Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Sebab Polaris Selalu Hadir: Memandu Jiwa yang Terombang-ambing

Humaniora | 2024-12-19 21:11:27
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Di belahan Bumi Utara nun jauh di sana, ada satu bintang terang yang namanya tak sepopuler Sirius, namun sangat familiar di telinga para pelaut juga para pengelana yang kerap kali terombang-ambing dalam lepasnya lautan luas dan tersesat dalam pekatnya gelap. Bintang itu ialah Polaris, sang Bintang Utara. Dibandingkan dengan Sirius, ia bukanlah yang paling terang. Namun, sesuai julukannya, "Bintang Harapan", ia selalu setia berada di satu tempat, menjadi secercah harapan menuju arah pulang di tengah pekatnya langit malam.

Dalam hidup, kita mungkin sering merasa seperti para pengelana itu—hilang arah, lelah, bahkan ingin menyerah ketika badai kehidupan menerjang. Puncak yang pelik ialah depresi; yang dalam perspektif psikologi dijelaskan sebagai sebuah fenomena mental dan emosional yang ditandai dengan kesedihan mendalam, perasaan tak berarti, kehilangan minat, bahkan bisa memengaruhi kondisi fisik penderitanya (Dirgayunita, 2016). Fenomena mental ini marak kita temui–sebuah kondisi kesehatan mental serius yang sayangnya masih sering disalahpahami. Hal ini membuat banyak penderitanya merasa seolah-olah ditinggalkan, tak dicintai, atau bahkan dibenci; yang tak jarang pula berujung pada keputusasaan dan bunuh diri.

Namun, tahukah kamu bahwa seperti Polaris yang selalu setia menjadi penuntun arah pulang di tengah pekatnya malam, ada banyak pula reassurance yang bisa ditemukan bagi mereka yang tengah terombang-ambing dalam badai depresi? Dalam ajaran Islam, salah satu reassurance itu datang dalam bentuk penghiburan dari Allah melalui Surah Ad-Dhuha ayat 3, yang berbunyi:

“Tuhanmu tiada meninggalkan engkau (Muhammad), dan tiada (pula) membencimu.”

Apa yang membuat ayat ini begitu spesial?

Penghiburan dalam Dua Ujian Besar Rasulullah

Layaknya manusia biasa, Rasulullah saw. pun pernah mengalami masa-masa sulit yang bisa dikaitkan dengan depresi. Salah satunya ialah peristiwa yang melatarbelakangi turunnya Surah Ad-Dhuha ayat 3 ini, yakni peristiwa Fatratul Wahyi atau Terputusnya Wahyu.

Disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir (2004), bahwa Rasulullah pernah merasa sangat bersedih hati hingga beliau sakit dan tak bangun untuk melakukan sembahyang malam selama satu atau dua malam, sebab wahyu yang dinantikan tak kunjung turun. Kesedihan ini diperburuk oleh hinaan dari Ummu Jamil, istri Abu Lahab, yang mendatangi beliau dan dengan sinis berseru, “Syaitanmu telah meninggalkanmu!”

Penghinaan ini tentunya menambah tekanan Rasulullah, sebab selain gundah merindukan wahyu, beliau juga harus mendengar olok-olok dari orang-orang yang memusuhinya, memprovokasi bahwa Allah telah meninggalkannya.

Waktu demi waktu silih berganti, beriringan dengan penghinaan yang seolah tak berujung. Namun, Rasulullah tetap menguatkan hati dan memupuk kesabaran, hingga akhirnya secercah harapan pun datang menerangi gelapnya masa itu.

Wahyu yang sempat terputus kembali berjalan, ditunjukkan dengan turunnya Surah Ad-Dhuha ayat 1-3.

وَالضُّحٰىۙ ۝١ وَالَّيْلِ اِذَا سَجٰىۙ ۝٢ مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلٰىۗ ۝٣
“Demi waktu Dhuha, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan engkau (Muhammad), dan tiada (pula) membencimu.” (QS. Ad-Dhuha: 1-3)

Indah, bukan?

Indah, bagaimana Allah menggambarkan penderitaan yang diberikan kepada Rasulullah itu dengan malam yang gelap nan sunyi, yang menandakan bahwa seiring berjalannya waktu, seperti pagi, secercah cahaya harapan pasti akan datang.

Indah pula, bagaimana Allah menurunkan surah ini bukan hanya sebagai respon terhadap hinaan dan fitnah dari mereka yang memusuhi Rasulullah, tapi juga sekaligus sebuah reassurance, bahwa Allah tak pernah dan tak akan pernah meninggalkannya terlebih membencinya—bahwa penderitaan yang beliau alami bukan merupakan hukuman, melainkan bentuk kasih sayang Allah berupa ujian untuk menguatkan.

Sebab kasih sayang Allah pada Rasulullah yang tak terjangka, Rasulullah pun kembali diuji. Dalam Ar-Rahiq Al-Makhtum karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri (2011), dikisahkan tentang periode paling berat dalam hidup Rasulullah yang dikenal sebagai Amul Huzni atau Tahun Kesedihan. Pada tahun ini, Rasulullah kehilangan dua orang yang sangat beliau cintai dan yang selalu mendukungnya, yakni istrinya, Khadijah ra. dan pamannya, Abu Thalib, dalam waktu yang relatif berdekatan, membuat jiwa Rasulullah terguncang hebat. Kehilangan ini sangat memengaruhi kondisi emosional Rasulullah, ditambah lagi dengan perlakuan dari para kaum kafir Quraisy yang semakin berani dalam menentang dakwahnya, dengan terang-terangan menyakiti beliau, hingga membuat Rasulullah hampir putus asa dalam berdakwah.

Karenanya, beliau hijrah menuju Thaif dengan harapan dakwahnya akan diterima dan mendapat perlindungan, namun yang terjadi justru sebaliknya; penduduknya malah menyiksa Rasulullah dengan lebih sadis daripada yang dilakukan oleh kaumnya sendiri. Beliau diteriaki, dihina, bahkan sampai dilempari dengan batu (Al-Mubarakfuri, 2011).

Di tengah masa-masa sulit tersebut, Allah kemudian memberikan penghiburan sekaligus penghormatan yang tak ternilai: perjalanan Isra Mikraj. Di mana dalam perjalanan tersebut, Rasulullah melihat dan mengalami kejadian bervariasi, diperlihatkan tanda-tanda kekuasaan Allah, dan puncaknya ialah di mana beliau mendapatkan hadiah istimewa berupa kewajiban shalat lima waktu, yang sejatinya merupakan wujud kasih sayang Allah berupa ketenangan dan kedekatan bagi hamba-Nya (Haris, 2015).

Refleksi: Mencari Polaris, Menjadi Polaris

Kisah Rasulullah saw. dalam dua ujian besar hidupnya tersebut mengajarkan kita banyak hal dalam menghadapi badai kehidupan. Dalam keheningan dan kegelapan di masa wahyu terputus, Allah akhirnya menurunkan penghiburan melalui Surah Ad-Dhuha, yang membawa harapan bahwa seberat apa pun penderitaan, Allah tak pernah dan tak akan pernah meninggalkan kita—dan bahwa penderitaan yang Allah berikan bukanlah sebab Dia benci, melainkan wujud kasih sayang pada hamba-hamba yang dicintai-Nya.

Sama halnya di Tahun Kesedihan, di mana Allah menunjukkan bahwa di balik kehilangan yang besar, akan selalu ada tanda kasih sayang-Nya—seperti perjalanan Isra Mikraj yang membawa pelipur serta penghormatan bagi Rasulullah.

Hikmah dari dua peristiwa ini sejalan dengan temuan-temuan modern tentang depresi. Banyak penelitian menunjukkan bahwa harapan dan dukungan adalah dua faktor penting dalam pemulihan kesehatan mental.

✦ Mencari Polaris

“Bukanlah rasa lapar atau rasa sakit yang paling mematikan, melainkan hilangnya harapan.”

Itulah pandangan Viktor E. Frankl dalam bukunya, Man's Search for Meaning (2017). Frankl mengamati para tahanan kamp konsentrasi Nazi yang kehilangan harapan cenderung mati lebih cepat, meskipun kondisi fisik mereka masih memungkinkan untuk bertahan hidup. Menurut Frankl, menemukan harapan melalui pencarian makna hidup adalah kunci utama untuk bertahan menghadapi penderitaan seberat apa pun. Seperti yang ia kutip dari ucapan Nietzsche, “Dia yang punya alasan mengapa harus hidup, tentu mampu untuk menanggung segala bentuk bagaimana caranya hidup.”

Makna hidup itu sendiri menjadi pusat dari logoterapi yang dikembangkan oleh Frankl. Dalam logoterapi, dijelaskan bahwa kekurangan makna hidup menyebabkan kehampaan eksistensial, yang seringkali berujung pada depresi dan kecemasan. Maka, bagi Frankl, menemukan makna hidup merupakan kebutuhan paling mendasar bagi manusia. Menurutnya, terdapat tiga cara untuk menemukan makna hidup: melalui karya atau perbuatan, mengalami sesuatu atau bertemu dengan seseorang, dan melalui cara menyikapi penderitaan yang tak terelakkan (Frankl, 2017).

1. Melalui karya atau perbuatan. Setiap hal yang kita lakukan dalam hidup pastilah berarti, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Mungkin kita tak menyadarinya, tapi pasti ada bagian dari perbuatan kita yang bisa jadi sangat bermakna. Sebagai contoh, dalam kisah Rasulullah, kita sering mendengar bagaimana beliau terus maju berdakwah meski ditimpa oleh berbagai ujian penderitaan. Mungkin saat itu dicaci-maki dan dianggap sebagai usaha yang tak berarti, namun sekarang kita bisa lihat bagaimana perjuangan Rasulullah tersebut berdampak baik khususnya pada penyebaran ajaran Islam hingga kini.

2. Mengalami sesuatu atau bertemu dengan seseorang. Ini bisa dikaitkan dengan cinta. Ketika hidup terasa begitu berat, mengingat cinta yang kita miliki—baik cinta kepada orang lain maupun cinta yang kita terima—dapat membantu kita bertahan. Rasulullah memberi kita contoh melalui cintanya yang begitu besar kepada umat dan keluarganya. Di Tahun Kesedihan, beliau kehilangan istri tercintanya dan pamannya yang selalu mendukungnya. Namun, cinta Rasulullah kepada umat Islam dan keyakinannya kepada Allah membuat beliau tetap melangkah, bahkan di saat kehilangan begitu menyiksanya. Cinta itu pun menjadi bahan bakar bagi perjalanan hidup beliau yang lebih bermakna.

3. Melalui cara menyikapi penderitaan yang tak terelakkan. Penderitaan sering kali tak terelakkan, namun cara kita menghadapinya bisa memberikan makna yang luar biasa. Rasulullah menunjukkan hal ini dalam kejadian di mana beliau dihina dan disakiti saat berdakwah di Thaif. Meski terluka fisik dan batin, beliau tak membalas dengan amarah. Sebaliknya, Rasulullah berdoa agar keturunan penduduk Thaif kelak menerima hidayah. Dari sini, kita belajar bahwa makna hidup bisa ditemukan dalam keberanian untuk tetap berbuat baik, meski dunia tak memperlakukan kita dengan sama baiknya. Seperti yang Frankl sampaikan, “Ketika kita tak lagi bisa mengubah keadaan, kita ditantang untuk mengubah diri kita sendiri.”

Jalan yang kita lalui dalam pencarian makna hidup bisa jadi berbeda, namun semuanya memiliki tujuan yang sama: menemukan Polaris, bintang penunjuk yang akan menuntun kita di saat-saat tergelap sekalipun–baik menuju arah pulang, maupun ke perjalanan hidup yang lebih besar.

✦ Menjadi Polaris

Dalam panggung kehidupan, kita semua punya peran. Jika yang lain melakonkan diri sebagai pengelana yang tersesat dalam besarnya badai dan gelapnya malam, maka harus ada pula yang berperan sebagai Polaris bagi mereka.

Menjadi Polaris, berarti hadir sebagai sumber dukungan dan penguatan bagi mereka yang sedang bergelut dengan depresi. Sejalan dengan ini, berbagai studi menunjukkan bahwa dukungan sosial memiliki peran penting dalam membantu mereka yang sedang berjuang menjalani masa-masa sulit. Dukungan sosial dapat mengurangi tingkat stres individu (Ozbay et al., 2007), membuat mereka mampu menghadapi tekanan hidup dan menjadikan tingkat mortalitas mereka lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang mengisolasi diri (Southwick, 2005).

Dalam konteks mendampingi seseorang yang sedang bergelut dengan depresi, bentuk dukungan ini bisa berupa kehadiran fisik, menguatkan dengan kata-kata yang mungkin ingin mereka dengar, atau bahkan hanya dengan mendengarkan–tanpa menghakimi. Sebab terkadang, cukup dengan berada di sana, mendampingi mereka dan menunjukkan bahwa mereka tak sendirian, sudah merupakan sebuah langkah besar. Seperti yang sebelumnya disebutkan oleh Frankl (2017), makna hidup seringkali ditemukan dalam momen-momen kecil, yang di sini bisa kita maksudkan pada cinta dan perhatian.

Kata-kata seperti, “Kamu nggak sendiri, kok. Tenang aja, ada aku di sini,” sudah lebih dari cukup untuk membuat mereka merasa dicintai dan dihargai; seperti kisah sebelumnya di mana Allah memberi reassurance kepada Rasulullah berupa turunnya Surah Ad-Dhuha ayat 3, yang menekankan bahwa Allah tak pernah dan tak akan pernah meninggalkan Rasulullah, terlebih membencinya.

Kita bisa melakukannya dari bentuk-bentuk kepedulian terkecil. Kita punya kesempatan untuk menjadi Polaris bagi mereka. Dukungan sederhana yang kita berikan mungkin tidak selalu terlihat besar, tetapi bagi mereka yang sedang berjuang, hal itu bisa menjadi penyelamat yang berarti.

Maka, layaknya Polaris, mari menjadi secercah cahaya 'tuk bantu tunjukkan arah bagi jiwa-jiwa yang hilang. Tak perlu jadi yang paling terang, sebab seseorang pernah bilang, “Even the blackest darkness vanishes in the faintest light.” (Sweet Home, 2020).

Referensi:

Dirgayunita, A. (2016). Depresi: Ciri, Penyebab dan Penangannya. Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, 1(1), 1–14. https://doi.org/10.33367/psi.v1i1.235

Ghoffar, M. A., et al. (2004). Tafsir Ibnu Katsir (Jilid 8). Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi'i.

Al-Mubarakfuri, S. (2014). Sirah Nabawiyah (F. Irawan & A. Suwandi, Terjemahan). Jakarta: Ummul Qura.

Haris, A. (2015). Tafsir Tentang Peristiwa Isra' Mi'raj. Tajdid, 14(1).

Frankl, V. E. (2017). Man's Search for Meaning (Priyatna H., Terjemahan). Noura Books.

Ozbay, F., Johnson, D. C., Dimoulas, E., Morgan, C. A., & Charney, D. S. (2007). Social Support and Resilience to Stress: From Neurobiology to Clinical Practice. Psychiatry (Edgmont), 4(5), 35-40.

Southwick, S. M., Vythilingam, M., & Charney, D. S. (2005). The Psychobiology of Depression and Resilience to Stress: Implications for Prevention and Treatment. Annual Review of Clinical Psychology, 1, 255–291.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image