Arab Spring Belum Tuntas di Suriah
Politik | 2024-12-06 07:33:23Arab spring yang terjadi pada awal tahun 2011, menjadi salah satu peristiwa penting di panggung politik internasional, masyarakat Indonesia lebih mengenal kejadian itu, dengan istilah musim semi demokrasi di negara-negara Timur Tengah. Arab spring bermula dari satu peristiwa yang terjadi di salah satu negara maghribi, yaitu Tunisia. Istilah magribi sendiri berasal dari bahasa Arab (al-Maghrib), memiliki arti sebelah barat atau arah matahari terbenam, hal ini mengacu pada lokasi geografis kawasan ini, yang terletak di ujung barat dunia Arab.
Arab spring terjadi di Tunisia bermula dari aksi bakar diri pemuda bernama Muhammad Bouazizi, seorang sarjana yang berprofesi sebagai pedagang sayur, ketika sedang berdagang di pasar, gerobak dagangnya disita aparat, bentuk protes Bouazizi diwujudkan bakar diri, aksi itu ternyata memicu solidaritas massa, berkembang menjadi demonstrasi menuntut pengunduran Presiden Ben Ali (Isawati 2018). Tindakan bakar diri Bouazizi menjadi simbol perlawanan, tidak saja melanda Tunisia, tetapi melintasi perbatasan ke sejumlah negara di kawasan Timur Tengah seperti Mesir, Yaman, Bahrain, Libya, Suriah, dan negara lainnya (Kuncahyono 2013).
Masyarakat Arab menyebut revolusi sosial terjadi di Tunisia, Mesir, dan Libya dengan istilah al-Tsaurat al-Arabiyyah, artinya revolusi sosial yang mengubah tatanan dunia Arab menuju bangsa yang ideal, hal ini berbeda dengan orang barat menyebut dengan Arab spring (Warsito 2019). Keunikan Arab spring bila dibandingkan berbagai peristiwa revolusi sosial di beberapa negara lain, pergerakan massa ini tidak dimobilisasi kekuatan oposisi arus utama seperti partai politik atau organisasi pergerakan revolusioner, tetapi digerakkan narasi perlawanan melalui media sosial, berhasil memobilisasi jutaan orang turun ke jalan, melakukan perlawanan melawan rezim bercorak despotisme.
Arab Spring Suriah
Suriah memiliki karakteristik sistem politik hampir sama dengan negara-negara Timur Tengah lain, menerapkan sistem non-demokrasi dinegaranya. Lebih spesifik Suriah dibawah kekuasaan rezim Basar al-Assad membangun pilar kekuasaan meliputi beberapa pilar. Pertama, membangun kekuasaan politik melalui klan Alawite salah satu sekte dari teologi syiah. Kedua, melakukan kontrol sangat kuat pada jaringan intelijen dan militer, sehingga memudahkan Assad menjadikan keduanya sebagai alat kekuasaan untuk menekan pihak-pihak memiliki keyakinan politik berbeda dengan dirinya. Ketiga, menjadikan Partai Ba’ath sebagai satu-satunya partai penguasa yang memonopoli panggung politik di Suriah (Kuncahyono, 2013).
Aksi perlawanan terhadap rezim Assad dipengaruhi peristiwa politik terjadi di Tunisia, perkembangan Arab spring di negara Rachid Ghannouchi ini, setiap detiknya bisa disaksikan rakyat Suriah, melalui berbagai kanal media sosial dan televisi Al Jazeera, milik pemerintahan Qatar, sehingga semangat rakyat Suriah menjatuhkan rezim kian menggelora.
Pada awalnya aksi dimulai pada bulan Maret 2011, yang dimotori siswa-siswa sekolah di wilayah Deraa, mereka menuliskan slogan-slogan revolusi pada dinding sekolah, seperti tulisan “Rakyat Ingin Menumbangkan Rezim”. Kemudian para siswa itu ditangkap dan ditahan oleh aparat keamanan, selama menjalani penahanan para siswa mengalami penyiksaan dan interogasi, mereka diperlakukan seperti pelaku kriminal, tindak kejahatan, atau aktor terorisme. Para siswa yang masih berusia belasan tahun itu, mengalami penyiksaan diluar batas kemanusiaan, hal ini memicu kemarahan seluruh rakyat Suriah, mereka akhirnya turun ke jalan-jalan, tidak lagi menuntut keterbukaan sistem politik, tetapi pengunduran diri Bashar al-Assad dari jabatan presiden (Kuncahyono, 2013).
Perang Saudara Suriah
Perang sipil dapat diartikan pertikaian (konflik) bersenjata di dalam sebuah negara, dimana para aktor terlibat konflik itu, berasal dari satu bangsa, konflik bersenjata muncul disebabkan adanya perbedaan agama, etnis, ideologi atau pandangan politik, yang tidak bisa dikelola dengan baik oleh penguasa, konflik yang terjadi di Suriah merupakan perang sipil atau perang saudara.
Perang saudara Suriah disebabkan respon diberikan Presiden Bashar al-Assad dalam menanggapi tuntutan rakyatnya, dengan tindakan represif mengerahkan ribuan tentara ke jalan-jalan menghadapi para demonstran, hal ini berakibat terjadi aksi kekerasan berdarah.
Menanggapi aksi kekerasan aparat militer, rakyat Suriah merubah strategi perlawanan dari aksi demonstrasi damai menjadi gerakan revolusioner bersenjata, dengan tujuan menggulingkan pemerintah Basar al-Assad. Perang sipil melibatkan pasukan pemerintah dan pasukan oposisi Suriah, telah memakan korban jiwa sebanyak 494.438 meninggal, menunjukkan jumlah angka sangat besar, hal ini belum dihitung mereka terpaksa meninggalkan Suriah menjadi mengungsi ke negara-negara lain, termasuk ke berbagai negara di Benua Eropa, terjadinya krisis pengungsi serta kemanusiaan berlarut-larut.
Kegagalan Arab Spring
Arab spring yang terjadi di Suriah berbeda dengan negara-negara lain di kawasan Timur Tengah, dimana gerakan rakyat itu berhasil menjatuhkan penguasa otoriter-totaliter seperti Zainal Abidin bin Ali (Tunisia), Husni Mubarak (Mesir), Muammar Khadafi (Libya), dan Ali Abdullah Saleh (Yaman).
Di Suriah, Basar al-Assad, menolak turun dari jabatannya, bahkan dengan segala cara berusaha mempertahankan kekuasaan politik, termasuk meminta bantuan militer dari Rusia, Iran, dan Hizbullah (Lebanon Selatan).
Meskipun pada kenyataan Arab spring terjadi di Mesir, Libya, dan Yaman, menunjukkan gejala arus balik atau kembali menguatnya otoriter-totaliter, bahkan mengalami perang sipil berlarut-larut, setidaknya ketiga negara itu pernah mengalami proses demokratisasi, meskipun kandas di tengah jalan, gagal mengantarkan sistem politik dari otoriter-totaliter menuju demokratisasi terkonsolidasi.
Di dalam teori demokratisasi dari Huntington (1995), pasca jatuhnya rezim non-demokrasi, terdapat dua pekerjaan rumah harus dilakukan. Pertama, melakukan penataan perangkat keras sistem politik. Kedua, mempersiapkan perangkat lunak.
Perangkat keras demokrasi diantaranya (1) pasca jatuhnya rezim non demokrasi para aktor lama, sudah harus tergantikan aktor baru, (2) berbagai aturan lama rezim sebelumnya yang membelenggu kebebasan telah dihilangkan diganti berbagai aturan baru untuk memperkuat sistem demokrasi, (3) munculnya berbagai institusi politik dan lembaga negara yang baru, seperti memperkuat fungsi legislatif, kebebasan mendirikan partai politik, desentralisasi kekuasaan ke daerah-daerah, mendirikan lembaga anti korupsi, dan berbagai lembaga lainnya, (4) juga hadirnya pemilu yang berjalan teratur dan berkala.
Sejatinya keempat penataan perangkat keras itu telah dilakukan Mesir, Libya, dan Yaman, bahkan diantaranya sukses menggelar pemilu pertama pasca tumbangnya kediktatoran, hanya saja mereka belum mempersiapkan penataan perangkat lunak, yaitu berubahnya cara berpikir, perilaku, tabiat, dan budaya lebih demokratis.
Misalnya ketika pemilu di Mesir memenangkan kelompok Islamis (Ikhwanul Muslimin), kelompok liberal-sekuler tidak bisa menerima kemenangan itu, mereka menentang kekuasaan pemerintahan kelompok Islamis, sehingga terjadi konflik dan krisis politik berkepanjangan, berujung kudeta militer, begitu juga Libya dan Yaman, berbagai kekuatan politik di dalam negara, gagal melakukan rekonsiliasi dan koalisi politik, masing-masing kelompok itu bersikeras mempertahankan kepentingan sempit mereka.
Sedangkan di Suriah kelompok penentang rezim Assad terdiri dari berbagai faksi politik, misalnya Koalisi Nasional untuk Pasukan Revolusi dan Oposisi Suriah (National Coalition for Syrian Revolutionary and Opposition Forces), Tentara Pembebasan Suriah (Free Syrian Army/FSA), Hay'at Tahrir al-Sham (HTS), dan Kurdish Democratic Union Party (PYD) dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF).
Berbagai kelompok oposisi ini selain memiliki perbedaan garis ideologi, perbedaan dukungan (proxy) dari negara luar, dan berbeda kepentingan politik, meskipun misalnya kelompok oposisi berhasil menggulirkan Arab spring di Suriah, dengan terbentuknya pemerintahan baru, bisakah kelompok-kelompok ini melakukan koalisi politik permanen, mengingat adanya perbendaan politik serta jurang ideologi diantara mereka.
Pendekatan mengakhiri perang sipil di Suriah perlu menempuh pendekatan baru, pendekatan militer bisa jadi tidak begitu efektif, terlebih sekutu dari Basar al-Assad sepertinya tidak akan tinggal diam, Rusia, Iran, dan Hizbullah, tidak akan melepas begitu saja mitra strategis mereka, keterlibatan ketiganya bisa jadi akan lebih dalam di Suriah, dampaknya korban jiwa dari masyarakat sipil dikhawatirkan jauh lebih besar. Pendekatan berbasis dialog dan rekonsiliasi politik perlu dilakukan, perlu ada kemauan politik dari berbagai pihak untuk mengakhiri konflik, dengan melibatkan fasilitator independen tidak berpihak untuk mengelola dialog, mengurangi prasangka dan meningkatkan komitmen bersama, sehingga tercipta dialog adil dan produktif diantara berbagai pihak.
Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).
Referensi Artikel
1. Huntington, Samuel P. 1995. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
2. Isawati. 2018. Sejarah Timur Tengah Dari Revolusi Libya Sampai Revolusi Melati. Jakarta: Penerbit Ombak.
3. Kuncahyono, Trias. 2013. Tahrir Squaren Jantung Revolusi Mesir. Jakarta: Kompas.
4. Kuncahyono, Trias. 2013. Musim Semi Suriah Anak-Anak Sekolah Penyulut Revolusi. Jakarta : Penerbit Kompas.
5. Warsito, Tulus. 2019. Politik Internasional Abad Ke-21. Yogyakarta: UMY Press.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.