Ketika Lahan dan Hak Dirampas: Mengupas Ketidakadilan di Distrik Kaureh, Papua
Lainnnya | 2024-12-19 17:43:17Kaureh, sebuah distrik di Kabupaten Jayapura, Papua, yang telah hidup berdampingan dengan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit selama lebih dari 30 tahun. Selama waktu itu, meskipun perusahaan mempunyai janji manis untuk membantu warga setempat, kenyataannya yang terjadi jauh dari harapan. Konflik antara warga setempat dan perusahaan semakin memuncak akibat banyaknya janji yang tidak pernah dipenuhi, sehingga meninggalkan rasa kekecewaan yang mendalam di kalangan warga setempat.
Salah satu janji utama yang disampaikan oleh perusahaan kelapa sawit pada awal kerja sama adalah pemberian lahan plasma kepada warga setempat. Berdasarkan peraturan yang ada, perusahaan harus menyisihkan 20% dari total luas lahan untuk lahan plasma, yang diperuntukkan untuk warga setempat. Namun, kenyataannya lahan plasma yang diberikan kepada warga setempat tidaklah sebesar yang dijanjikan, dan banyak dari mereka yang merasa dirugikan.
Dari total 31.000 hektar lahan yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit di distrik ini, sebagian besar tanah tersebut tidak sepenuhnya milik perusahaan. Sebagian besar dari lahan tersebut adalah lahan plasma, yang seharusnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan warga setempat. Namun, warga setempat banyak yang merasa tidak mendapatkan manfaat yang seharusnya mereka terima dari kerja sama ini.
Salah satu hal yang semakin memperburuk hubungan antara warga dan perusahaan adalah pengambilalihan lahan milik warga setempat. Salah seorang warga setempat mengungkapkan kekecewaannya, "Pertama kan, mereka janji sama masyarakat itu, masyarakat minta apa saya bantu, tapi nyatanya hari ini tidak ada". Perusahaan tidak hanya gagal memenuhi janji mereka, tetapi juga telah menggunakan lahan pribadi milik warga setempat untuk membuang sisa tandan sawit dan mengambil humus dari tanah tersebut. Padahal, lahan tersebut berada di luar kawasan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan.
Tindakan ini jelas menunjukkan ketidakadilan yang dialami oleh warga setempat, yang seharusnya memiliki hak atas tanah mereka. Tidak hanya kehilangan tanah, warga setempat juga harus menghadapi kenyataan bahwa perusahaan mengambil sumber daya alam yang seharusnya menjadi hak mereka, contohnya seperti tempat berburu dan sumber daya yang ada di hutan, tanpa ada kompensasi atau izin yang jelas.
Meskipun perkebunan kelapa sawit dari perusahaan ini memberikan lapangan pekerjaan bagi sebagian warga setempat, tapi kenyataannya banyak buruh yang didatangkan dari luar Papua. Hal ini mengurangi peluang bagi warga setempat untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan tersebut. Selain itu, buruh lokal yang bekerja di perusahaan sawit ini juga berada dalam posisi yang sangat rentan. Mereka bisa dipecat kapan saja, tanpa ada jaminan pekerjaan yang stabil.
Masyarakat di Lembah Grime Nawa, salah satu wilayah yang paling terdampak, pernah mengajukan tuntutan kepada pemerintah Kabupaten Jayapura untuk mencabut izin perusahaan ini. Mereka merasa bahwa perusahaan telah merugikan mereka dalam banyak hal, baik secara langsung maupun tidak langsung. Meski pemerintah akhirnya membatalkan izin perusahaan, kenyataannya perusahaan ini masih terus beroperasi tanpa ada sanksi yang tegas. Hal ini menambah kekecewaan besar warga setempat, yang merasa bahwa suara mereka tidak didengar.
Selain konflik terkait lahan, masalah lain yang muncul adalah aktivitas illegal logging yang dilakukan oleh pihak yang terkait dengan perusahaan. Kayu hasil illegal logging ini diambil dari hutan sekitar untuk membangun rumah atau membuka kebun. Meskipun pengambilan kayu untuk keperluan tersebut mungkin tidak menimbulkan kerusakan yang besar, tapi masalah timbul ketika kayu tersebut diperjualbelikan dalam jumlah yang besar.
Pemerintah setempat sempat menyatakan bahwa tidak ada lagi kontainer yang melintasi daerah tersebut untuk mengangkut kayu ilegal, namun kenyataannya truk-truk kontainer yang membawa kayu masih terlihat melintas menuju Kota Jayapura. Hal ini menandakan bahwa meskipun ada pernyataan resmi dari pemerintah, praktik illegal logging masih terus berlangsung di lapangan.
Keberadaan perusahaan kelapa sawit di Distrik Kaureh telah membawa banyak dampak negatif bagi warga setempat. Meskipun ada janji untuk memberikan kesejahteraan, kenyataannya banyak warga yang merasa tertinggal. Lahan yang mereka miliki diambil alih, hak mereka direbut, dan mereka hanya menjadi buruh dengan posisi yang rentan. Perusahaan kelapa sawit tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengikis kehidupan sosial dan ekonomi warga setempat. Warga yang awalnya berharap dapat meningkatkan kesejahteraan mereka melalui kerja sama dengan perusahaan, kini justru merasa terjebak dalam ketidakadilan dan ketergantungan. Jika pemerintah dan perusahaan tidak segera mengambil tindakan tegas, maka masa depan warga di distrik ini akan semakin suram, dan ketimpangan sosial akan semakin menganga.
Referensi:
Channel YouTube Indonesia Baru dengan judul “Berebut Tanah – Episode #10 Ekspedisi Indonesia Baru”
Link: https://www.youtube.com/watch?v=GiWXHiBkklM
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.