Hampir 10 Juta Gen Z Menganggur di Indonesia, Apa yang Salah?
Info Terkini | 2024-12-06 23:40:50Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 9,89 juta (hampir 10 juta) penduduk berusia 15-24 tahun atau biasa disebut Generasi Z (Gen Z) tanpa kegiatan atau Not in Employment, Education, or Training (NEET). NEET adalah penduduk usia muda dengan rentang usia 15-24 tahun yang sedang tidak sekolah, tidak bekerja atau tidak mengikuti pelatihan, atau dengan kata lain do nothing. Kondisi ini sering disebut sebagai pengangguran di usia muda karena tidak melakukan kegiatan apapun. NEET kerap diartikan sebagai pengangguran, tetapi ternyata berbeda dengan pengangguran secara umum. Pengangguran secara umum adalah penduduk yang berada di usia kerja atau angkatan kerja, tetapi tidak semuanya terserap ke dalam pasar kerja.
Menurut hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) oleh BPS diketahui dari 44,47 juta penduduk berusia 15-24 tahun pada Agustus 2023, sekitar 22,5 persen atau 9,89 juta masuk dalam kategori NEET. Meski masih tinggi, tetapi turun sebesar 0,97 persen dari periode Agustus 2022. Tingginya angka pemuda yang do nothing atau NEET menjadi paradoks banyak survei urban yang menggambarkan kehidupan Gen Z yang asik, santai, suka berpetualang, mencoba hal baru, dan menikmati hidup.
Data Survei Ketenagakerjaan Nasional (Sakernas) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) selama periode Agustus 2017-2022 menunjukkan trend yang mengkhawatirkan bagi para lulusan baru atau fresh graduate di Indonesia. Durasi pencarian kerja bagi mereka dari semua jenjang pendidikan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini diperparah dengan jumlah lapangan kerja formal yang terus menurun selama 15 tahun terakhir. Kondisi ini membuat para lulusan baru semakin sulit mendapatkan pekerjaan baru karena semakin ketatnya persaingan di pasar ketenagakerjaan.
Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI pada Senin (Antara, 20/5/2024) bahkan secara gamblang menyebut, tingginya angka pengangguran di antara Gen Z terjadi karena adanya ketidaksesuaian (miss-match) antara pendidikan yang ditempuh dengan permintaan pasar tenaga kerja. Artinya, ada persoalan belum sinkronnya dunia pendidikan, termasuk vokasi, dengan permintaan atau syarat kualifikasi pekerja di bursa tenaga kerja. Permasalahan serapan tenaga kerja ini juga menjadi momok yang harus dihadapi oleh Gen Z.
Beberapa studi terbaru mendapati fenomena menarik di lapangan, yaitu Gen Z lebih suka menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak nyaman. Studi yang dilakukan oleh Randstad Workmonitor pada tahun 2022 mengungkapkan temuan menarik terkait preferensi Generasi Z (Gen Z) di tempat kerja. Studi tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 41 persen responden Gen Z yang tersebar di wilayah Eropa, Asia Pasifik, dan Amerika lebih memilih menganggur dibandingkan terjebak dalam pekerjaan yang tidak membuat mereka bahagia. Data ini menyoroti pergeseran perspektif dalam dunia kerja, khususnya bagi Gen Z. Mereka tampaknya lebih mengutamakan kepuasan kerja dibandingkan dengan jaminan gaji atau stabilitas pekerjaan. Dibesarkan di era teknologi, Gen Z terbiasa dengan fleksibilitas dan kontrol. Mereka melihat banyak peluang di luar jalur karier konvensional dan mungkin lebih berani mengambil risiko untuk mengejar pekerjaan yang sesuai dengan minat dan nilai-nilai mereka. Mereka lebih “berani” dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya yang memilih terpaksa bertahan di tempat kerja meski tidak nyaman, atau minimal mendapatkan pekerjaan yang baru sebelum memutuskan pindah.
Generasi Z (Gen Z) dikenal dengan kesadaran mereka akan pentingnya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional. Mereka tidak ingin terjebak dalam situasi yang mengorbankan kebahagiaan dan kesehatan mental mereka demi pekerjaan. Namun, dari kaca mata lain ada pula pendapat yang menyatakan: Apakah Gen Z menjadi “generasi tempe”, “pencari drama” yang lemah mental, kurang daya juang, dan sedikit-sedikit gampang “kena mental”? Generasi Z (Gen Z) perlunya menyikapi dengan bijak mental health dan ketahanan kerja. Ketidaknyamanan ini sebenarnya dapat menjadi peluang baru bagi Generasi Z (Gen Z) untuk membuat lapangan pekerjaan baru (jika memilih untuk tidak bekerja di bawah arahan orang lain).
Sisi gelap Gen Z yang lain adalah mereka menjadi bagian dari "sandwich generation". Survei CBNC Indonesia (2021) menyebut 48,7 persen masyarakat produktif, termasuk Gen Z, adalah generasi sandwich. Di balik cerita healing, keceriaan nonton konser, atau memburu hidden gem, Gen Z memikul tanggung jawab menghidupi diri sendiri, anak (jika sudah ada), dan orang tua dalam waktu bersamaan. Bagi Gen Z yang tidak siap dan kuat secara finansial maupun mental, tugas tambahan sebagai "caretaker" atau "caregiver" ini akan menjadi tekanan tersendiri.
Penyingkapan fakta-fakta di atas tentu tidak bermaksud untuk menyudutkan Gen Z. Sebaliknya, menjadi pengingat bagi kita untuk berjalan beriringan dengan tuntutan zaman. Pemerintah perlu berbenah diri dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan kerja agar Gen Z memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja atau membuat peta kesesuaian antara jurusan yang tersedia di pendidikan tinggi dan menengah dengan tuntutan pasar kerja yang ada di Indonesia. Perlu komitmen pemerintah mengubah "miss-match" menjadi "link and match" seperti yang digadang-gadang selama ini. Perusahaan pun perlu beradaptasi terhadap ekspektasi Gen Z dengan menyediakan lingkungan kerja fleksibel, suportif, dan berorientasi pada pengembangan diri. Hal yang selama ini mungkin tidak banyak di tuntutan generasi sebelumnya.
Di sisi lain, Gen Z sendiri pun harus proaktif dan terus meningkatkan kemampuan diri. Kita menyakini, Gen Z adalah generasi yang penuh potensi. Dengan dukungan yang tepat, mereka dapat menjadi agen perubahan positif dan berkontribusi dalam membangun masa depan yang lebih baik.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.