Usia Cakap Menikah dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam
Pendidikan dan Literasi | 2024-12-18 16:35:08Sebagai sebuah ikatan, perkawinan yang terbentuk antara seorang pria dan seorang wanita didasari oleh ikatan batin/perasaan. Ikatan batin, bukan soal ketertarikan fisik, melainkan gerakan hati terdalam antara kedua belah pihak bahwa sama-sama cocok untuk hidup bersama. Di sini kecocokan hati batin menjadi motivasi dasar untuk mau mengikat diri secara lahiriah. Jelas di sini bahwa motivasi dasar adalah ekspresi perasaan.
Ekspresi batin dari kedua sisi ini hanya dapat dirasakan dan diketahui oleh keduanya karena hanya diketahui oleh kedua belah pihak, sehingga makna visionernya tidak dapat dipisahkan secara batiniah. Hal ini tidak sah menurut aturan agama dan negara, serta sosiologis suatu masyarakat. Oleh karena itu, agar bisa diakui secara resmi, berdasarkan ungkapan kedua hati tersebut, yang menjadi lembaga dasar, yang menurut penulis menjadi pembentuk lembaga-lembaga lain adalah ‘lembaga batin’ kedua pasangan.
Ekspresi pengikatan batin yang sudah ada dalam 'institusi batin' sebenarnya harus diakui secara agama dan sosial. Sehingga 'lembaga batin' tersebut bisa diketahui masyarakat umum bahwa kedua pasangan ini telah menjadi suami istri. Maka kedua pasangan ini menyatakan diri dalam janji akad nikah antara mereka di hadapan perwakilan lembaga keagamaan dan disaksikan oleh wali nikah.
Ekspresi pengikatan batin yang sudah ada dalam 'institusi batin' sebenarnya harus diakui secara agama dan sosial. Sehingga 'lembaga batin' tersebut bisa diketahui masyarakat umum bahwa kedua pasangan ini telah menjadi suami istri. Maka kedua pasangan ini menyatakan diri dalam janji akad nikah antara mereka di hadapan perwakilan lembaga keagamaan dan disaksikan oleh wali nikah.
Manusia melalui lembaga perkawinan menyusun struktur kehidupannya dalam suatu organisasi rumah tangga yang kemudian disebut keluarga. Keluarga kemudian menjadi unsur penting bagi berkembangnya suatu komunitas manusia yang mana setiap elemen dalam masyarakat berkomitmen untuk mentaati norma-norma sebagai hasil kesepakatan bersama untuk bersama-sama mencapai tujuan hidup masyarakat. [2]
Sebagai tindakan manusia dewasa, perkawinan merupakan suatu peristiwa yang dapat dilangsungkan setelah melalui pertimbangan-pertimbangan baik rasional maupun emosional atau mental. Selain diperhatikan dan diterima akal sehat, segala persiapan pernikahan merupakan persiapan mental dari calon pasangan itu sendiri. Persiapan mental ini dimulai dari hal paling sederhana yaitu mengenal dan memahami pasangan serta memahami makna pernikahan. Dalam tahap persiapan pernikahan, membangun hubungan sosial yang romantis dan harmonis merupakan hal yang penting dan harus dijalani. [3]
farid: Dari sudut pandang filosofis, unsur filosofis sebagai pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk memperhatikan pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita hukum yang meliputi suasana batin dan filosofi bangsa Indonesia yang bersumber. dari Pancasila dan Proklamasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. [ 4]
Dalam Pasal 1 UU Perkawinan disebutkan 2 (dua) tujuan perkawinan yang terjalin antara suami istri, yaitu keluarga bahagia dan keluarga kekal. Keluarga bahagia tidak diukur dari banyaknya kekayaan. Bahkan tidak diukur dari jumlah anak yang akan menjadi ahli waris generasi penerus. Kebahagiaan dalam keluarga meliputi dua sisi, yaitu sisi luar dan sisi dalam. Sisi eksternal harus dilihat pada keharmonisan hidup melalui kejujuran, disiplin, vitalitas, penataan ekonomi keluarga secara bijaksana, perencanaan dan pengaturan kelahiran anak, hubungan dalam keluarga baik internal maupun eksternal, ketahanan dalam menghadapi cobaan, dan lain-lain. . Sedangkan sisi batinnya terungkap dalam sikap saling menerima satu sama lain meskipun banyak perbedaan, saling mendukung kebenaran dan kejujuran dalam berperilaku dan bertindak, kemampuan menghargai perbedaan masing-masing pasangan, saling menghargai dan menghormati baik antar pasangan maupun anggota keluarga. , dan lainnya.
Sedangkan keluarga kekal adalah keseluruhan keluarga. Keutuhan keluarga ini harus dijaga hingga maut menjemput setiap pasangan. Kelanggengan keluarga terlihat dari keharmonisan kehidupan keluarga. Keharmonisan keluarga jika terpenuhi lahir dan batin. Di sini, sebuah keluarga yang telah berjanji di depan umum diuji untuk mencapai kebahagiaan dan kelanggengan dalam kehidupan berkeluarga. Jadi keluarga yang bermartabat dan berkualitas merupakan sebuah proses yang harus diperjuangkan bersama. Bahkan tujuan yang disebutkan dalam pasal 1 UU Perkawinan bukanlah akhir dari kehidupan berkeluarga, melainkan suatu proses yang harus dicapai untuk menjadi keluarga yang bermutu dan bermartabat.
Keluarga sebagai basis inti masyarakat merupakan wahana yang paling tepat untuk memberdayakan masyarakat dan menertibkan berbagai faktor yang mendorong lahirnya berbagai bentuk frustasi sosial. Pemahaman ini bersifat aksiomatik dan universal dalam arti bahwa setiap masyarakat membutuhkan wahana pemberdayaan. Di Eropa misalnya, saat ini para sosiolog merasa resah karena adanya prediksi kepunahan bangsa. Bagaimanapun, ketertiban, kesucian dan semangat berkeluarga sangat tipis di kalangan generasi muda. Hal itu tentu saja berdampak buruk terhadap pertumbuhan penduduk. Berbagai penyakit sosial bermunculan. Mulai dari angka bunuh diri yang tinggi hingga anomali manusia lainnya.
Dalam terbentuknya suatu keluarga, perkawinan mempunyai tujuan untuk menciptakan ikatan dan kesatuan. Adanya ikatan kekeluargaan diharapkan dapat mempererat ikatan persaudaraan antar anggota masyarakat dan antar bangsa. Selain fungsi sosial, fungsi ekonomi dalam berkeluarga juga akan terlihat dalam artian bahwa perkawinan merupakan sarana untuk memperoleh keberkahan, karena jika kita bandingkan kehidupan seorang lajang dengan kehidupan seorang yang menikah maka dapat disimpulkan bahwa Terlihat bahwa orang yang menikah lebih hemat dan hemat dibandingkan dengan orang yang lajang. Selain itu, orang yang menikah lebih aktif dalam mencari nafkah karena rasa tanggung jawab terhadap keluarga lebih besar dibandingkan orang yang lajang. [5]
Referensi:
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hope, 1996)
Abdul Ghalib Ahmad, Pernikahan Islami (Solo: Pustaka Manthiq, 1997)
Andi Sjamsu AlamUsia Idealnya Menikah, Upaya Mewujudkan Keluarga Sakinah, (Jakarta: Kencana, 2006)
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Sejarah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dalam Pendidikan Hukum Agama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Jakarta: Depag RI, 1996)
Hidun Anisah, Kedudukan Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: LBH Apik, 2005)
Jazim Hamidi, Hermeunitika Hukum (Yogyakarta " UII Press, 2005)
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan (Jakarta: Bumi Aksara, 1996)
Peuonoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Studi Banding Kalangan Ahlu Sunnah dan Negara Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
Quraish Shihab, Landasan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung, Mizan, 2000)
Peuonoh, Daly, Hukum Perkawinan Islam (Studi Banding Kalangan Ahlu Sunnah dan Negara Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Sejarah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dalam Pendidikan Hukum Agama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Jakarta: Depag RI, 1996)
Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (Jakarta: Ciputat Press, 2003)
Abdul Ghalib AHmad, Pernikahan Islami (Solo: Pustaka Manthiq, 1997)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.