Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Zahwa Diladayana

Biaya Kesehatan di Indonesia: Mengapa Lebih Mahal Dibandingkan Negara Tetangga?

Info Sehat | 2024-12-23 11:24:18

Baru-baru ini, media dihebohkan dengan pengumuman dari Kedutaan Besar Malaysia untuk Indonesia yang memasang spanduk ajakan untuk berobat ke Malaysia. Dalam tulisan tersebut, tertulis bahwa biaya kesehatan di negeri jiran tersebut lebih terjangkau dan lebih dekat. Banyak netizen yang memberikan komentar terkait hal ini, dengan banyak yang mengiyakan bahwa berobat di luar negeri, khususnya Malaysia, bisa jauh lebih murah daripada di Indonesia. Beberapa dari mereka juga membandingkan pengalaman berobat di luar negeri dengan di dalam negeri.

Dilansir dari CNN Indonesia, Presiden RI saat itu, Joko Widodo, mengeluhkan bahwa sebanyak satu juta warga Indonesia setiap tahunnya berobat ke luar negeri, yang menyebabkan negara kehilangan 11,5 miliar USD, atau sekitar 180 triliun rupiah. Bahkan, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengakui bahwa harga obat di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan di negara lain seperti Singapura dan Malaysia, dengan perbedaan mencapai 150 persen hingga 500 persen, atau 1,5 kali hingga lima kali lipat. Tentunya, angka ini bukanlah jumlah yang sedikit.

Suatu fakta yang cukup mengherankan adalah bagaimana bisa biaya kesehatan di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Setelah ditelusuri, ada beberapa faktor yang menyebabkan biaya layanan kesehatan di Indonesia jauh lebih mahal.

1. Rantai Pasok Produk Obat yang Cukup Panjang

Rantai pasok obat yang panjang di Indonesia berpengaruh pada tingginya harga obat yang sampai ke masyarakat. Rantai pasok ini dimulai dari produsen, distributor, hingga penjual. Setiap pelaku dalam rantai pasok tersebut biasanya memberlakukan margin tertentu untuk memperoleh keuntungan. Rantai pasok yang tidak efisien menyebabkan adanya biaya tak terduga dan tidak transparan. Meskipun regulasi yang mengatur margin atau batasan harga di rantai pasok sudah ada, namun pelaksanaannya belum optimal. Oleh karena itu, pengawasan dari pemerintah sangat dibutuhkan untuk memastikan regulasi ini diterapkan dengan baik.

2. Pajak Obat dan Alat Kesehatan Impor

Indonesia masih menggantungkan kebutuhan bahan obat dan alat kesehatan (alkes) dari impor. Sekitar 90% bahan obat dan 52% alkes di Indonesia berasal dari impor. Pajak yang dikenakan pada produk obat dan alkes impor mencakup berbagai jenis tarif, seperti pajak pertambahan nilai (PPN), bea masuk, dan pajak penghasilan (PPh). Alat kesehatan yang dikenakan pajak meliputi perlengkapan perawatan untuk layanan kesehatan di Indonesia, dengan ketentuannya yang diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1983, yang menyebutkan bahwa impor alat-alat kesehatan dikenakan pajak pertambahan nilai barang mewah.

Tingginya ketergantungan terhadap impor, ditambah dengan berbagai macam pajak, menjadikan harga obat di Indonesia lebih mahal. Meskipun pemerintah sudah mendorong industri farmasi untuk memproduksi obat dalam negeri, Indonesia hingga saat ini masih kesulitan untuk memproduksi alat-alat kesehatan canggih secara mandiri. Proses impor pun tidak bisa dihindari. Selain itu, pemerintah juga belum memberikan insentif untuk bahan baku alat kesehatan, sehingga meskipun alkes bisa diproduksi dalam negeri, pajak-pajak yang dikenakan tetap memengaruhi tingginya biaya operasional.

3. Inflasi Sektor Kesehatan di Indonesia

Survei Mercer Marsh Benefits (MMB) 2021-2023 mengenai proyeksi tren medis mencatat bahwa inflasi medis di Indonesia selama tiga tahun terakhir mencapai 13,6% pada 2023, meningkat dari 12,3% pada tahun sebelumnya. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi inflasi medis di Asia yang diperkirakan sebesar 11,5%. Kenaikan inflasi ini tentu mempengaruhi kenaikan biaya kesehatan.

4. Tingginya Biaya Tenaga Kesehatan

Biaya tenaga kesehatan di Indonesia juga turut berkontribusi pada mahalnya biaya layanan kesehatan. Tenaga medis, seperti dokter spesialis, perawat, dan tenaga medis lainnya, di Indonesia memiliki biaya pelatihan dan pendidikan yang cukup tinggi, serta seringkali harus bergantung pada rumah sakit besar yang memiliki fasilitas lengkap. Biaya operasional rumah sakit besar ini cenderung tinggi, dan sebagian besar biaya ini ditanggung oleh pasien.

5. Beban Administratif yang Berat

Beban administratif di sektor kesehatan Indonesia juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya biaya. Banyak rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang harus mengelola berbagai macam regulasi, izin, dan prosedur administratif yang rumit. Hal ini tidak hanya mempengaruhi efisiensi pelayanan, tetapi juga menyebabkan biaya operasional yang lebih tinggi, yang akhirnya dibebankan kepada pasien.

Solusi untuk Mengatasi Biaya Kesehatan yang Tinggi

Untuk menurunkan biaya kesehatan, ada beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan:

  • Meningkatkan efisiensi rantai pasok obat dan alat kesehatan, agar harga obat dan peralatan medis bisa lebih terjangkau.
  • Mendorong produksi obat dan alat kesehatan dalam negeri, dengan memberikan insentif bagi industri farmasi lokal dan meningkatkan penelitian serta pengembangan teknologi kesehatan.
  • Meningkatkan kualitas dan jumlah tenaga medis, serta memperbaiki distribusi tenaga medis ke daerah-daerah yang membutuhkan.
  • Penyederhanaan proses administratif dalam sektor kesehatan, untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya operasional rumah sakit.
  • Kebijakan pengendalian inflasi medis, dengan mengatur kenaikan biaya layanan kesehatan agar tetap terjangkau bagi masyarakat.

Dengan adanya upaya-upaya tersebut, diharapkan biaya kesehatan di Indonesia dapat ditekan, dan masyarakat tidak perlu lagi berobat ke luar negeri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih terjangkau. Pemerintah, bersama dengan sektor swasta, perlu bekerja sama untuk menciptakan sistem kesehatan yang lebih efisien, transparan, dan ramah biaya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image