Indonesia Malas Gerak
Gaya Hidup | 2024-12-26 23:04:37Perilaku malas gerak atau mager merupakan fenomena yang sering ditemukan dalam peradaban umat manusia, terutama pada zaman modern sekarang. Diri kita sendiri pasti pernah mengalaminya. Seperti apa dan bagaimanakah perilaku mager itu dapat terjadi? Apakah mager dapat mengancam keberlangsungan hidup umat manusia?
Perkembangan teknologi digital yang terjadi di Indonesia dapat membuat segala urusan menjadi lebih mudah. Hal ini dapat memberikan kita kemampuan melakukan berbagai macam hal yang sebelumnya mustahil dilakukan. Karena hanya bermodalkan perangkat “logam berbentuk balok”, kita dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Contohnya, belanja kebutuhan pokok, seperti peralatan rumah tangga, pakaian hingga makanan, tidak perlu datang ke pasar, warung atau mall. Cukup megngunakan gawai yang kita miliki melalui Shopee atau Gojek, semua terpenuhi. Kita mendapatkan barang kebutuhan itu hanya dalam beberapa jam, meskipun sambil rebahan di kursi. Tidak heran bahwa sebanyak 82 persen masyarakat Indonesia lebih menyukai belanja online sebab lebih hemat waktu dan tenaga (Sandy, 2023).
Perilaku mager sebagai harga yang harus dibayar dari perkembangan teknologi. Wujudnya adalah gawai yang dapat membuat kita kecanduan. Hanya sambil duduk dan berbaring kita dapat merasakan kebahagiaan. Lewat gawai kita bermain game, menonton film, atau bermedia sosial. Perilaku ini bisa membuat kita berpikiran bahwa gawai merupakan sumber dari segala kebahagiaan. Begitu seterusnya sampai kita melupakan waktu dan lingkungan.
Menurut survei yang dirilis oleh Data.AI, masyarakat di negara Indonesia menempati uratan pertama dalam hal “paling lama menghabiskan waktu” dengan menggunakan gawai, yaitu selama 6,05 jam setiap hari. Sebagai perbandingan, Thailand sebagai negara yang masyarakatnya paling awal menggunakan gawai setelah Indonesia, durasi rata-rata mereka menghabiskan waktu tidak sampai 6 jam atau tepatnya 5,64 jam per hari (Agnes, 2024).
Selain perangkat elektronik yang semakin canggih dan bervariasi, perkembangan teknologi juga menjangkau tranportasi dan infrastruktur. Kedua hal ini merupakan faktor yang dapat menunjang manusia dalam beraktivitas. Ini kabar gembira bahwa manusia dalam menjalankan aktivitasnya akan semakin hemat waktu dan tenaga.
Misalnya, ketika kita berangkat kuliah dari kos ke kampus dengan berjalan kaki akan memakan waktu 30 menit, sedangkan saat menggunakan sepeda motor hanya membutuhkan waktu 10 menit. Penggunaan kendaraan bermotor dapat memangkas waktu dan tenaga dibandingkan berjalan kaki. Hal ini juga berlaku pada lift dalam gedung pencakar langit. Kita akan memilih menggunakan lift untuk naik menuju lantai 11 daripada menaiki tangga.
Oleh karena itu, tidak salah apabila saat ini terbayang bahwa suatu hari kita bisa bangun pagi dan berjalan ke dapur pintar dengan sarapan kopi plus roti bakar hasil sajian robot koki. Kebiasaan berjalan kaki mungkin akan hilang dengan hadirnya hoverboard dan scooter listrik. Kesempurnaan ini merangkum potensi kemalasan kita akibat perkembangan teknologi yang memberikan berbagai kemudahan. Semakin banyak aspek kehidupan yang dapat dibantu oleh teknologi, semakin tiada batas pula perilaku mager mengepung kita.
Dampak dari kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi kepada masyarakat Indonesia saat ini semakin mengkhawatirkan. Akibatnya, masyarakat menjadi semakin mager dalam melakukan aktivitas yang sederhana sekalipun. Contoh, ketika seseorang memilih menggunakan lift untuk naik ke lantai dua sebuah gedung daripada menggunakan tangga, atau memilih menggunakan motor daripada berjalan kaki ke warung tetangga yang hanya berjarak 400 meter.
Gejala ini membuat Indonesia dapat dikatakan sebagai negara paling mager di dunia, meski sekadar berjalan kaki jarak dekat. Berdasar situs resmi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, para ilmuwan di Universitas Stanford menyimpulkan bahwa orang Indonesia paling malas berjalan kaki di antara seluruh negara di dunia. Studi tersebut menerangkan bahwa rata-rata orang Indonesia berjalan kaki hanya 3.513 langkah per hari. Berbeda dengan masyarakat China, Ukraina, dan Jepang yang rata-rata berjalan kaki lebih dari 6.000 langkah per hari (P2ptm.kemkes.go.id, 2018).
Perilaku mager yang menjamur di masyarakat Indonesia tentunya berdampak pada kesehatan, terutama gejala obesitas atau kelebihan berat badan. Penelitian ini mengungkap hubungan antara kurangnya aktivitas berjalan kaki dan tingginya angka obesitas di suatu negara. Indonesia menempati peringkat ke-17 sebagai negara dengan penduduk yang mengalami obesitas terbanyak di dunia. Padahal, obesitas sendiri merupakan akar dari berbagai penyakit serius, seperti diabetes, stroke, penyakit jantung, ginjal, dan masih banyak lagi.
Bila pemerintah ingin mengurangi pengguna layanan BPJS Kesehatan, maka penting menambah dan merawat infrastruktur yang menunjang akses pejalan kaki. Supaya masyarakat tersadar untuk aktif bergerak dan menerapkan pola hidup sehat sebagai lifestyle, se-simple berjalan kaki, diperlukan dukungan infrastruktur yang layak. Tujuan utamanya adalah meningkatkan kesehatan masyarakat.
Lebih dari itu, berjalan kaki dapat memperbaiki lingkungan, mengatasi pemanasan global hingga mengurai kemacetan akibat penumpukan jumlah kendaraan yang tidak sebanding dengan ruas jalan. Karena dengan berjalan kaki, kendaraan yang dipakai tentunya hanya transportasi umum, seperti bus. Bus Transjakarta, contohnya, dapat menampung 80 penumpang (Carina, 2017). Berarti, bila diasumsikan satu mobil pribadi membawa empat penumpang, maka satu bus umum sama dengan 20 mobil. Hal ini tentu dapat mengurai kemacetan di kota hingga menipiskan polusi udara.
Masyarakat Indonesia malas berjalan kaki karena beberapa faktor, seperti cuaca ekstrem, pilihan moda transportasi umum yang belum merata dibandingkan jumlah penduduk, dan infrastruktur jalan yang kurang memadai. Misalnya, banyak jalan di kota yang tidak ada trotoarnya sama sekali atau trotoarnya tidak aman bagi pejalan kaki. Trotoar di Indonesia sering dijadikan jalur kendaraan bermotor, lahan parkir, sampai tempat berjualan pegadang kaki lima. Habislah semua akses untuk pejalan kaki.
Selain itu, kebanyakan tata kota di Indonesia tidak didesain bersamaan dengan akses pejalan kaki. Jalan-jalan kota hanya untuk kendaraan bermotor. Sistem transportasi umum yang belum merata dan tidak terintegrasi juga membuat masyarakat kesulitan berjalan kaki. Akibatnya, kendaraan pribadi menjadi pilihan nyaman sebagai wahana perjalanan. Berbeda dengan negara-negara, seperti Belanda, Denmark, dan China yang tata kotanya memang didesain untuk pejalan kaki dan transportasi umum dibuat terintegrasi (Gamal, 2024).
Teknologi yang berkembang pesat memaksa kita menyikapinya secara bijak agar tujuan perkembangannya menjadi baik tanpa membawa dampak negatif, seperti kebiasaan mager. Selain membutuhkan kesadaran dari masyarakat sendiri, pemerintah pun harus berperan aktif dalam menertibkan perilaku masyarakat dengan meningkatkan kualitas infrastruktur jalan dan moda transportasi publik yang merata dan memadai. Tujuannya supaya masyarakat Indonesia merasa aman, nyaman, dan tertarik melestarikan budaya berjalan kaki sebagai langkah awal mengatasi perilaku mager. Dengan demikian, setiap orang dapat membiasakan hidup sehat dan berperan langsung dalam menyelamatkan bumi dari kerusakan akibat polusi asap kendaraan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.