Penantian yang Berbuah Manis
Sastra | 2024-11-28 19:13:43Fajar belum merekah ketika Darti membuka matanya. Udara pagi yang dingin menyusup dari celah jendela kayu yang sedikit terbuka, membuat tubuhnya menggigil pelan. Suara adzan subuh mengalun merdu dari masjid di ujung jalan, membangunkan jiwa yang lelah setelah semalaman menangis. Desir angin membawa aroma tanah basah dari hujan semalam, seolah alam turut merasakan kesedihan yang menggenang di matanya.
Sudah lima tahun berlalu sejak diagnosa dokter memvonis rahimnya tak akan pernah bisa mengandung. Lima tahun pula ia dan suaminya, Umar, terus berdoa tanpa henti. Darti memandang kosong ke arah jendela, dimana semburat jingga mulai mewarnai langit kelam. "Ya Allah, jika Engkau berkenan, karuniakanlah kami seorang anak," bisiknya lirih sembari mengambil wudhu. Air wudhu yang dingin terasa menusuk kulitnya, namun tak sebanding dengan perih di hatinya. Air mata mengalir tanpa diminta, membasahi sajadah hijau pemberian ibunya ketika ia bersujud.
Ruangan masih remang ketika Umar terbangun, cahaya lampu tidur yang temaram menyinari sosok istrinya yang masih khusyuk dalam shalat tahajud. Hatinya perih melihat punggung mungil itu bergetar menahan tangis. Setiap malam, pemandangan yang sama terulang. Di sudut kamar mereka yang sederhana, ditemani detak jam dinding yang konstan, Darti tak pernah absen memohon kepada Sang Pencipta. Namun tak sekalipun ia mendengar Darti mengeluh atau putus asa.
"Sudahlah, Dar," Umar memeluk istrinya seusai shalat, aroma sampo yang familiar menguar dari rambut hitam Darti yang tergerai. "Allah pasti punya rencana terbaik untuk kita."
Darti mengangguk dalam pelukan suaminya, mencari kehangatan yang selalu bisa menenangkan hatinya. "Aku percaya, Mas. Tapi kadang... kadang rasanya berat sekali ketika tetangga mulai berbisik-bisik. Suara-suara mereka seperti menusuk hatiku setiap kali aku lewat. Apalagi Ibu mertua yang terus mendesak untuk..." "Sssh," Umar menggeleng, jemarinya menghapus air mata yang mengalir di pipi istrinya. Cahaya pagi yang mulai terang menyinari wajah Darti yang lelah. "Jangan dengarkan mereka. Yang penting kita terus berusaha dan berdoa. Allah Maha Mendengar."
Di luar, burung-burung mulai berkicau menyambut pagi. Suara kesibukan mulai terdengar dari jalan di depan rumah mereka. Darti beranjak untuk menyiapkan sarapan, sementara hidungnya masih memerah karena menangis.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Darti tetap setia mengajar di TK dekat rumah, mencurahkan kasih sayangnya pada anak-anak didiknya. Tawa riang bocah-bocah kecil itu menjadi penghibur hatinya yang sepi. Setiap sore, ia menyempatkan diri mengajar mengaji di mushola, suaranya yang lembut membimbing anak-anak membaca Al-Quran. Kesibukannya mengurus anak-anak orang lain tak membuatnya lupa akan harapannya sendiri.
Musim berganti, dari hujan ke kemarau, lalu hujan lagi. Suatu hari yang cerah, seorang ibu muda datang ke TK membawa bayi mungil. Matanya sembab, pakaiannya sederhana namun rapi. "Bu Darti, saya mohon bantuan Ibu," kata wanita itu dengan mata berkaca-kaca. "Saya tidak sanggup merawat anak ini. Suami saya meninggal sebulan lalu, dan saya harus bekerja di luar kota."
Darti tertegun menatap bayi perempuan yang tertidur lelap dalam gendongan. Kulitnya kecoklatan, dengan pipi gembil yang merona. Hatinya seketika berdesir, seolah ada bisikan halus yang menyentuh kalbunya. "Saya tahu Ibu dan Pak Umar orang baik. Tolong rawat anak saya," pinta wanita itu sambil menangis. "Saya janji akan mengirim uang setiap bulan untuk kebutuhannya."
Sore itu, Darti membawa pulang bayi mungil itu dengan hati berdebar. Rumahnya yang biasanya sunyi kini dipenuhi suara tangis bayi yang menggemaskan. Umar awalnya terkejut, namun melihat pancaran bahagia di wajah istrinya, ia tak tega menolak. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia melihat senyum Darti merekah dengan begitu indah.
"Mungkin ini jawaban Allah atas doa-doa kita selama ini," ujar Umar sambil mengelus kepala bayi yang kini tertidur di box bayi pemberian tetangga. Cahaya senja menerobos masuk dari jendela, menciptakan suasana hangat di kamar sederhana mereka.
Mereka memberi nama bayi itu Rahma - rahmat dari Allah. Hari-hari Darti kini dipenuhi tangis dan tawa si kecil. Suara celoteh dan langkah-langkah kecil Rahma mengisi setiap sudut rumah dengan kehidupan baru. Ia tak lagi merasa kosong. Rahma mengisi kekosongan hatinya dengan sempurna.
Setahun berlalu dengan cepat. Rahma tumbuh menjadi batita yang sehat dan menggemaskan. Suatu pagi yang sejuk, Darti merasa mual dan pusing. Umar membawanya ke dokter, mengira istrinya kelelahan mengurus Rahma.
Di ruang dokter yang bernuansa putih itu, kabar bahagia itu akhirnya datang. "Selamat, Bu Darti. Anda hamil, usia kandungan sudah delapan minggu," kata dokter dengan senyum lebar.
Darti tak bisa menahan tangisnya. Umar memeluknya erat, sama-sama tak percaya dengan keajaiban yang Allah berikan. Air mata bahagia mengalir deras, membasahi jas putih dokter yang memeriksanya. "Ya Allah, terima kasih," bisik Darti dalam sujud syukurnya malam itu, ditemani semilir angin malam yang menyejukkan. "Engkau memang Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa hamba-hambaMu."
Sembilan bulan kemudian, di sebuah pagi yang cerah, tangis bayi laki-laki memecah keheningan ruang bersalin. Mereka menamainya Fadil - pemberian Allah yang utama. Rahma, yang kini berusia dua tahun, dengan gemas mencium adik barunya, membuat semua orang yang melihatnya meneteskan air mata haru.
Kebahagiaan Darti dan Umar lengkap sudah. Dua malaikat kecil mengisi hari-hari mereka dengan keceriaan. Tawa riang kedua anak mereka menggema di setiap sudut rumah, menggantikan kesunyian yang dulu begitu menyesakkan. Mereka tak pernah berhenti bersyukur atas segala karunia Allah.
"Dar," panggil Umar suatu malam, setelah anak-anak tertidur pulas. Lampu tidur menyinari wajah mereka dengan cahaya temaram, menciptakan suasana intim yang menenangkan. "Kau tahu kenapa Allah baru mengabulkan doa kita sekarang?"
Darti menggeleng, matanya menatap suaminya penuh tanya. "Karena Allah ingin kita memiliki dua anak sekaligus. Rahma dan Fadil. Bukankah ini lebih indah dari yang kita bayangkan?"
Air mata Darti mengalir lagi, kali ini air mata bahagia. Dari jendela kamar mereka, bulan purnama bersinar terang, seakan turut tersenyum menyaksikan kebahagiaan keluarga kecil ini. Ya, Allah memang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Dia mengabulkan doa-doa mereka dengan cara yang tak terduga, namun jauh lebih sempurna dari yang mereka harapkan.
Kini Darti semakin yakin, setiap doa yang dipanjatkan dengan tulus pasti didengar Allah. Mungkin tidak langsung dikabulkan, tapi Allah pasti menjawabnya pada waktu yang tepat, dengan cara yang terbaik menurut-Nya.
Lima belas tahun yang lalu, ia hanya meminta satu anak. Kini Allah memberinya dua malaikat kecil yang membuat hidupnya sempurna. SubhanAllah, begitu indah rencana Allah untuk hamba-Nya yang senantiasa bersabar dan berserah diri kepada-Nya. Di bawah rembulan yang bersinar, keluarga kecil itu terlelap dalam damai, dengan hati dipenuhi rasa syukur yang tak terhingga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.