"Malas Itu Pilihan atau Takdir?" Tinjauan Genetik dan Biologis Perilaku Malas
Gaya Hidup | 2024-12-03 14:35:30Malas sering kali dianggap sebagai perilaku buruk yang harus diubah dengan menerapkan kedisiplinan pada diri seseorang. Terutama di kalangan mahasiswa, hal ini sering dianggap sebagai masalah pribadi yang timbul akibat kurangnya motivasi dalam diri. Namun, bagaimana jika ada faktor lain yang mempengaruhi perilaku ini? Disini kita akan membahas apakah perilaku malas itu benar-benar sebuah pilihan, atau hanya takdir yang dipengaruhi oleh genetik dan faktor biologis. Ayo, simak pembahasannya lebih lanjut.
Perilaku malas sering kali dipandang sebagai pilihan individu yang tidak mau berusaha atau tidak cukup termotivasi untuk melakukan sesuatu. Terutama pada mahasiswa yang tengah berada pada akhir semester, sering kali mereka merasa tertekan dan stress akan padatnya agenda yang harus dijalankan. Mulai dari banyaknya tugas, mempersiapkan ujian akhir, projek berkelompok, organisasi, dan kegiatan akademik lainnya. Malas dalam konteks ini sering kali muncul sebagai bentuk prokrastinasi atau penundaan, di mana mereka akan memilih untuk menghindari pekerjaan yang harusnya perlu untuk diselesaikan.
Penelitian menunjukkan bahwa perilaku malas tidak hanya masalah mental atau emosional, tetapi juga bisa dipengaruhi oleh faktor biologis dan genetik. Salah satunya yaitu karena adanya ketidakseimbangan kimiawi dalam otak, terutama pada hormon dopamin. Hormon yang sering disebut sebagai “hormon kebahagiaan” ini memiliki peran penting pada diri seseorang dqlam hal membangun motivasi, rasa senang, dan pengambilan keputusan. Produksi dan pengaturan dopamin dalam otak dipengaruhi oleh gen, seperti gen DRD2 dan SLC35D3 yang mengkode reseptor dopamin. Adanya variasi pada gen dapat membuat seseorang merasa tidak termotivasi untuk melakukan aktivitas fisik yang akhirnya memunculkan rasa malas.
Penelitian mengenai hal ini pernah dilakukan oleh Universitas Missouri pada dua kelompok tikus, yaitu tikus yang aktif dan kurang aktif. Setelah sepuluh generasi, keturunan tikus dengan gen tertentu cenderung lebih malas dibandingkan tikus yang lain. Peristiwa ini menunjukkan adanya produksi dopamin yang lebih rendah berpengaruh pada motivasi untuk melakukan aktivitas fisik. Meskipun hasil penelitian ini masih belum bisa digeneralisir pada seluruh manusia, namun penelitian ini bisa menjadi salah satu insight untuk memahami bahwa faktor genetik mungkin mempengaruhi perilaku malas pada seseorang.
Namun, hal ini tidak perlu membuat seseorang berkecil hati hanya karena mereka merasa memiliki orang tua atau keluarga yang cenderung pasif. Karena sejatinya ada banyak faktor lain yang mempengaruhi perilaku malas pada diri seseorang. Kita sebagai individu harus berupaya untuk memerangi rasa malas yang mengusik diri kita, karena sesungguhnya menunda pekerjaan bukanlah jalan keluar dari suatu masalah. Stress bisa menjadi salah satu pemicu munculnya rasa malas, dimana banyaknya tugas atau pekerjaan akan menimbulkan perasaan cemas yang membuat seseorang memutuskan untuk menunda atau menghindari pekerjaan tersebut. Selain itu, lingkungan sosial juga berpengaruh dalam membangun motivasi diri untuk menghindari perilaku malas. Lingkungan yang mendukung seperti teman atau keluarga yang mendorong untuk produktif dapat meningkatkan motivasi dalam diri.
Mengatasi rasa malas bukanlah hal yang mudah, namun bukan berarti kita tidak bisa. Meningkatkan pemahaman akan faktor biologis dan psikologis penyebab rasa malas dapat membantu seseorang memahami diri mereka. Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi rasa malas diantaranya:
1. Manajemen Waktu
Menyusun skala prioritas akan membantu kita untuk dapat mendahulukan mana pekerjaan yang harus dikerjakan terlebih dahulu. Kita harus memastikan bahwa pekerjaan dengan tenggat waktu paling cepat dapat segera terselesaikan.
2. Peningkatan Motivasi
Motivasi dapat dibangun dari berbagai sumber. Dengan adanya motivasi berupa visi yang jelas, maka kita akan merasa lebih bersemangat untuk mencapai tujuan tersebut. Sembari mengerjakan tugas, pikirkanlah pencapaian jangka panjang yang akan kita raih setelah menyelesaikan tugas tersebut. Saat rasa malas muncul, cobalah memanfaatkan waktu sejenak untuk melakukan hal yang membuat kita senang. Perasaan senang dapat meningkatkan semangat pada diri seseorang untuk melakukan aktivitas fisik.
3. Dukungan Sosial
Tak dapat dipungkiri, dukungan sosial terkadang memang diperlukan dalam meningkatkan motivasi diri. Berkumpul dan berinteraksi dengan orang-orang yang produktif dan suportif akan meningkatkan semangat dalam diri kita, sehingga terhindar dari stress yang menimbulkan rasa malas.
Perilaku malas bukanlah sekedar pilihan, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor genetik dan biologis. Namun, rasa malas juga tidak dapat dipandang sebagai takdir semata karena faktor eksternal seperti lingkungan sosial dan keadaan psikologis juga berperan besar untuk itu. Memahami hubungan antara genetik, biologis, psikologis, dan faktor eksternal lain penyebab perilaku malas memberikan wawasan baru tentang bagaimana kita dapat mengatasi rasa malas dengan lebih efektif. Malas bukanlah takdir yang terelakkan, tetapi seorang musuh yang harus kita kalahkan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.