Urgensi Penetapan Minimal Dua Alat Bukti dalam Proses Penetapan Tersangka Tindak Pidana
Hukum | 2024-12-02 16:59:15Dalam proses hukum pidana, penetapan seseorang sebagai tersangka bukanlah langkah yang sederhana. Langkah ini membawa konsekuensi besar, baik secara hukum maupun sosial, terhadap individu yang dituduh. Oleh karena itu, penetapan tersangka harus dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan bukti yang memadai. Dalam konteks inilah minimal dua alat bukti sah menjadi syarat penuh, sebagaimana diatur oleh Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.
Mengapa Dua Alat Bukti Penting?
Pasal 1 ayat (14) KUHAP mendefinisikan "Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.” Namun, istilah "bukti permulaan" yang semula ambigu diperjelas oleh Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa bukti tersebut harus mencakup minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Alat bukti meliputi:
- Keterangan saksi,
- Keterangan ahli,
- Surat,
- Petunjuk, dan
- Keterangan terdakwa.
Dua alat bukti ini tidak hanya menjadi dasar hukum yang kuat, tetapi juga berfungsi sebagai pengaman terhadap potensi kesewenang-wenangan penyidik. Tanpa persyaratan ini, proses penetapan tersangka berisiko mencederai asas praduga tidak bersalah yang dijamin dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Melindungi Hak Tersangka
Setiap individu yang ditetapkan sebagai tersangka memiliki hak yang harus dihormati oleh aparat penegak hukum. KUHAP memberikan jaminan hak, seperti:
- Hak untuk menerima penjelasan dengan jelas dan bahasa yang dapat dipahami mengenai tuduhan dan dakwaan yang dialamatkan kepadanya, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 huruf (a) dan (b).
- Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim seperti tersebut di muka Pasal 52.
- Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54).
- Hak Tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli yang de charge (Pasal 65).
Hak-hak ini adalah perwujudan dari asas due process of law, yang memastikan bahwa setiap proses hukum dilakukan secara adil dan sesuai prosedur. Namun, pelanggaran terhadap hak-hak ini sering kali terjadi, terutama ketika penetapan tersangka tidak didasarkan pada bukti yang cukup.
Tantangan di Lapangan
Dalam praktiknya, penerapan dua alat bukti tidak selalu berjalan mulus. Penyidik sering menghadapi kesulitan dalam mengumpulkan alat bukti, terutama dalam kasus yang kompleks seperti korupsi atau kejahatan yang terencana. Tekanan untuk segera menetapkan tersangka kerap membuat penyidik tergoda untuk mengabaikan prosedur atau memaksakan bukti yang lemah.
Hal ini memunculkan risiko penyalahgunaan wewenang, yang tidak hanya merugikan individu yang dituduh, tetapi juga mencederai kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Tersangka yang merasa penetapannya tidak sah dapat mengajukan gugatan praperadilan (Pasal 77 KUHAP), sehingga proses hukum harus dimulai kembali dari awal.
Dua Alat Bukti sebagai Pilar Keadilan
Penetapan dua alat bukti sah tidak hanya menjadi syarat formal, tetapi juga pilar keadilan dalam sistem hukum pidana. Dengan bukti yang cukup, penyidik memiliki dasar yang kuat untuk menetapkan tersangka tanpa melanggar hak asasi manusia. Di sisi lain, tersangka mendapatkan jaminan bahwa proses hukum terhadapnya dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab.
Pengaturan ini juga berfungsi untuk mencegah praktik-praktik tidak adil seperti penetapan tersangka tanpa dasar hukum yang jelas. Dengan memastikan bahwa minimal dua alat bukti sah terpenuhi, proses hukum tidak hanya menjamin keadilan, tetapi juga memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.
Penetapan minimal dua alat bukti dalam proses penetapan tersangka adalah langkah fundamental untuk menjaga keadilan dan melindungi hak asasi manusia. Sebagai bagian dari asas due process of law, aturan ini mendorong transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme dalam penegakan hukum. Dengan pelaksanaan yang konsisten, sistem hukum pidana dapat menjadi lebih adil dan dipercaya oleh masyarakat. Pada akhirnya, penegakan aturan ini bukan hanya tentang mematuhi hukum, tetapi juga menjaga martabat dan keadilan bagi setiap individu.
Amanda Dewanti mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Airlangga
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.