Jejak Digital Menyimpan Luka
Edukasi | 2024-12-15 23:02:40Pesatnya perkembangan media sosial sebagai alat komunikasi di kalangan masyarakat yang mudah digunakan serta diakses telah menimbulkan berbagai fenomena terhadap arus informasi. Media sosial memudahkan para pelaku melakukan cyberbullying. Pelaku bebas dalam memposting tulisan kejam atau mengunggah foto individu lain untuk mengintimidasi maupun merusak reputasi korban. Ketika korban merasa malu dan tersakiti, pelaku akan puas dan bahagia karena tujuannya telah tercapai. Cyberbullying merupakan tindakan perundungan online yang dapat merugikan atau menyakiti orang lain dengan sengaja dan secara berulang-ulang. Cyberbullying terjadi pada kelompok yang saling mengenal maupun kelompok yang tidak mengenal.
Hal ini menunjukkan bahwa tujuan media sosial sebagai perkembangan arus informasi yang diharapkan dapat meringankan kegiatan manusia, justru memberikan dampak negatif sehingga menimbulkan adanya kejahatan melalui dunia maya. Cyberbullying kini bukan merupakan hal yang asing atau tabu bagi sebagian besar masyarakat, karena fenomena ini telah menjadi sesuatu yang umum ditemukan di media sosial. Anak-anak, remaja, hingga figur publik tidak luput dari korban perundungan di dunia maya. Penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia bersama UNICEF mengungkapkan data terkait cyberbullying di 11 provinsi di Indonesia, dengan melibatkan 400 responden berusia 10-19 tahun sebagai sampel.
Fenomena cyberbullying ini terjadi dikarenakan pengaruh dari lingkungan yang kemudian terjadi proses imitasi perilaku orang lain. Dengan adanya anonimitas platform online ini, pelaku bullying dapat melakukan tindakan agresif tanpa khawatir akan dampaknya. Hal tersebut terjadi karena akan sulit untuk dilacak atau diidentifikasi secara langsung sehingga pelaku merasa aman untuk melakukan cyberbullying. Selain itu, kurangnya pengawasan orang tua. Orang tua mungkin tidak selalu mengawasi atau memahami apa yang dilakukan anak-anak mereka di internet. Ketidakmampuan orang tua untuk mengawasi kegiatan yang dilakukan anak-anak mereka di internet menyebabkan cyberbullying semakin meningkat. Kurangnya pemantauan ini, menjadikan anak-anak mudah terpapar konten negatif yang ramai di internet yang akan meningkatkan gangguan mental pada generasi muda.
Penyebab maraknya cyberbullying karena terdapat kebutuhan mendesak untuk diterima dan diakui oleh orang lain dalam dunia maya. Remaja yang merasa tidak cukup dihargai atau diakui secara daring, mereka mungkin menggunakan cyberbullying sebagai cara untuk menunjukkan dominasi atau mencari perhatian yang diinginkan. Hal ini terjadi karena mereka seringkali merasa terdorong untuk memperoleh persetujuan dan pengakuan dari teman-teman mereka melalui interaksi daring yang pada akhirnya dapat meningkatkan risiko terlibat dalam perilaku cyberbullying. Tentu fenomena ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena dapat menimbulkan berbagai macam dampak negatif baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, cyberbullying dapat menyebabkan penurunan kepercayaan diri dan kesejahteraan emosional yang buruk. Ini juga dapat berdampak pada prestasi akademik dan meningkatkan risiko gangguan mental seperti depresi dan kecemasan. Korban bullying melalui internet juga dapat mengalami isolasi sosial dan keterbatasan dalam berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, mereka akan merasa tidak aman dan khawatir mengenai keamanan online.
Sedangkan dampak jangka panjang yang ditimbulkan oleh cyberbullying salah satunya yaitu gangguan psikosomatis yang muncul akibat tekanan berkelanjutan. Korban sering kali mengalami berbagai masalah kesehatan, seperti sakit kepala, gangguan tidur, dan kehilangan nafsu makan yang sering kali tidak disadari atau diabaikan oleh banyak orang. Rasa cemas dan stres berkepanjangan membuat korban kehilangan motivasi dan sulit dalam berkonsentrasi. Kemudian dampak psikologis yang berkepanjangan ini dapat menyebabkan gangguan stres pascatrauma (PTSD) yang dapat mengganggu keseimbangan mental dan emosional korban dalam jangka waktu lama. Bahkan, risiko bunuh diri meningkat secara signifikan, terutama pada remaja yang merasa terjebak dalam lingkaran perundungan secara daring tanpa solusi yang jelas. Maka dari itu, terdapat beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mengatasi terjadinya cyberbullying:
- Mengabaikan pesan dari pelaku atau menggunakan fitur batasi, dimana kita dapat secara diam-diam melindungi akun tanpa diketahui oleh orang tersebut.
- Mengaktifkan pengaturan saring komentar untuk postingan yang kita miliki.
- Tidak mencantumkan informasi pribadi di media sosial.
- Mengajukan laporan terhadap perilaku yang kasar atau menghina.
- Membatasi diri untuk mengomentari suatu perihal di internet.
Selain itu, diperlukan peran pemerintah dalam mengatasi hal ini, salah satunya yaitu regulasi penegakan hukum. Dengan adanya regulasi hukum seperti UU ITE, pelaku cyberbullying akan berpikir kembali untuk melakukannya serta dengan adanya konsekuensi yang didapatkan maka hal ini dapat mencegah kasus serupa terjadi kembali. Dengan begitu, kita dapat menciptakan ruang digital yang sehat dan nyaman bagi masyarakat dalam lingkup yang luas. Ruang digital yang aman akan membuat setiap individu dapat berinteraksi tanpa perlu khawatir akan mengalami terintimidasi, penghinaan, penindasan, dan berbagai perilaku negatif lainnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.