Perang Klaim Asal Usul Batik: Milik Indonesia atau Malaysia?
Info Terkini | 2024-12-09 21:39:18Perdebatan mengenai asal-usul batik antara Indonesia dan Malaysia telah berlangsung cukup lama dan semakin marak saat ini. Kedua negara mengklaim batik sebagai warisan budaya masing-masing, yang memicu konflik antar warga negaranya. Tak hanya sekadar konflik budaya, tetapi mencerminkan dinamika politik, sejarah, ekonomi, dan hubungan diplomatik yang kompleks antara dua negara bertetangga ini.
Batik dalam Konteks Indonesia
Di Indonesia, batik telah menjadi bagian dari identitas budaya, terutama di pulau Jawa yang dianggap sebagai pusat pengembangan batik. Teknik pembuatan batik, salah satunya metode penggunaan lilin panas, telah diwariskan dari generasi ke generasi. Pengakuan secara global didapatkan Ketika UNESCO menetapkan Batik Indonesia sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada tahun 2009. Hal ini menjadi simbol penting bagi bangsa Indonesia karena membuktikan keberadaan budaya batik sebagai identitas negara sekaligus merefleksikan sejarah, budaya, dan filosofi masyarakatnya yang berhasil mewarisi batik.
Corak batik di Indonesia sangat beragam, mulai dari motif klasik yang berakar dari masa kerajaan Hindu-Buddha, hingga motif modern yang dipengaruhi oleh kontak dengan budaya asing, seperti Tionghoa, Belanda, dan Arab. Di banyak daerah, batik tidak hanya menjadi pakaian sehari-hari tetapi juga digunakan dalam upacara adat dan keagamaan. Oleh karena itu, hingga saat ini batik masih terus menjadi budaya yang berakar kuat bagi setiap warga negara Indonesia dari berbagai kalangan.
Klaim Malaysia atas Batik
Di sisi lain, Malaysia juga memiliki sejarah panjang penggunaan batik. Namun, batik Malaysia lebih dikenal dengan gaya yang berbeda, yakni batik blok dan cap. Corak batik yang dihasilkan cenderung lebih sederhana dibandingkan batik tulis Jawa. Pemerintah Malaysia juga aktif mempromosikan batik sebagai bagian dari identitas budaya nasional, terutama dalam pariwisata dan dunia mode.
Kontroversi memuncak pada tahun 2009 ketika Malaysia mempromosikan batik dalam kampanye pariwisatanya, yang kemudian memicu kemarahan di kalangan masyarakat Indonesia. Banyak yang merasa bahwa Malaysia 'mencuri' warisan budaya mereka, meskipun kedua negara memiliki warisan batik yang gaya, teknik, dan sejarahnya sangat berbeda.
Perspekstif Kolonial dan Globalisasi
Untuk memahami permasalahan ini secara lebih mendalam, kita perlu melihat pada konteks sejarah kolonial. Baik Indonesia maupun Malaysia adalah bekas jajahan yang tentunya mendapat pengaruh budaya lintas negara. Batik mungkin berkembang di Jawa, tetapi tradisi pewarnaan kain tersebar ke Semenanjung Melayu dan kawasan sekitarnya melalui perdagangan dan migrasi.
Dalam konteks globalisasi, klaim budaya seringkali menjadi lebih tajam karena pengaruh ekonomi dan politik. Misalnya, dengan pengakuan UNESCO atas Batik Indonesia, batik menjadi salah satu pemasukan dari segi ekonomi bagi negara. Selain itu, identitas budaya menjadi alat diplomatik dan komersial, terutama dalam industri pariwisata. Dengan demikian, ketika sebuah negara mengklaim warisan budaya, seperti batik, hal itu bukan hanya tentang kebanggaan nasional, tetapi juga tentang keuntungan ekonomi.
Pentingnya Refleksi Budaya
Alih-alih memanaskan perdebatan yang tak ada akhirnya, isu klaim batik ini seharusnya menjadi kesempatan refleksi bagi kedua negara untuk menghargai warisan budaya masing-masing. Batik tidak harus menjadi eksklusif milik satu negara, melainkan dapat dilihat sebagai cerminan hubungan lintas budaya. Warisan budaya masing-masing negara tentu memiliki ciri khas tersendiri. Dengan mengembangkan budaya masing-masing, Indonesia dan Malaysia bisa bersama-sama melestarikan dan mempromosikan batik ke dunia tanpa monopoli identitas.
T. Happy Alexa/Universitas Airlangga
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.