Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Indah Kartika Sari

Dilema Ibu Berdaya, Sebagai Tulang Punggung Atau Tulang Rusuk?

Agama | 2024-12-23 08:48:05
Oleh Indah Kartika Sari

Ibu adalah sosok yang selalu menarik untuk dibahas. Ibu adalah perempuan yang kerap kali mendapatkan sorotan dalam setiap seremonial. Entah itu momen hari ibu, hari kartini, hari perempuan internasional atau pun hari keluarga.

Ibu adalah makhluk Allah yang hebat karena di balik kelemahlembutan dan kasih sayangnya, sosok ini menyimpan potensi dan kekuatan yang sangat besar. Dialah manusia yang disebut-sebut sebagai tiang negara. Bahkan, Hamka menggambarkan ibu sebagai perempuan yang berpengaruh dalam kebaikan negara. “Jika perempuannya baik, baiklah negara, dan jika mereka bobrok, bobrok pulalah negara. Mereka adalah tiang, dan biasanya tiang rumah tidak begitu kelihatan. Namun, jika rumah sudah condong, periksalah tiangnya. Tandanya tianglah yang lapuk.”

Ibu, dialah yang selalu mendapatkan apresiasi tahunan melalui peringatan hari ibu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tema peringatan hari ibu 2024 juga tak lepas dari kata “berdaya”.

Perempuan Menyapa, Perempuan Berdaya Menuju Indonesia Emas 2045” menjadi rutinitas untuk melakukan refleksi tentang ibu sebagai pahlawan super untuk keluarganya. Ibu, bukan hanya sebatas mengurus rumah tangga namun juga bisa bertransformasi menjadi pencari nafkah.

Begitulah ibu, perannya tidak lagi sebagai tulang rusuk yang dilindungi namun juga berperan ganda sebagai tulang punggung keluarga. Namun bahagiakah ibu dengan peran gandanya sekarang?

Tak bisa dipungkiri, ibu yang hidup dalam sistem kapitalisme sekuler penghamba materi dan cuan akan mengalami berbagai dilema. Dalam paradigma kapitalisme sekuler, ibu yang berdaya adalah ibu produktif tulang punggung rumah tangga penghasil cuan sebagai solusi masalah ekonomi keluarga bahkan ekonomi bangsa.

Sistem sekulerisme yang merusak lewat jargon manis pemberdayaan ekonomi perempuan menjebak ibu menjadi berdaya sebagai tulang punggung penopang ekonomi keluarga, namun akhirnya justru diperdaya menjadi mesin-mesin uang yang mencabut fitrah keibuannya. Kelemahlembutan ibu tercerabut karena letihnya menghadapi tekanan hidup membuatnya sosoknya begitu rapuh namun terlihat garang dan kejam memperlakukan anak-anaknya. Betapa banyak ibu mengalami mental illness yang tega membuang bayinya, menelantarkan buah hatinya bahkan membunuh anak-anaknya karena faktor ekonomi.

Sistem sekulerisme memang mengangkat eksistensi ibu, namun justru banyak ibu diperdaya lewat eksploitasi tubuhnya demi kepentingan bisnis dengan mengorbankan rasa malu mereka.

Sistem sekulerisme memberdayakan intelektual para ibu, tapi justru diperdaya liberalisasi agama dengan menjual ayat-ayat Allah melalui rekonstruksi fikih perempuan.

Sistem sekulerisme ini telah membuat tiang negara ini rapuh. Sistem sekulerisme dengan pemberdayaan semuanya telah menghilangkan kebahagiaan dan kesejahteraan para ibu sebagai tulang rusuk yang dilindungi. Ketika tulang rusuk ini berubah fungsi menjadi tulang punggung, para ibu tidak sanggup memikul bebannya sehingga berujung pada problem keretakan keluarga dan hancurnya generasi.

Jauh berbeda dengan Islam yang begitu memuliakan ibu sebagai tulang rusuk dengan memberikannya karir terbaik di dalam rumahnya yaitu memberdayakannya sebagai ibu pendidik generasi dengan jaminan pahala, ridho Allah dan surgaNya. Agar ibu bisa optimal menjalankan tugasnya mengasuh dan mendidik anak, maka ibu akan dijamin nafkahnya oleh suami atau para wali. Jika tidak ada suami atau wali, urusan nafkah dan perlindungan terhadap ibu beralih pada negara.

Sekalipun ibu memiliki tugas domestik yang sangat penting, namun Islam memberikan ruang kepada para ibu untuk memberdayakan dirinya pada ruang publik. Para ibu tidak perlu menuntut diberdayakan dalam bidang pendidikan, karena faktanya masa keemasannya, Islam telah mewujudkan ibu-ibu mubalighoh dan intelektual. Tak usah menuntut diberdayakan dalam bidang ekonomi karena faktanya selama 13 abad hidup dalam naungan Khilafah, semua ibu hidup bahagia dan sejahtera tanpa menjadi mesin ekonomi. Sementara dalam bidang politik, para ibu dijamin peran politiknya untuk melakukan muhasabah atau berdakwah dalam rangka mewujudkan umat terbaik.

Melalui momen hari ibu ini patutlah para ibu merenungkan bahwa pemberdayaannya dengan paradigma kapitalisme sekulerisme sesungguhnya merupakan bentuk eksploitasi yang mencerabut fitrah keibuannya. Dengan demikian, para ibu seyogianya memberdayakan ulang perannya dalam ranah domestik dan publik sesuai tuntunan Islam, bukan pada aturan kapitalisme sekulerisme. Wallahu a’lam.

Bahan Bacaan:

https://www.detik.com/jogja/berita/d-7694148/peringatan-hari-ibu-ke-96-tahun-2024-tema-logo-sejarah-cara-memperingati

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image