Suriah Pasca Bashar al-Assad
Politik | 2024-12-10 18:54:32Arab Spring di negara Suriah akhirnya tuntas, ditandai kejatuhan Bashar al-Assad dari kursi kepresidenan, yang telah ia genggam sejak 17 Juli 2000, gerakan oposisi Suriah, Hayat Tahrir al-Sham (HTS) bersama faksi-faksi oposisi lain, telah berhasil menguasai ibu kota Damaskus, sebelumnya secara maraton kelompok-kelompok oposisi ini mengusai satu demi satu kota-kota di luar Damaskus seperti Allepo, Hama, dan Homs.
Keberhasilan kelompok oposisi menjatuhkan al-Assad, tentu saja mengejutkan publik dunia internasional, di tengah konflik Hamas-Israel dan Rusia-Ukraina, di dalam hitungan kurang lebih dari dua belas hari, kelompok oposisi di bawah komando milisi Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok oposisi terbesar di Suriah saat ini, mampu menguasai wilayah dan kota dari tangan pemerintah Bashar al-Assad dengan sangat cepat.
Kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) melancarkan serangan kilat, yang tidak mampu dibendung militer pemerintah, berbagai pertempuran terjadi lebih dari satu minggu ini, ternyata mudah dimenangkan oleh kelompok oposisi. Sistem pertahanan militer Suriah dan sekutunya tidak mampu menghentikan laju pergerakan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), sampai akhirnya kelompok ini bisa menguasai Damaskus. Setidaknya terdapat beberapa analisis menjadi faktor kerapuhan sistem pertahanan militer al-Assad ketika menghadapi kelompok oposisi.
Pertama, kekuatan militer Rusia yang selama ini menjadi sekutu Bashar al-Assad, tidak bisa membantu maksimal sistem pertahanan Suriah, hal ini disebabkan seluruh sumber daya militer yang dimiliki Rusia, telah dipindahkan dari Suriah ke berbagai palagan Rusia-Ukraina, dampaknya kemampuan bertempur pasukan Suriah berkurang drastis. Kedua, Iran yang menjadi sekutu dekat Presiden Bashar al-Assad, menghadapi kelompok oposisi sejak 2011, baru-baru ini perhatian negara para mullah ini telah bergeser, lebih fokus membantu poros perlawanan melawan zionis-Israel. Ketiga, milisi Hizbullah dikenal setia bertempur di samping pasukan Bashar al-Assad, juga sedang terlibat konflik bersenjata melawan Israel, kelompok Syiah Lebanon Selatan itu, memprioritaskan sumber daya militer yang dimiliki untuk menghadapi zionis, terlebih selama pertempuran melawan Israel, organisasi Hizbullah mengalami tekanan luar biasa, banyak tewasnya pemimpin dan komandan tempur mereka, sehingga berpengaruh pada garis koordinasi, komando, serta memobilisasi milisi Hizbullah.
Arab Spring
Kejatuhan Presiden Bashar al-Assad dirayakan oleh ratusan ribu rakyat di alun-alun Kota Damaskus, mereka mengibarkan bendera Suriah sambil mengacungkan dua jari simbol kemenangan, menandakan rakyat Suriah telah lepas dari tirani rezim al-Assad, perayaan kemenangan ini mirip dengan peristiwa kejatuhan beberapa penguasa di Timur Tengah dampak dari Arab Spring seperti Zainal Abidin bin Ali (Tunisia), Husni Mubarak (Mesir), Muammar Khadafi (Libya), dan Ali Abdullah Saleh (Yaman).
Kejatuhan rezim-rezim di kawasan Timur Tengah saat itu dirayakan lautan massa rakyat yang tumpah ruah ke jalan-jalan, disertai letusan senapan ke udara dan prosesi penghancuran simbol-simbol rezim, seperti merobohkan patung atau merobek poster penguasa telah terguling. Artinya euphoria yang sama sedang dinikmati juga rakyat Suriah saat ini, tentu sebagai ekspresi kegembiraan itu sah-sah saja dilakukan, merayakan hari pembebasan dari cengkraman penindasan dan penghisapan, hanya saja tantangan pasca kejatuhan rezim al-Assad, tentu jauh lebih penting untuk dipikirkan rakyat Suriah, mengingat Arab Spring telah melanda Mesir, Libya, dan Yaman, tidak berujung manis, ketiganya mengalami arus balik serta terjebak perang sipil berdarah-darah, adapun Tunisia digadang-gadang menjadi satu-satunya negara berhasil melewati Arab Spring mencapai demokrasi terkonsolidasi, pada akhirnya dihadapkan pada konflik politik elit, ditandai penangkapan tokoh oposisi, Rashed Ghannouchi, atas tuduhan penghasutan massa rakyat untuk melawan pemerintah.
Demokratisasi Suriah
Di dalam teori demokratisasi dari Huntington (1995), pasca jatuhnya rezim non-demokrasi, terdapat dua pekerjaan rumah harus dilakukan. Pertama, melakukan penataan perangkat keras sistem politik. Kedua, mempersiapkan perangkat lunak.
Perangkat keras demokrasi diantaranya (1) Pasca jatuhnya rezim non-demokrasi para aktor lama, sudah harus tergantikan oleh aktor baru, maka setelah pemerintahan baru terbentuk setelah masa transisi dari rezim non-demokratis ke rezim demokratis, lebih baik wajah pemerintahan Suriah mendatang harus berubah, lebih banyak diisi oleh aktor-aktor baru, tidak memiliki sejarah atau beban masa lalu, mereka harus memiliki pemikiran politik progresif, memutus rantai narasi dari rezim sebelumnya. (2) Berbagai aturan lama rezim sebelumnya membelenggu kebebasan harus dihilangkan, diganti dengan berbagai aturan baru untuk memperkuat sistem demokrasi. Misalnya peraturan yang membatasi rakyat menyampaikan pemikiran secara lisan dan tertulis dihilangkan, dengan memberikan ruang terbuka, bagi munculnya narasi politik dari berbagai kelompok.
(3) Munculnya berbagai institusi politik dan lembaga negara yang baru, seperti memperbolehkan pendirian partai-partai baru, akan ikut berkontestasi politik di pemilu pertama era keterbukaan, rakyat Suriah diberikan ruang untuk mendirikan partai politik, berdasarkan pijakan ideologi kelompoknya masing-masing, (4) Hadirnya pemilu yang berjalan teratur dan berkala, rotasi kekuasaan di Suriah harus membatasi seseorang berkuasa sekehendak hatinya, diperlukan aturan pembatasan periode kekuasaan presiden (eksekutif)
Kemudian penataan perangkat lunak, yaitu berubahnya cara berpikir, perilaku, tabiat, dan budaya lebih demokratis, rakyat Suriah harus beradaptasi secara cepat dengan atmosfer sistem keterbukaan (demokrasi), menjadi keniscayaan bisa membangun konsensus politik di atas keragaman politik di Suriah, menerima perbedaan politik di antara kelompok-kelompok politik berbeda, dan menerima keputusan politik dari rakyat melalui pemilu, maksudnya menerima apapun hasil dari perhitungan kotak suara, hal ini dapat menghindari peristiwa seperti di Mesir ketika pemilu dimenangkan kelompok Islamis (Ikhwanul Muslimin), kelompok liberal-sekuler tidak bisa menerima kekalahan itu, mereka menentang kekuasaan pemerintahan kelompok Islamis, sehingga terjadi konflik dan krisis politik berkepanjangan yang berujung kudeta militer.
Perlu juga dipikirkan nasib ke depan para personil milisi (kombatan) dari kelompok-kelompok oposisi ini, pasca jatuhnya Bashar al-Assad, mereka memiliki pilihan terbatas, pilihan untuk dilebur menjadi tentara reguler Suriah, atau meletakan senjata menjadi warga sipil biasa, sedangkan bagi organisasi mereka, selama ini menjadi wadah perlawanan, bisa bertransformasi dari gerakan bersenjata menjadi gerakan politik, dengan mendirikan partai politik baru, tentu hal ini tidak mudah, mengingat terdapat perbedaan antara kultur kombatan dengan organisasi politik (partai), lebih mengedepankan unsur dialogis, kompromi, dan konsensus politik.
Selain itu perlu juga dipikirkan kekuatan-kekuatan di luar Suriah, selama ini disinyalir menjadi pendukung kelompok oposisi seperti Turki, Arab Saudi, Qatar, Amerika Serikat dan lain-lain, idealnya negara-negara itu tidak ikut campur atau intervensi setiap peristiwa politik terjadi di Suriah ke depan, biarkan rakyat Suriah menentukan nasib mereka sendiri, berikan mereka kesempatan mencari jalan keluar dari berbagai masalah politik dihadapi, dengan dialektika khas mereka, agar transformasi politik di Suriah bisa berjalan dengan natural dan normal, kita semua tentu berdoa semoga perubahan politik di Suriah ini, mampu menjadi model dari Arab Spring yang berakhir dengan manis, bisa mengantarkan Suriah menjadi negara demokrasi baru di kawasan Timur Tengah.
Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.