Perubahan Gaya Hidup Konsumtif di Era Media Sosial
Gaya Hidup | 2024-12-25 12:34:45Era media sosial telah membawa banyak perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat. Sebagai seorang mahasiswa Ekonomi Pembangunan di Universitas Airlangga, saya sering merenungkan bagaimana teknologi yang awalnya dirancang untuk memperkuat hubungan sosial justru turut memengaruhi kebiasaan belanja hingga mendorong gaya hidup konsumtif yang semakin sulit dikendalikan.
Pengalaman pribadi saya menjadi salah satu bukti nyata dari fenomena ini. Sebagai pengguna aktif media sosial, saya kerap terpapar berbagai promosi barang dan jasa yang disampaikan melalui influencer atau iklan yang disisipkan di antara unggahan teman-teman. Tidak jarang, saya merasa tergoda untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak benar-benar saya butuhkan hanya karena takut ketinggalan tren atau fenomena yang dikenal sebagai Fear of Missing Out (FOMO). Misalnya, ketika melihat teman-teman membagikan pengalaman mereka membeli make up kekinian atau menggunakan produk fashion terbaru, saya merasa terdorong untuk melakukan hal serupa demi tetap merasa relevan di lingkungan sosial saya.
Budaya belanja online juga menjadi faktor utama yang mempercepat perubahan gaya hidup konsumtif ini. Kemudahan akses terhadap platform e-commerce dan fitur "beli sekarang, bayar nanti" sering kali membuat seseorang lebih impulsif dalam berbelanja. Saya pun pernah terjebak dalam situasi ini ketika merasa perlu membeli sesuatu hanya karena mendapatkan notifikasi promosi diskon besar-besaran. Alih-alih membeli barang yang benar-benar dibutuhkan, saya justru membeli barang yang akhirnya jarang digunakan. Hal ini tidak hanya berdampak pada keuangan pribadi, tetapi juga menimbulkan rasa bersalah karena menjadi bagian dari pola konsumsi yang kurang bertanggung jawab.
Selain itu, promosi berlebihan di media sosial juga memainkan peran besar dalam menciptakan ilusi kebutuhan. Influencer, yang kerap dijadikan panutan oleh banyak pengguna media sosial, secara tidak langsung memengaruhi gaya hidup pengikutnya. Produk yang mereka promosikan sering kali dihubungkan dengan status sosial tertentu, sehingga mendorong konsumen untuk membeli demi mendapatkan validasi sosial. Dalam pandangan saya sebagai mahasiswa Ekonomi Pembangunan, kondisi ini menciptakan siklus konsumsi yang tidak sehat sekaligus menguatkan pola ekonomi berbasis konsumerisme yang kurang berkelanjutan.
Namun, tidak berarti bahwa media sosial sepenuhnya menjadi "penjahat" dalam cerita ini. Jika digunakan dengan bijak, media sosial juga bisa menjadi sarana untuk mempromosikan gaya hidup yang lebih hemat dan berkelanjutan. Saya pribadi mencoba mengubah pola konsumsi dengan mengikuti akun-akun yang mengedukasi tentang pengelolaan keuangan, minimalisme, dan pentingnya membeli barang secara bijaksana. Mengadopsi kebiasaan ini memang membutuhkan waktu, tetapi manfaatnya terasa signifikan, baik bagi keuangan pribadi maupun kesejahteraan mental.
Sebagai bagian dari generasi muda yang hidup di era digital, saya percaya bahwa penting bagi kita untuk lebih kritis terhadap pengaruh media sosial dalam membentuk kebiasaan konsumsi. Media sosial adalah alat yang netral; dampaknya sangat bergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Dengan meningkatkan kesadaran diri dan mempraktikkan pola konsumsi yang lebih bijak, kita dapat menciptakan perubahan positif yang tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga bagi masyarakat dan lingkungan secara luas.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.