Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Amadea Natasha

Cancel Culture: Membawa Perubahan Berarti atau Penilaian Berlebihan?

Lainnnya | 2024-12-14 15:39:27

Pertama kali digunakan pada 2016, terminologi ini mengacu pada tendensi menarik massa untuk melakukan penolakan sebagai ekspresi atas ketidaksetujuan. Aksi tersebut dapat dilakukan oleh dan terhadap siapapun. Namun, kasus-kasus yang sering didengar adalah mengenai artis atau public figure yang sedang naik daun, khususnya setelah melakukan tindakan yang tidak dapat diterima oleh masyarakat.

Sebelum digunakannya terminologi tersebut, tindakan cancel culture sendiri sudah ada sejak dahulu kala. Peradaban lama telah menemukan cara-cara untuk menonjolkan dan mempermalukan seseorang atau kelompok atas kesalahannya. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, muncul terminologi tersebut yang segera di popularisasi penggunaannya sehingga menjadi suatu fenomena yang besar. Meningkatnya penggunaan media sosial juga mendukung aksi tersebut dimana media sosial– seperti Instagram, Tiktok, dan X– menjadi ruang bagi masyarakat untuk melakukan tindakan cancelling.

Praktik tersebut tentunya memiliki fitur-fitur umum. Cancel culture cenderung tidak memiliki limitasi; siapapun dapat dinilai untuk melakukan hal apapun. Lalu, hal tersebut juga tidak memiliki batasan akan seberapa berat seorang harus dihukum atas kesalahannya. Hal ini membuktikan bahwa cancel culture cenderung selektif dan subjektif dalam memilih siapa yang layak untuk menerima hukuman dan seberapa besar hukuman tersebut.

Lalu, cancel culture dapat dilakukan dalam bentuk yang bervariasi, mulai dari memutus hubungan sosial sampai dengan menghapus kontrak kerja. Tentunya, aksi ini juga memiliki dampak yang sebanding terhadap sang korban. Beberapa menganggap bahwa itu yang pantas mereka dapatkan, tetapi juga ada yang berpikiran bahwa aksi tersebut telah mencapai titik berlebihan dan tidak manusiawi.

Maka dari itu, cancel culture menjadi suatu fenomena yang dipertanyakan urgensinya. Mayoritas orang percaya bahwa praktik tersebut merupakan cara bagi kelompok marginal untuk mencari akuntabilitas, terutama di saat sistem peradilan gagal dalam memperjuangkan haknya. Contoh yang paling konkret di masyarakat biasa adalah dalam kasus-kasus kekerasan rumah tangga, dimana seorang dapat mengunggah kesukarannya di salah satu platform media sosial dan menerima dukungan positif dari masyarakat. Bahkan, jika mencapai audiens yang luas, masalah tersebut dapat ditinjau lebih lanjut oleh pihak berwenang.

Di samping itu, cancel culture juga memberikan ruang untuk isu-isu duniawi yang butuh diperhatikan keberadaannya, praktik tersebut dapat menarik atensi kolektif akan isu yang ada. Dari situ, masyarakat dapat mengetahui serta mengevaluasi tindakan serupa kelompoknya maupun dirinya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa cancel culture juga bekerja sebagai deterrence di masyarakat.

Mengesampingkan sisi positifnya, masih ada sejumlah orang yang percaya bahwa cancel culture memiliki sisi negatif yang sama banyaknya. Hal yang membuat cancel culture silap mata adalah fakta bahwa praktik ini rentan disalahgunakan. Hal tersebut dapat digunakan untuk mengintimidasi orang-orang yang tidak sepemikiran dengan mereka. Dengan hal ini, cancelling sangat mudah untuk melenceng menjadi bentuk cyberbullying.

Walaupun orang-orang sering menganggap cancel culture sebagai fenomena yang dapat membawa perubahan sosial yang positif, kenyataan terus menentang argumen tersebut. Iya, praktik ini dapat menarik perhatian kolektif mengenai isu-isu yang bertebaran. Namun, kegiatan tersebut tidak menjamin adanya aksi di balik omongan-omongan tersebut. Apabila praktik cancelling tidak diikuti dengan tindakan, maka cancel culture sama sekali tidak menghasilkan perubahan yang berarti. Terutama dengan reputasi orang atau organisasi yang terkait dipertaruhkan, cancel culture dapat dilihat sebagai penilaian belaka yang tidak adil dan tidak valid.

Sudah sering sekali terjadi kasus-kasus cancelling yang berujung pada penilaian yang salah. Namun, karena penarikan massal yang terlalu besar, dampak diterima oleh korban dengan sia-sia. Salah satu contohnya adalah dimana Kim Garam, mantan member LE SSERAFIM (girl band asal Korea Selatan), dinilai buruk oleh publik atas perilakunya yang belum dibuktikan kebenarannya. Tetapi, Garam sudah menerima hukuman yang tidak pantas saat kebenarannya terungkap. Kasus tersebut menjadi bukti nyata bahwa cancel culture lebih sering mengikuti pandangan publik dibandingkan kenyataan yang ada

Konsep foto FEARLESS Kim Garam

Terlepas dari segalanya, cancel culture sebagai fenomena akan terus berperan dalam generasi ini. Jadilah itu membangun perubahan berarti di masyarakat maupun mengubah konsep konstruktivisme sosial.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image