Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tesa Rosari Sinaga

Perempuan Melawan: Inspirasi Plaza de Mayo untuk Kesetaraan di Tanah Air

Sejarah | 2024-12-01 23:03:46
Mothers of Plaza de Mayo. Simbol perjuangan tanpa henti para ibu yang menuntut keadilan dan kebenaran untuk anak-anak mereka yang hilang.

Di tengah teror rezim militer Argentina pada periode 1976–1983, yang dikenal sebagai Perang Kotor, ribuan orang diculik, disiksa, dan dibunuh secara sistematis oleh pemerintah. Mereka disebut sebagai desaparecidos atau "orang yang hilang." Mayoritas korban adalah aktivis, mahasiswa, dan individu yang dianggap membahayakan stabilitas rezim diktator. Dalam masa gelap itu, sekelompok ibu memutuskan untuk melawan. Mereka adalah Mothers of Plaza de Mayo, perempuan yang kehilangan anak-anak mereka tanpa jejak.

Gerakan ini bermula pada tahun 1977 ketika 14 ibu berkumpul di Plaza de Mayo, alun-alun utama di depan istana kepresidenan Argentina, untuk mencari keadilan. Mereka tidak bersenjata, hanya berbekal keberanian dan cinta terhadap anak-anak mereka. Setiap Kamis, mereka berjalan mengelilingi alun-alun, mengenakan kerudung putih yang terbuat dari popok anak-anak mereka, sebagai simbol kasih sayang dan penolakan terhadap kekerasan. Tindakan ini sederhana, tetapi memiliki dampak besar. Di bawah ancaman, stigma, dan pengawasan ketat militer, mereka tetap bersatu, mengubah rasa kehilangan menjadi kekuatan kolektif.

Hingga kini, Mothers of Plaza de Mayo tetap menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia. Lebih dari sekadar mencari anak-anak mereka, mereka menuntut agar kejahatan kemanusiaan yang terjadi selama Perang Kotor diakui dan diadili. Keberanian mereka menginspirasi gerakan perempuan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang masih menghadapi tantangan besar dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Apa yang bisa kita pelajari dari keberanian para ibu di Argentina ini untuk memperkuat advokasi hak perempuan di tanah air?

Inspirasi Perlawanan di Tanah Air

Di Indonesia, perjuangan hak perempuan telah mengalami kemajuan, tetapi masalah kekerasan berbasis gender dan ketidaksetaraan masih menjadi isu krusial. Data dari Komnas Perempuan mencatat bahwa pada tahun 2023 terjadi 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat signifikan dari tahun sebelumnya. Kasus-kasus ini meliputi kekerasan fisik, seksual, hingga kekerasan ekonomi, yang sebagian besar terjadi di ruang domestik.

Seperti halnya Mothers of Plaza de Mayo, perempuan di Indonesia juga kerap menjadi korban sistem yang membungkam mereka. Contohnya, dalam kasus kekerasan seksual, stigma terhadap korban masih sangat kuat. Banyak perempuan yang memilih untuk tidak melapor karena takut disalahkan atau dipermalukan secara sosial. Sementara itu, meski UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan pada 2022, implementasinya masih menghadapi banyak kendala, termasuk kurangnya pemahaman aparat penegak hukum.

Keberanian dan solidaritas Mothers of Plaza de Mayo menunjukkan bahwa perubahan dimulai dari keberanian untuk berbicara. Di Indonesia, organisasi seperti Komnas Perempuan, LBH APIK, dan komunitas akar rumput lainnya terus mendorong upaya kolektif untuk melawan kekerasan berbasis gender. Namun, perjuangan ini membutuhkan dukungan yang lebih luas, baik dari masyarakat maupun pemerintah.

Pentingnya Dukungan Negara

Salah satu tonggak sejarah perjuangan Mothers of Plaza de Mayo adalah ketika pemerintah Argentina, setelah jatuhnya rezim militer, akhirnya mengakui kejahatan tersebut dan mendukung perjuangan para ibu. Pemerintah mulai membangun monumen, memberikan kompensasi kepada keluarga korban, dan mengadili sebagian pelaku kejahatan perang.

Di Indonesia, peran negara dalam melindungi perempuan juga sangat penting. Namun, hingga kini, perempuan masih menghadapi tantangan besar dalam mengakses keadilan. Data dari Global Gender Gap Report 2023 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 93 dari 146 negara dalam hal kesetaraan gender. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang lebih progresif dan penegakan hukum yang lebih tegas diperlukan untuk melindungi perempuan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi.

Selain itu, negara juga harus mendukung pemberdayaan perempuan melalui pendidikan, pelatihan keterampilan, dan partisipasi politik. Saat ini, hanya sekitar 20,5% anggota parlemen Indonesia yang adalah perempuan, jauh di bawah target 30% keterwakilan perempuan yang diharapkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image