Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fikri Syufi Ramadhan

Pelajaran dari Pilkada DKI Jakarta 2024 : Narasi dan Citra dalam Politik Kontemporer

Politik | 2024-11-30 12:53:05
Calon Gubernur (Cagub) DKI Jakarta Nomor Urut 1 Ridwan Kamil-Suswono

Penulis : Fikri Syufi Ramadhan

Program Studi Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga

Surabaya, 30 November 2024

Pilkada DKI Jakarta 2024 memberikan banyak pembelajaran bagi kandidat dan pemilih mengenai pentingnya narasi dan citra dalam dunia politik. Salah satu aspek yang mencuri perhatian adalah penggunaan narasi kontroversial oleh tim kampanye Ridwan Kamil-Suswono yang menonjolkan status "janda". Narasi ini, yang semula dimaksudkan untuk meraih simpati pemilih, malah berujung pada kerugian bagi pasangan calon tersebut. Fenomena ini menjadi contoh nyata mengenai kekuatan narasi dalam politik dan bagaimana seorang calon pemimpin harus bijaksana dalam membangun citra diri mereka.

Pentingnya Narasi dalam Politik : Lebih dari Sekadar Strategi Kampanye

Narasi memiliki peran yang sangat vital dalam membentuk pandangan publik dan mempengaruhi keputusan pemilih. Dalam teori komunikasi framing dijelaskan bahwa cara suatu isu dibicarakan akan memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap isu tersebut. Begitu pula dengan narasi "janda" yang dibangun oleh tim kampanye Ridwan Kamil-Suswono. Awalnya dimaksudkan untuk mendekatkan diri dengan pemilih, namun narasi tersebut malah menimbulkan persepsi negatif yang sulit dihapus.

Di Indonesia, terutama di DKI Jakarta, status sosial perempuan masih sering dilihat melalui lensa stereotip. Dalam budaya yang cenderung konservatif, status "janda" seringkali dianggap sebagai simbol ketidakstabilan emosional atau bahkan ketidakberuntungan. Hal ini tentu merugikan citra publik calon yang ingin terlihat sebagai pemimpin yang stabil dan tepercaya. Sebagai hasilnya, narasi ini justru menciptakan keraguan, terutama di kalangan pemilih yang lebih konservatif.

Stigma Sosial terhadap Perempuan dalam Politik

Isu status "janda" yang diangkat dalam Pilkada DKI Jakarta menunjukkan betapa kuatnya stigma sosial terhadap perempuan di Indonesia. Perempuan yang berstatus janda seringkali dianggap kurang stabil secara emosional atau bahkan tidak layak untuk memimpin. Pandangan ini semakin diperburuk oleh masyarakat yang lebih memandang status pribadi calon dibandingkan kebijakan atau visi politik yang mereka tawarkan.

Dengan terjebaknya Ridwan Kamil-Suswono dalam stereotip ini, mereka terlalu fokus pada citra pribadi dan mengabaikan isu-isu kebijakan yang lebih penting. Di tengah pemilih yang semakin kritis, terutama di kota besar seperti Jakarta, masyarakat lebih peduli pada kebijakan konkret daripada status pribadi calon. Isu-isu seperti pendidikan, kesehatan, dan penanganan kemacetan jauh lebih relevan dibandingkan narasi yang berfokus pada status "janda".

Dinamika Pemilih Muda dan Keberagaman Pilihan Politik

Pemilih muda di DKI Jakarta dikenal sangat kritis dan lebih memilih kandidat yang dapat menawarkan kebijakan nyata daripada sekadar narasi emosional. Mereka lebih peduli pada substansi kebijakan yang dapat menyelesaikan masalah-masalah besar kota Jakarta, seperti kemacetan, banjir, dan ketimpangan sosial. Narasi "janda" yang dibangun oleh Ridwan Kamil-Suswono, meskipun mungkin dimaksudkan untuk menciptakan kedekatan emosional, justru dianggap kurang relevan di tengah isu-isu besar yang lebih penting bagi pemilih.

Kesalahan Strategis : Fokus pada Citra Pribadi, Lupakan Kebijakan

Salah satu kesalahan besar yang dilakukan tim kampanye Ridwan Kamil-Suswono adalah terlalu banyak fokus pada citra pribadi dan mengabaikan kebijakan yang lebih substansial. Dalam politik kontemporer, terutama dalam pemilihan kepala daerah di kota besar, keseimbangan antara citra pribadi dan kebijakan politik sangat penting. Pemilih yang semakin cerdas dan selektif tidak hanya melihat siapa calon pemimpin mereka secara pribadi, tetapi juga seberapa relevan dan implementatif kebijakan yang ditawarkan.

Pilkada DKI Jakarta 2024 mengajarkan kita bahwa pemilih kini semakin pintar dan tidak mudah terpengaruh oleh citra semata. Mereka lebih memprioritaskan calon yang bisa memberikan solusi nyata terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi. Narasi pribadi yang terlalu menonjol dapat mengalihkan perhatian dari kebijakan yang lebih penting, dan ini bisa berakibat fatal bagi calon tersebut.

Membangun Citra yang Seimbang : Antara Personal dan Kebijakan

Pelajaran terbesar dari Pilkada DKI Jakarta 2024 adalah betapa pentingnya keseimbangan antara citra pribadi dan kebijakan politik dalam kampanye. Calon pemimpin harus mampu menyeimbangkan keduanya dengan bijak. Narasi "janda" yang dibangun oleh Ridwan Kamil-Suswono seharusnya bisa dipergunakan untuk menunjukkan sisi humanis mereka, namun jika tidak disertai dengan visi dan kebijakan yang jelas, narasi tersebut malah menjadi boomerang.

Kini, pemilih semakin cerdas dan lebih peduli pada kebijakan yang akan membawa perubahan nyata bagi masyarakat. Oleh karena itu, para calon pemimpin harus berhati-hati dalam membangun narasi dan citra mereka, dengan fokus pada kebijakan yang relevan dan efektif. Pilkada DKI Jakarta 2024 mengajarkan kita bahwa pemilihan kepala daerah harus lebih dari sekadar persaingan citra, namun juga tentang kebijakan yang benar-benar akan memberi dampak positif bagi masyarakat di masa depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image