Alarm Tuberkulosis pada Anak di Indonesia : Saatnya Bertindak
Edukasi | 2024-12-04 19:47:20Situasi Kasus Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) tetap menjadi salah satu masalah kesehatan global yang paling signifikan. Berdasarkan WHO Global Tuberculosis Report 2023, terdapat 10,6 juta orang di dunia yang jatuh sakit karena TB dan sebanyak 1,3 juta orang meninggal karena TB.
Indonesia, sebagai salah satu dari 8 negara yang menyumbang lebih dari setengah kasus TB di dunia, berkontribusi sebanyak 8,5% dari total kasus TB global. Hal ini membuat Indonesia menempati posisi kedua setelah India dengan 1.060.000 kasus baru dan 134.000 kematian setiap tahunnya atau setara dengan 15 kematian setiap jam. Angka ini menunjukkan peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya.
Lebih memprihatinkan lagi, TB tidak hanya menyerang orang dewasa. Akan tetapi, yang menjadi sorotan saat ini adalah peningkatan angka kasus TB pada anak. Menurut data Kemenkes, pada tahun 2021, terdapat 42.187 anak di bawah 15 tahun yang terpapar TB. Namun, pada tahun 2022 meningkat menjadi 100.726 kasus.
Lebih mengkhawatirkan lagi, cakupan pengobatan TB pada anak sangat bervariasi antarprovinsi, mulai dari 30,2% di Provinsi Bali hingga lebih dari 401,5% di Jawa Barat. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam deteksi dan pengobatan TB di berbagai wilayah Indonesia.
Mengapa Anak Rentan terhadap TB?
Anak-anak, terutama yang masih berusia di bawah lima tahun, memiliki sistem kekebalan tubuh yang belum matang. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap perkembangan infeksi Mycobacterium tuberculosis. Anak-anak yang berkontak erat dengan penderita TB aktif di rumah juga memiliki risiko tinggi terinfeksi.
Ironisnya, cakupan pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) untuk kontak serumah dengan pasien TB sangat rendah, yaitu hanya 1,3% dari target nasional pada 2022. Rendahnya angka ini menunjukkan betapa minimnya intervensi preventif yang dilakukan terhadap kelompok rentan, termasuk anak-anak.
Tantangan dan Realita Pelayanan Kesehatan
Sayangnya, gejala TB pada anak sering kali tidak spesifik dan sulit dikenali. Gejalanya seperti demam ringan, lemah, lesu, atau berat badan yang tidak naik. Batuk merupakan gejala utama pada orang dewasa yang menderita TB. Namun, pada anak batuk bukan gejala utamanya.
Selain itu, anak sulit untuk mengeluarkan dahak. Seandainya mereka mengeluarkan dahak, hasil pemeriksaan bakteriologis (BTA) pada anak sering kali negatif karena jumlah bakteri yang lebih sedikit. Sehingga, diagnosis pada anak tergolong lebih kompleks dibandingkan orang dewasa. Diagnosis TB anak tidak bisa hanya berdasarkan foto rontgen dada. Dibutuhkan kombinasi dari gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang relevan
Kesulitan ini diperparah dengan metode diagnosis yang kurang memadai. Alat kesehatan yang child-friendly untuk diagnosis TB anak juga masih kurang. Ini merupakan salah satu hal yang membuat beban kasus TB anak terkadang tidak dapat diketahui.
Pelayanan kesehatan untuk TB anak di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Sebagian besar fasilitas kesehatan primer tidak dilengkapi dengan alat diagnostik canggih, seperti tes molekuler atau kultur bakteri. Akibatnya, diagnosis sering terlambat atau tidak akurat.
Cakupan pemberian TPT yang rendah menunjukkan adanya masalah dalam implementasi kebijakan. Padahal, terapi ini adalah langkah penting untuk mencegah berkembangnya infeksi laten menjadi penyakit aktif di masa yang akan datang. Namun, stigma dan kurangnya kesadaran sering kali membuat keluarga enggan membawa anak mereka untuk diperiksa atau diobati.
Upaya Penanggulangan : Alarm untuk Bertindak
Indonesia telah menetapkan target eliminasi TB pada tahun 2030 melalui Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021. Untuk mencapainya, perhatian khusus pada anak-anak harus menjadi prioritas. Berikut beberapa strategi yang dapat dilakukan :
1. Skrining Aktif dan Investigasi Kontak
Setiap orang dewasa yang terkonfirmasi TB, harus dilakukan pemerikasaan kontak serumah. Terutama jika pasien serumah dengan anak dengan usia di bawah lima tahun, maka harus segera dilakukan kegiatan Investigasi Kontak. Skrining sistematis dapat membantu mendeteksi kasus TB lebih dini, sehingga pengobatan dapat dimulai sebelum gejala semakin parah.
2. Imunisasi Vaksin Bacillus Calmetter-Guérin (BCG)
Vaksin BCG memang tidak dapat mencegah terjadinya TB pada anak. Namun, vaksin ini dapat berguna untuk mencegah timbulnya TB berat, seperti TB selaput otak atau meningitis, TB tulang, maupun TB millier.
3. Peningkatan Cakupan Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT)
Cakupan pemberian TPT harus ditingkatkan melalui edukasi masyarakat dan pelibatan kader kesehatan untuk menjangkau komunitas rentan, seperti kaum urban, pekerja migran, dan kaum minoritas etnis. Selain itu, pemerintah perlu memastikan ketersediaan obat yang memadai.
4. Edukasi dan Penghapusan Stigma
Peningkatan kesadaran masyarakat tentang bahaya TB pada anak dapat dilakukan melalui kampanye publik yang intensif. Stigma terhadap penyakit ini harus dihilangkan agar keluarga lebih terbuka dalam mencari pengobatan .
5. Peningkatan Kapasitas Fasilitas Kesehatan
Fasilitas kesehatan primer harus dilengkapi dengan teknologi diagnostik modern dan tenaga kesehatan harus dilatih untuk mengenali gejala TB pada anak. Pendekatan berbasis komunitas juga perlu diperkuat untuk memastikan anak-anak yang membutuhkan pengobatan tidak terlewatkan.
Mengakhiri TB Anak: Harapan untuk 2024 dan Seterusnya
Tahun 2024 adalah momen penting untuk memperkuat komitmen kolektif dalam memerangi TB pada anak. Program yang ada perlu dievaluasi secara menyeluruh untuk memastikan efektivitasnya. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan bahwa setiap anak yang berisiko atau terinfeksi TB mendapatkan pengobatan yang mereka butuhkan.
Anak-anak adalah masa depan bangsa. Jika kita gagal melindungi mereka dari penyakit yang dapat dicegah seperti TB, kita juga gagal memastikan masa depan yang sehat bagi Indonesia. Alarm telah berbunyi, saatnya bertindak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.