Menerima Diri, Menerima Orang Lain
Sastra | 2024-12-26 09:28:09Ditulis Oleh: Viya Yanti Mala
(Seorang pendidik dan trainer pendidikan)
Mudahkah anak-anak menerima keadaan dirinya? Pertanyaan ini menjadi salah satu perhatian utama ketika merancang kegiatan untuk menggali kekuatan dan kelemahan siswa di salah satu sekolah daerah Jakarta Selatan. Nyatanya, setelah memberikan angket dan melakukan diskusi mendalam dengan 60 siswa di sana, hasil yang diperoleh cukup mengejutkan. Sebanyak 80% siswa merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Siswa merasa tidak puas dengan dirinya sendiri dan sering kali membandingkan dirinya dengan orang lain, terutama dengan teman-teman yang mereka anggap lebih baik atau lebih unggul dalam berbagai hal. Dampaknya, siswa sering kali menjadi tidak percaya diri, siswa merasa tidak cukup baik apa adanya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan siswa tidak menerima dirinya. Di antaranya adalah ketidakmampuan siswa untuk mengenal dirinya sendiri, kecenderungan menjadikan bentuk fisik orang lain dan kemampuan orang lain sebagai tolak ukur kesempurnaan, serta komentar negatif dari teman tentang bentuk tubuh atau penampilan. Selain itu, orang tua dan guru sering kali lebih fokus menyebutkan kekurangan siswa dibandingkan kelebihannya. Hal ini menambah tekanan pada siswa untuk mencapai standar yang tidak realistis.
Membangun rasa penerimaan diri pada siswa tentu bukanlah proses yang instan. Saya, sebagai guru, menyadari bahwa diperlukan tahapan-tahapan yang mendalam untuk menguatkan penerimaan siswa terhadap dirinya. Tahapan pertama yang perlu dilakukan adalah menggugah kesadaran siswa dengan mengenalkan firman Allah Swt. dalam QS. At-Tin ayat 4:
لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنْسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Artinya: "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya."
Dalam sesi ini, guru mengajak anak-anak untuk berdiskusi mengenai ayat tersebut. Siswa satu persatu diminta mengutarakan pendapat dan perasaan mereka terkait pernyataan Allah Swt. Guru memberikan penguatan bahwa Sang Maha Pencipta, Allah Swt. telah membentuk manusia dalam bentuk terbaik. Oleh karena itu, siswa perlu bersyukur atas penciptaan Allah Swt. dan tidak mengejek apa yang telah Allah Swt. ciptakan pada diri manusia, baik itu diri sendiri maupun orang lain.
Tahapan berikutnya adalah menggali pengetahuan siswa tentang kelebihan dan kekurangan diri. Siswa-siswa diminta berdiskusi mengenai pengertian kelebihan dan kekurangan diri serta tujuan mengenali kedua aspek tersebut. Setelah itu, siswa diminta untuk mengenali dirinya sendiri dengan menuliskan sebanyak mungkin kekuatan dan kelemahan yang mereka miliki. Pada sesi ini, sering kali siswa lebih mudah menuliskan kelemahan dibandingkan kelebihannya. Banyak dari siswa kesulitan menemukan kelebihan yang dimiliki.
Guru berperan penting dalam membantu menyederhanakan pemahaman siswa tentang kelebihan diri. Misalnya, kelebihan tidak harus berupa hal besar atau mencolok. Kemampuan menulis dengan rapi, mudah tersenyum, cepat menolong teman, ramah kepada siapa pun atau bahkan berani memanjat pohon juga termasuk kelebihan. Dengan menyederhanakan konsep ini, siswa biasanya mulai menyadari bahwa mereka memiliki banyak kelebihan. Beberapa siswa bahkan terkejut mengetahui bahwa mereka dapat menuliskan lebih dari dua puluh kelebihan tentang diri mereka sendiri. Proses ini tidak hanya membangun rasa percaya diri, tetapi juga membuka mata siswa terhadap potensi yang ada dalam diri.
Setelah siswa berhasil mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dirinya, langkah berikutnya yang lebih menantang adalah berbagi informasi tersebut di dalam kelompok kecil. Pada tahap ini, masih banyak siswa yang merasa ragu atau malu untuk membagikan informasi tentang dirinya. Namun, guru memberikan penguatan dengan menjelaskan manfaat berbagi kepada orang lain. Dengan berbagi, siswa-siswa dapat saling memahami satu sama lain. Selain itu, mendengarkan kelebihan dan kekurangan teman-temannya dapat membantu siswa melihat betapa Maha Kuasanya Allah Swt. dalam menciptakan manusia dengan beragam karakter dan keunikan.
Diskusi ini diharapkan dapat membantu siswa untuk saling melengkapi satu sama lain. Ketika siswa menyadari bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan, siswa menjadi lebih terbuka untuk menerima diri sendiri dan orang lain. Proses ini bukan hanya soal membangun rasa percaya diri, tetapi juga menanamkan nilai-nilai saling menghargai dan bersyukur atas apa yang dimiliki.
Sebagai tambahan, guru juga perlu melibatkan orang tua dalam proses ini. Dalam pertemuan orang tua, guru memberikan penjelasan tentang pentingnya memberikan dukungan positif kepada anak-anaknya. Guru mengingatkan orang tua untuk lebih sering mengapresiasi usaha dan kelebihan anaknya daripada hanya berfokus pada kekurangan. Orang tua diajak untuk berkomunikasi dengan anaknya menggunakan kata-kata yang membangun, sehingga anak merasa dihargai dan didukung untuk menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
Di sisi lain, sebagai guru, sangat perlu berusaha menjadi contoh yang baik. Guru harus berupaya menghindari komentar negatif yang dapat meruntuhkan rasa percaya diri siswa. Sebaliknya, guru selalu mencari kesempatan untuk memuji usaha dan pencapaian siswa, sekecil apa pun itu. Dengan menciptakan lingkungan yang positif dan suportif, siswa-siswa diharapkan merasa lebih nyaman untuk menerima dirinya sendiri.
Pada akhirnya, proses penerimaan diri adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kolaborasi antara siswa, guru, dan orang tua. Dengan langkah-langkah yang tepat, saya yakin anak-anak dapat belajar untuk mencintai dirinya sendiri, menghargai keunikan yang dimilikinya, dan menyadari bahwa setiap individu diciptakan dengan tujuan dan potensi yang luar biasa. Semoga upaya ini dapat membawa dampak positif dalam kehidupan siswa, baik di sekolah maupun di masa depan. ***
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.