Membangun Generasi Sehat dengan Peran Tenaga Kesehatan Masyarakat
Info Sehat | 2024-11-30 17:11:07Ebrilianty Yuganing Djatmiko/191241007
Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga
Kesehatan masyarakat merupakan salah satu bidang yang fokus pada upaya menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakat secara keseluruhan melalui berbagai intervensi preventif dan promotif. Tenaga kesehatan masyarakat berperan penting dalam menyebarluaskan informasi tentang pola hidup sehat, pencegahan penyakit, serta meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan. Fokus utama kesehatan masyarakat adalah mengurangi prevalensi penyakit, meningkatkan kualitas hidup, dan menjamin akses layanan kesehatan yang merata. Salah satu isu yang saat ini menjadi perhatian besar dalam kesehatan masyarakat di Indonesia adalah stunting.
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016). Stunting dibentuk oleh growth faltering dan catcth up growth yang tidak memadai yang mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan optimal, hal tersebut mengungkapkan bahwa kelompok balita yang lahir dengan berat badan normal dapat mengalami stunting bila pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik (Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, 2017; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016). Dalam hal ini, tenaga kesehatan masyarakat berperan penting untuk mengedukasi dan memberikan pemahaman tentang pentingnya pemenuhan gizi yang baik sejak masa kehamilan untuk mencegah stunting.
Pada tahun 2017, jumlah penduduk mencapai 262 juta jiwa, dengan estimasi laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,5%, maka pada tahun 2030 diperkirakan jumlah ini akan menjadi 300 juta jiwa. Dengan proporsi jumlah penduduk usia produktif lebih dari 60%, para ahli ekonomi pembangunan mengestimasi bahwa negara Indonesia akan menjadi kuat dan mampu bersaing dengan negara-negara lain di dunia, bahkan kata Pak Jokowi baru-baru ini, Indonesia bisa mejadi negara dengan ekonomi terbaik ke-7 di dunia (Kompas.com, 27 Maret 2018). Namun kenyataan berkata lain. Pada tahun 2013, 4 dari 10 balita; 4 dari 10 anak usia 5-12 tahun; 3 dari 10 remaja usia 16-18; dan 4 dari 10 orang dewasa mengalami stunting (Riskesdas, 2013). Pada tahun 2017, keadaan tidak banyak berubah, 3 dari 10 anak menderita stunting, sedangkan stunting pada masa anak-anak cenderung menetap pada masa dewasa. Bukti lainnya menyatakan bahwa rata-rata lama pendidikan yang dicapai oleh penduduk usia > 15 tahun adalah 8,4 tahun, artinya peraturan pemerintah no 47 tahun 2008 tentang program wajib belajar 9 tahun belum tercapai (Profil Kesehatan Indonesia, 2016). Sebanyak 64% (76,4 juta) angkatan kerja hanya berpendidikan SMP atau lebih rendah, dan menurut BPJS biaya kesehatan di Indonesia meningkat 80% dalam kurun lima tahun (2009-2014) (Aida, 2018). Indonesia menjadi negara yang tidak mempunyai power untuk bersaing di dunia internasional, skor indeks pembangunan kualitas manusia (IPM) Indonesia peringkat 113 dari 188. Kondisi-kondisi ini adalah konsekuensi stunting jangka panjang.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting pada anak di Indonesia dapat digambarkan melalui sejumlah kondisi yang berkaitan dengan pola pengasuhan, akses terhadap layanan kesehatan, serta ketidakmampuan ekonomi keluarga. Salah satu faktor utama adalah praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi baik sebelum maupun selama kehamilan, serta setelah melahirkan. Faktanya, sekitar 60% dari anak usia 0-6 bulan di Indonesia tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif, yang sangat penting untuk perkembangan bayi. Selain itu, sekitar 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak diberikan Makanan Pendamping ASI (MPASI) pada waktu yang tepat, yakni setelah bayi berusia 6 bulan. MPASI berfungsi tidak hanya untuk mengenalkan makanan baru pada bayi, tetapi juga untuk mencukupi kebutuhan gizi yang tidak lagi bisa dipenuhi hanya dengan ASI, serta untuk mendukung perkembangan daya tahan tubuh dan sistem imun bayi agar dapat melawan penyakit. Kekurangan pada dua aspek ini ASI eksklusif dan MPASI yang tepat menjadi faktor risiko utama stunting pada anak.
Selain faktor pengasuhan, terbatasnya akses masyarakat terhadap layanan kesehatan juga menjadi penyebab utama stunting. Layanan kesehatan yang kurang optimal, seperti layanan ANC (Ante Natal Care) selama kehamilan, serta pelayanan kesehatan pasca melahirkan (Post Natal Care), memiliki dampak besar terhadap kesehatan ibu dan anak. Data dari Kemenkes dan Bank Dunia menunjukkan penurunan signifikan dalam tingkat kehadiran anak di Posyandu, dari 79% pada 2007 menjadi 64% pada 2013, yang menunjukkan kurangnya pemantauan tumbuh kembang anak secara berkala. Selain itu, akses ibu hamil terhadap suplemen zat besi yang memadai juga masih rendah, dengan dua dari tiga ibu hamil yang tidak mengonsumsinya. Belum lagi, kurangnya akses rumah tangga terhadap makanan bergizi, akibat harga yang mahal, serta terbatasnya akses ke air bersih dan sanitasi yang memadai, memperburuk masalah stunting. Data menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih membuang air besar di ruang terbuka, dan 1 dari 3 rumah tangga tidak memiliki akses ke air minum bersih, yang semuanya berkontribusi pada kondisi gizi yang buruk dan meningkatkan risiko stunting.
Gejala dan tanda-tanda stunting pada anak dapat terlihat melalui berbagai indikator fisik dan perilaku yang menunjukkan adanya gangguan dalam pertumbuhan mereka. Salah satu tanda yang paling mencolok adalah tinggi badan anak yang lebih pendek dibandingkan dengan teman seusianya. Hal ini terjadi karena kekurangan gizi yang mempengaruhi pertumbuhan tulang dan jaringan tubuh. Selain itu, berat badan anak juga tidak meningkat secara konsisten, bahkan cenderung stagnan atau lambat. Anak yang mengalami stunting mungkin terlihat lebih kecil dan kurang berenergi dibandingkan anak-anak lainnya, serta mengalami keterlambatan dalam mencapai tahap perkembangan fisik, seperti berbicara, berjalan, atau keterampilan motorik lainnya.
Anak yang mengalami stunting juga cenderung menunjukkan penurunan aktivitas fisik, seperti kurang aktif bermain, karena tubuh mereka tidak memiliki cukup energi untuk bergerak dengan normal. Mereka mungkin sering merasa lemas atau cepat kelelahan, meskipun tidak melakukan aktivitas berat. Selain itu, karena sistem kekebalan tubuh yang lemah akibat kurangnya asupan gizi yang baik, anak-anak yang stunting juga lebih rentan terhadap infeksi, seperti diare dan penyakit pernapasan. Kondisi ini memperburuk dampak stunting, karena infeksi yang berulang dapat menghambat penyerapan gizi, sehingga memperburuk gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak.
Pencegahan stunting memerlukan upaya yang menyeluruh dan melibatkan berbagai aspek, salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan gizi bagi ibu hamil. Ibu hamil harus mendapatkan makanan yang bergizi seimbang serta suplementasi zat gizi seperti tablet zat besi (Fe) untuk mencegah anemia yang dapat memengaruhi kesehatan ibu dan janin. Namun, data menunjukkan bahwa hanya 33% ibu hamil yang mematuhi anjuran untuk mengonsumsi tablet tambah darah sebanyak 90 tablet selama kehamilan. Padahal, suplementasi zat besi yang tepat sangat penting untuk mendukung perkembangan janin dan mencegah stunting sejak awal kehamilan. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan ibu hamil dalam menjaga pola makan dan konsumsi suplemen gizi yang dianjurkan agar dapat meminimalkan risiko stunting pada bayi.
Selain itu, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan dan pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang cukup kualitas dan kuantitasnya setelah usia 6 bulan menjadi langkah penting dalam pencegahan stunting. MPASI yang tepat dapat memenuhi kebutuhan gizi anak yang tidak dapat lagi dipenuhi hanya dengan ASI, serta mendukung pertumbuhan fisik dan perkembangan otaknya. Selain pemberian ASI dan MPASI yang baik, pemantauan pertumbuhan balita secara berkala di Posyandu sangat penting untuk mendeteksi dini adanya gangguan pertumbuhan pada anak. Dengan memantau perkembangan balita, tenaga kesehatan dapat segera memberikan intervensi yang diperlukan. Terakhir, meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi yang memadai, serta menjaga kebersihan lingkungan, sangat krusial untuk mencegah infeksi yang dapat memperburuk kondisi gizi anak, sehingga mendukung upaya pencegahan stunting secara lebih efektif. Menurut Kemenkes pencegahan stunting jauh lebih efektif dibandingkan pengobatan stunting sendiri.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan regulasi yang bertujuan untuk mengurangi prevalensi stunting, dengan langkah-langkah yang melibatkan sektor kesehatan, sanitasi, dan gizi. Salah satu kebijakan utama adalah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, yang mencakup program "Akses Universal Air Minum dan Sanitasi" untuk menyediakan layanan air minum dan sanitasi layak bagi seluruh rakyat Indonesia pada tahun 2019. Selain itu, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 juga menargetkan penurunan prevalensi stunting menjadi 28% pada 2019, serta adanya regulasi seperti Undang-Undang Kesehatan No. 36/2009, Peraturan Pemerintah No. 33/2012 tentang ASI Eksklusif, dan Peraturan Presiden No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Kebijakan ini bertujuan untuk memperbaiki akses terhadap air bersih, meningkatkan asupan gizi, serta mendukung keberhasilan program ASI eksklusif, yang semuanya berperan penting dalam pencegahan stunting.
Untuk mendukung kebijakan tersebut, Kementerian Kesehatan juga menjalankan berbagai program intervensi yang bertujuan untuk menurunkan angka stunting, seperti Program Gizi Spesifik yang dilaksanakan melalui Puskesmas dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Program ini termasuk Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang fokus pada pemberian gizi yang cukup pada ibu hamil dan bayi. Di samping itu, program pemberian makanan tambahan (PMT) bagi balita gizi kurang dan pembinaan posyandu terus didorong untuk meningkatkan status gizi anak-anak di Indonesia. Program ini juga melibatkan penyuluhan tentang pentingnya pola makan bergizi, serta penyediaan makanan berbasis pangan lokal untuk balita usia 6-59 bulan. Dengan dukungan anggaran dari Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik, program-program ini diharapkan dapat mengurangi prevalensi stunting secara signifikan di daerah-daerah prioritas.
Peran tenaga kesehatan masyarakat dalam mengedukasi masyarakat terkait penyakit stunting di Indonesia sangat berpengaruh, mengingat stunting merupakan masalah kesehatan yang kompleks dan mempengaruhi masa depan generasi penerus. Tenaga kesehatan masyarakat berperan sebagai penghubung antara kebijakan kesehatan dan penerapan langsung di lapangan. Mereka melakukan penyuluhan kepada ibu hamil dan keluarga tentang pentingnya pemenuhan gizi yang cukup selama masa kehamilan dan tumbuh kembang anak. Melalui program-program di Posyandu, Puskesmas, dan rumah sakit, tenaga kesehatan masyarakat mendidik masyarakat mengenai pentingnya pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan anak, serta pengenalan makanan pendamping ASI (MPASI) yang bergizi setelahnya. Dengan pengetahuan yang baik tentang pola makan yang tepat, ibu dan keluarga dapat mencegah kekurangan gizi yang berpotensi menyebabkan stunting. Selain itu, tenaga kesehatan masyarakat juga berperan dalam memantau pertumbuhan anak melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan secara rutin, serta mendeteksi dini gejala-gejala stunting agar penanganan dapat dilakukan lebih cepat.
Selain itu, tenaga kesehatan masyarakat juga aktif dalam memberikan edukasi terkait sanitasi dan akses terhadap air bersih, yang merupakan faktor penting dalam pencegahan stunting. Mereka tidak hanya fokus pada gizi, tetapi juga mengingatkan masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan, seperti mencuci tangan dengan sabun, menjaga kebersihan air, serta penggunaan jamban sehat. Tenaga kesehatan masyarakat turut serta dalam kampanye dan program-program pemerintah, seperti Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi, yang diluncurkan untuk menurunkan prevalensi stunting di Indonesia. Mereka juga bekerja sama dengan berbagai lembaga untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan, seperti pemeriksaan kehamilan secara teratur, imunisasi, dan pemberian makanan tambahan untuk balita. Dengan pendekatan yang holistik, tenaga kesehatan masyarakat berupaya membangun kesadaran dan kapasitas masyarakat untuk mengatasi stunting, bukan hanya sebagai masalah gizi, tetapi juga sebagai tantangan dalam pembangunan kesehatan yang membutuhkan perhatian dari semua pihak.
Oleh karena itu, upaya pencegahan dan penanggulangan stunting di Indonesia membutuhkan perhatian serius dan tindakan yang terkoordinasi antara berbagai sektor, terutama pada tenaga kesehatan masyarakat. Stunting yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis pada masa kehamilan dan dua tahun pertama kehidupan anak, memiliki dampak jangka panjang yang merugikan terhadap pertumbuhan fisik, perkembangan otak, dan kualitas hidup generasi mendatang. Tenaga kesehatan masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya pemenuhan gizi yang baik, pemberian ASI eksklusif, serta pengenalan Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang tepat. Selain itu, tenaga kesehatan juga berperan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya sanitasi yang baik, akses terhadap air bersih, dan pemeriksaan kesehatan yang rutin. Melalui program-program yang dilaksanakan di Posyandu, Puskesmas, dan rumah sakit, tenaga kesehatan masyarakat tidak hanya mendukung pencegahan stunting tetapi juga memperbaiki kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Dengan pendekatan holistik dan kolaborasi antara pemerintah, tenaga kesehatan, serta masyarakat, diharapkan prevalensi stunting dapat diturunkan, memberikan masa depan yang lebih baik bagi generasi Indonesia yang akan datang.
KATA KUNCI : Edukasi, Gizi, Kesehatan Masyarakat, Pencegahan, Stunting
REFERENSI
1. Siswati, T. (2018). Stunting.
2. Archda, R., & Tumangger, J. (2019). Hulu-hilir penanggulangan stunting di Indonesia.
3. Rahmadhita, K. (2020). Permasalahan stunting dan pencegahannya. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 9(1), 225-229.
4. Setiadi, H., KM, S., & Fifi Dwijayanti, S. K. M. (2020, April). Pentingnya kesehatan masyarakat, edukasi dan pemberdayaan perempuan untuk mengurangi stunting di negara berkembang. In Jurnal Seminar Nasional (Vol. 2, No. 01, pp. 16-25).
5. Nareza, Meta. 2024. Stunting - Gejala, Penyebab, dan Pengobatan. https://www.alodokter.com/stunting [online]. (diakses tanggal 30 November 2024).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.