Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Claudya Liana Morizza

Stigma Buruk terhadap Janda yang Harus Dihilangkan

Edukasi | 2024-12-03 02:26:02
Foto oleh Taryn Elliott: https://www.pexels.com/id-id/foto/fajar-matahari-terbenam-pantai-cinta-3889806/

Belum lama ini, seorang calon gubernur melontarkan guyonannya terkait ibu tunggal—biasa disebut janda—saat sedang melaksanakan kampanye. Dalam orasinya, ia berkata bahwa janda-janda akan disantuni oleh para legislator yang hadir saat itu. Entah maksud apa yang ingin ia sampaikan dengan kalimat itu.

Penggalan videonya beredar di platform X dan mengundang reaksi marah juga kecewa. Tidak ada yang salah dari respons netizen. Pasalnya, sejak lama setiap kali mendengar diksi ‘janda’, kebanyakan orang akan langsung mengarah ke konotasi negatif. Masyarakat membuat janda menjadi suatu hal yang berbau seksual. Selain itu, masyarakat memberi stereotip terhadap janda sebagai wanita yang gemar merebut laki-laki yang sudah berkeluarga.

Makna negatif yang dilabelkan kepada sebutan janda menjadi satu dari banyaknya alasan mengapa banyak perempuan di Indonesia yang enggan melakukan perceraian padahal lingkungan pernikahannya tidak sehat dan penuh kekerasan. Beredar cerita dan curhatan personal dari netizen menanggapi video terkait. Banyak perempuan yang ingin menikah lagi karena tidak sanggup membawa label janda dalam kesehariannya. Mereka kerap direndahkan, diremehkan, serta dilecehkan secara fisik maupun verbal. Ada pula pengakuan dari anak seorang single parent, ”Ibu gue janda. Dulu di kantor punya jabatan tinggi dan gak aneh, tetapi tetap ada aja orang bawa-bawa title janda-nya.” Netizen lainnya juga berbagi pengalaman, “Ibuku juga janda. Pernah dikira mau nikah lagi kalau sedang interaksi sama rekan kantor yang laki-laki, dikira lagi deket sama mereka.” Seorang janda sudah merasakan kerasnya menjalani perceraian, merawat anak seorang diri, dan menjadi kepala keluarga. Di luar itu, mereka harus mengalami lontaran kalimat julid dari sesama perempuan lainnya serta pelecehan dari laki-laki kolot. Betapa beratnya menjadi perempuan.

Saya bertanya-tanya. Di era modern menuju Indonesia Emas 2045 ini, bagaimana bisa masih ada pemikiran-pemikiran dangkal yang merendahkan perempuan. Ironisnya, pelecehan terhadap kaum wanita ini dilontarkan oleh calon wakil rakyat di depan banyak orang. Mengapa demikian? Apa karena masih ada mindset “kehormatan perempuan ada di keperawanannya”? Masyarakat kerap memandang sebelah mata perempuan yang sudah tidak perawan. Seolah perempuan hidup hanya sebagai objek seksual.

Padahal, tidak ada perempuan yang bercita-cita menjadi janda. Sekalipun bukan janda, tidak ada perempuan yang ingin direndahkan dan dilecehkan. Apapun status, usia, pendidikan, karier, dan jalan hidup seorang perempuan, mereka harus dihormati. Jangan sampai ada lagi kasus seseorang yang menjadikan perempuan sebagai objek seksual. Mari kita bangun lingkungan masyarakat yang nyaman bagi siapapun, khususnya perempuan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image