Hukum yang Hidup (Living Law) dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Hukum | 2024-12-03 19:47:57Hukum yang hidup (living law) merupakan manifestasi dari nilai-nilai, tradisi dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Konsep ini diperkenalkan oleh seorang ahli hukum asal Austria, Eugen Ehrlich, yang menyatakan bahwa hukum yang sesungguhnya tidak hanya terbatas pada teks tertulis, tetapi juga termasuk norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sosial yang didorong oleh kesepakatan masyarakat itu sendiri. Meskipun bersifat tidak tertulis, hukum ini memiliki peran yang signifikan dalam pembentukan sistem hukum nasional, termasuk dalam konteks pembaharuan hukum pidana.
Konsep hukum yang hidup mengakui keberadaan norma-norma lokal, termasuk hukum adat dan hukum agama yang mencerminkan tata nilai yang dianut masyarakat. Dalam kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM), hukum yang hidup berperan sebagai sarana penghormatan terhadap identitas budaya dan hak-hak kolektif masyarakat adat, sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (3) UUD 1945.
Pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam pembaharuan hukum pidana nasional bertujuan untuk menciptakan keadilan substantif yang relevan dengan konteks sosial dan budaya Indonesia. Hal ini tercermin dalam Pasal 2 Rancangan KUHP yang memungkinkan hukum yang hidup digunakan sebagai dasar pemidanaan. Demikian, hukum adat dapat menjadi sumber hukum positif atau negatif, baik untuk menentukan sifat melawan hukum suatu tindakan maupun untuk menghapusnya. Namun, pendekatan ini menghadapi berbagai kritik terutama terkait risiko bertentangan dengan asas lex certa, lex stricta, dan lex scripta mengingat banyak hukum adat bersifat tidak tertulis dan kurang sistematis.
Dalam perspektif HAM, hukum yang hidup mengandung potensi besar untuk melindungi hak masyarakat adat dan nilai-nilai lokal. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit mengakui eksistensi masyarakat hukum adat, termasuk norma-norma yang hidup di dalamnya, sepanjang selaras dengan perkembangan zaman dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, keberadaan hukum yang hidup juga didukung oleh berbagai undang-undang, seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menekankan pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap identitas budaya sebagai bagian dari hak dasar manusia.
Penerapan hukum yang hidup dalam konteks HAM membutuhkan kehati-hatian untuk mencegah potensi diskriminasi kelompok tertentu, seperti perempuan atau minoritas. Integrasi hukum yang hidup ke dalam hukum nasional harus menjaga keseimbangan antara penghormatan terhadap nilai-nilai lokal dan pemenuhan standar universal HAM. Sebagai contoh, teori Triangular Concept of Law yang ditekankan oleh Werner Menski bahwa pluralisme hukum adalah keutuhan mutlak dalam masyarakat modern.
Secara yuridis, pengakuan terhadap hukum yang hidup tidak hanya diakui oleh instrumen nasional, tetapi juga oleh hukum internasional. Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Penduduk Asli, misalnya, menegaskan pentingnya melindungi hak masyarakat adat untuk memelihara tradisi, budaya, dan institusi mereka sebagai bagian dari hak asasi mereka. Hal ini sejalan dengan amandemen UUD 1945 yang mengubah paradigma negara hukum Indonesia menjadi lebih inklusif, dengan mengakomodasi hukum tidak tertulis yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat.
Oleh karena itu, hukum yang hidup dalam perspektif hak asasi manusia adalah elemen penting dalam menciptakan sistem hukum yang inklusif dan berkeadilan. Dengan memastikan penerapannya selaras dengan nilai-nilai HAM, hukum yang hidup dapat menjadi instrumen strategis dalam mewujudkan keseimbangan antara penghormatan terhadap identitas budaya lokal dan pemenuhan standar hukum universal. Integrasi ini mencerminkan komitmen bangsa Indonesia untuk membangun negara hukum yang peduli terhadap masyarakatnya, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.