hingga saat ini.

Portugis dan Spanyol adalah bangsa Eropa pertama yang membawa alfabet Latin ke beberapa daerah di Indonesia. Namun, penyebaran penggunaan alfabet di Nusantara dilakukan oleh Belanda melalui perusahaan dagang mereka dan pemerintah kolonialnya, yang digunakan sebagai sarana keperluan dokumen resmi.

Dimulai pada abad ke-17, terjadi proses bertahap yang akhirnya mengarah pada penggunaan alfabet dalam administrasi dan pendidikan di Indonesia. Proses ini memungkinkan bahasa-bahasa daerah, seperti Melayu, untuk mulai ditulis menggunakan alfabet Latin.

Sebelum kedatangan bangsa Eropa, masyarakat di Nusantara telah menggunakan berbagai sistem penulisan lokal, seperti aksara Jawa, Bali, Batak, dan Bugis. Aksara inilah hasil adaptasi khas dari aksara Brahmi yang berasal dari India yang disesuaikan dengan bahasa-bahasa lokal daerah.

Peta oleh komunitas Aksara di Nusantara.

Selain itu, aksara Arab dan Tionghoa juga digunakan oleh para pedagang dari luar daerah. Dengan masuknya Islam, beberapa bahasa lokal mulai ditulis menggunakan huruf Arab.

Penggunaan huruf Latin secara luas diperkenalkan oleh Belanda, yang kemudian mendorong perkembangan sastra dan jurnalisme dalam berbagai bahasa lokal. Publikasi dalam bahasa Melayu sering menggunakan alfabet Latin.

Pada tahun 1928, para nasionalis Indonesia memilih bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dan menggantinya menjadi bahasa Indonesia. Bahasa Melayu, yang sebelumnya berfungsi sebagai bahasa penghubung di Nusantara, diangkat sebagai bahasa resmi negara dengan tetap menggunakan alfabet Latin.

Surat kabar Indonesia yang menampilkan deklarasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, ditulis dalam bahasa Indonesia dan alfabet Latin.

Dekolonisasi bahasa dengan menghidupkan kembali penggunaan bahasa Melayu berhasil, tetapi dekolonisasi dalam sistem penulisan tidak mengalami kesuksesan.

Indonesia melanjutkan kebijakan Belanda dalam menyebarkan alfabet Latin sebagai bagian dari program literasi nasional. Namun, kebijakan ini menyebabkan bahasa-bahasa daerah kini umumnya ditulis menggunakan alfabet Latin, bukan dengan aksara tradisional mereka.

Meskipun pemerintah mendukung pelestarian aksara lokal, dukungan tersebut cenderung bersifat simbolis. Tidak ada program literasi aksara yang dilakukan secara serius.

Program literasi di Indonesia berfokus pada penggunaan alfabet Latin. Balai Bahasa beserta cabang-cabangnya bertujuan mempromosikan aksara Latin sebagai alat untuk memperkuat persatuan nasional.

Meskipun beberapa cabang, seperti di Yogyakarta dan Bali, mempertimbangkan aksara lokal, fungsi utama mereka tetap untuk mendukung penyebaran alfabet Latin.

Pendekatan pemerintah yang terbatas ini sering kali mengesampingkan aksara lokal. Akibatnya, upaya pelestarian dan pengembangan literasi aksara lokal banyak dilakukan oleh masyarakat secara mandiri.

Selain minimnya program literasi, aksara lokal juga kekurangan ranah penggunaan yang memadai.

Rambu transit bus di Yogyakarta yang dibuat oleh masyarakat yang ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia yang menggunakan abjad Latin dan bahasa Jawa yang menggunakan aksara Jawa.

Salah satu contoh penerapan aksara lokal adalah pada papan nama jalan. Di sejumlah kota dan kabupaten, papan nama jalan ditulis menggunakan kombinasi aksara Latin dan aksara lokal.

Beberapa sekolah nasional dan gedung pemerintahan juga memperbolehkan penggunaan aksara lokal pada papan nama mereka. Di Bali, aksara Bali memiliki cakupan penggunaan yang lebih luas dibandingkan aksara lokal lainnya, terutama dalam konteks kegiatan keagamaan.

Untuk masa depan aksara lokal, upaya pelestarian perlu mengatasi minimnya program literasi dan terbatasnya ruang penggunaannya.

Masyarakat telah memulai inisiatif literasi secara mandiri, namun pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk menyusun rencana strategis guna mendukung program literasi yang lebih luas.

Rencana tersebut harus mencakup regulasi yang mendorong penggunaan aksara lokal di berbagai sektor. Sebagai contoh, aksara lokal dapat ditampilkan bersanding dengan alfabet Latin pada dokumen-dokumen resmi.

Mengangkat aksara lokal dari posisinya yang terbatas saat ini ke penggunaan yang lebih luas adalah bagian dari pengakuan terhadap identitas komunitas lokal. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa identitas mereka diakui dan dihormati di tanah air mereka sendiri.

Meskipun langkah ini melibatkan proses dekolonisasi sistem penulisan, ini tidak berarti menyingkirkan aksara Latin, yang telah memberikan banyak manfaat bagi Indonesia.

Sebaliknya, upaya ini bertujuan untuk memperkuat konsep multibahasa, yang merupakan elemen esensial dari identitas bangsa Indonesia. Pada akhirnya, dekolonisasi sistem penulisan ini bertujuan mengembalikan keberagaman representasi aksara asli Nusantara.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image