Mentari dalam Keheningan
Sastra | 2024-11-30 08:09:31Langit Pangkalpinang masih gelap pekat ketika Rina membuka jendela kamarnya. Sudah tiga jam ia terjaga, menunggu. Rumah tua warisan orangtuanya yang telah tiada kini sepi, hanya ditemani suara desiran angin yang merambat di sela-sela daun pinang di halaman. Dalam keremangan itu, bayangan pohon-pohon menari lembut di dinding kamarnya yang sudah menguning, menciptakan siluet yang mengingatkannya pada masa kecil—saat ia masih sering bermain petak umpet dengan bayangan.
Matanya yang lelah menerawang ke arah foto keluarga yang tergantung di dinding. Wajah-wajah penuh senyum yang kini hanya tinggal kenangan. Setiap kali memandangnya, ada rasa sesak yang familiar di dada Rina. Bukan hanya karena rindu, tapi juga beban tanggung jawab untuk menjaga warisan keluarga ini—rumah tua yang menyimpan begitu banyak cerita.
Ia ingat betul cerita neneknya dulu. Tentang bagaimana mentari tak sekadar sebuah bola cahaya yang rutin terbit, melainkan sebuah janji yang selalu datang tepat pada waktunya. "Setiap kegelapan punya batas," kata nenek perempuan bijak itu suatu malam, sambil menggenggam tangan Rina yang masih kecil. Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, kata-kata itu terasa lebih dalam maknanya, seperti kompas yang menuntunnya melewati masa-masa gelap.
Di sudut ruangan, jam dinding tua pemberian ayahnya masih setia berdetak, suaranya bergema dalam kesunyian. Tiap detaknya seolah menghitung sisa-sisa harapan yang masih ia miliki. Bekerja sebagai guru di sekolah dasar terakhir kali memberinya secercah harapan. Sejak pandemi melanda dan sekolah ditutup, ia kehilangan pekerjaannya. Tabungan yang tersisa kian menipis. Orangtuanya telah lama pergi, meninggalkannya sendirian dengan rumah tua dan kenangan.
Tangannya yang dingin meraba dinding menuju dapur, mengikuti pola retak yang sudah ia hafal di luar kepala. Pukul empat pagi. Rina menyalakan kompor tua, merebus air untuk secangkir kopi pahit. Ia masih ingat bagaimana ayahnya dulu selalu menyesap kopi sambil menunggu matahari terbit, berbicara tentang kerja keras dan kesabaran. "Kopi ini seperti kehidupan, Rina," kata ayahnya dulu, "pahit di awal, tapi kalau kau nikmati pelan-pelan, akan ada manisnya sendiri."
Sementara air mendidih, pikirannya melayang pada anak-anak didiknya dulu. Bagaimana mereka selalu menyambutnya dengan senyum lebar dan pelukan hangat setiap pagi. Suara tawa mereka masih terngiang jelas, menjadi penghibur di tengah kesendirian ini. Ia merindukan papan tulis putih yang selalu ia isi dengan gambar-gambar dan kata-kata penyemangat, merindukan mata-mata polos yang berbinar setiap kali ia membacakan dongeng.
Bunyi gemerisik dari luar membuatnya menoleh. Seekor kucing jalanan—yang sudah seminggu ia beri makan sisa rotinya—mendekati jendela. Matanya sayu namun masih penuh harap. Sama seperti Rina. Ada sesuatu dalam tatapan kucing itu yang membuatnya merasa tidak sendiri. Mungkin karena mereka berdua sama-sama pejuang sunyi, bertahan dalam ketidakpastian dengan cara mereka masing-masing.
Ia teringat surat lamaran kerja terakhir yang ia kirim ke sebuah yayasan pendidikan di kota. Sudah dua minggu tak ada kabar. Setiap hari ia mencoba untuk tidak putus asa, seperti mentari yang tak pernah lelah untuk kembali. Tangannya yang gemetar membuka amplop-amplop lama—tagihan listrik, air, dan cicilan rumah yang mulai menumpuk. Tapi ia memilih untuk memandang tumpukan kertas itu sebagai tantangan, bukan beban.
Di antara desah napasnya yang berat, Rina bisa merasakan perubahan di udara. Perlahan, langit mulai berubah. Warna hitam perlahan-lahan tersapu gradasi jingga dan merah muda. Cahaya pertama mulai menembus celah-celah jendela, menyentuh lantai kamar yang sudah mulai usang. Debu-debu menari dalam berkas cahaya itu, menciptakan pemandangan yang hampir magis.
Rina tersenyum. Mentari akan segera terbit. Senyumnya mengembang mengingat kata-kata neneknya tentang janji mentari. Mungkin ini waktunya, pikirnya. Mungkin ini saatnya kegelapan mencapai batasnya.
Tepat pukul enam, ponselnya bergetar. Sebuah email masuk dari yayasan tempat ia melamar. Jemarinya gemetar membuka pesan elektronik itu. Jantungnya berdegup kencang, menciptakan irama dengan detak jam dinding yang setia menemani.
"Selamat, Rina. Anda diterima..."
Air matanya mengalir. Bukan air mata kesedihan, melainkan kebahagiaan. Ia memandang ke luar jendela, di mana mentari sudah sepenuhnya merekah di ufuk timur Pangkalpinang. Cahayanya hangat menyentuh wajahnya yang basah, mengingatkannya pada belaian lembut ibunya dulu.
Kucing jalanan itu duduk di beranda, menikmati cahaya pagi. Rina menuangkan sisa kopinya ke dalam mangkuk kecil, meletakkannya di dekat kucing itu. Ia bisa melihat ekor sang kucing bergerak-gerak gembira, seolah ikut merasakan kebahagiaannya.
"Kita berdua sudah menunggu dengan sabar," bisiknya. Tangannya mengusap lembut kepala kucing itu, merasakan kehangatan yang sama yang ia rasakan di hatinya.
Mentari tampak tersenyum. Memberikan kehangatan pada setiap sudut ruangan, seakan berbisik: "Tidak ada kegelapan yang abadi." Rina memandang foto keluarganya sekali lagi, kali ini dengan senyum penuh syukur. Ia tahu, di suatu tempat di sana, mereka pasti sedang tersenyum bangga padanya.
Di kejauhan, suara azan subuh mulai berkumandang, berpadu dengan kicauan burung-burung yang menyambut pagi. Rina membuka jendela lebih lebar, membiarkan udara pagi yang segar memenuhi rumah tua itu. Hari ini, rumah itu tidak lagi terasa sepi. Hari ini, rumah itu kembali dipenuhi harapan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.