Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Suara yang Tertukar

Sastra | 2024-11-27 12:18:38
Sumber foto: narasi.tv


Pukul 07.00 WIBMisla menghela napas panjang sembari membuka gembok pagar TPS 45. Udara pagi yang sejuk menyapu wajahnya yang lelah setelah semalaman nyaris tak bisa tidur. Sebagai Ketua KPPS, beban tanggung jawab terasa begitu berat di pundaknya. Setiap pemilihan selalu membawa ketegangan tersendiri, tapi entah mengapa kali ini perasaannya lebih tidak menentu dari biasanya.
Langit kelabu di atas sana seolah mengamini kegelisahan hatinya. Rekannya, Eva dan Ivan, sudah menunggu di dalam tenda untuk menata kotak suara dan bilik pemungutan. Misla memperhatikan Eva yang bekerja dengan cekatan – wanita berusia tiga puluhan yang selama ini ia kenal sebagai sosok yang berdedikasi. Siapa yang mengira bahwa di balik senyum ramah itu tersimpan rahasia yang kelak akan mengguncang kepercayaannya?
"Semoga hari ini lancar ya, Bu Ketua," sapa Eva sambil menata formulir C6 di meja pendaftaran. Suaranya terdengar tenang dan bersahabat seperti biasa. Misla hanya tersenyum tipis, mengabaikan bisikan intuisi yang terus memperingatkannya sejak semalam.
Pukul 08.30 WIBMatahari mulai merangkak naik ketika antrian mulai mengular. Udara pagi yang sejuk perlahan digantikan oleh kehangatan yang membuat beberapa pemilih mulai mengipasi diri dengan kertas C6 mereka. Lili, seorang mahasiswa yang menjadi relawan saksi dari pasangan calon nomor 1, tampak sibuk mencatat setiap kejadian. Sesekali ia menaikkan kacamatanya yang melorot, matanya awas mengamati setiap detail dengan ketelitian seorang peneliti muda.
Di sudut lain, Nina, saksi dari paslon nomor 2, tak kalah teliti mengawasi proses pemungutan suara. Blazer biru tuanya yang rapi kontras dengan raut wajahnya yang tegang. Kedua saksi ini seperti kucing dan anjing – selalu saling mengawasi dengan penuh kecurigaan, tidak menyadari bahwa takdir akan membuat mereka bersatu menghadapi musuh yang tak terduga.
"Pak, ini KTP-nya tidak sesuai dengan DPT," tegur Ivan pada seorang pemilih. Suaranya yang dalam dan tegas memecah keramaian. Misla segera mendekat untuk membantu menyelesaikan masalah, sementara keringat mulai membasahi kerudung putihnya. Rutinitas seperti ini terus berlangsung hingga menjelang siang, diiringi dengung percakapan pemilih dan sesekali tawa renyah Eva yang entah mengapa kini terdengar begitu palsu di telinga Misla.
Pukul 11.45 WIB"Bu Misla!" panggil Nina tiba-tiba dengan suara tertahan. Wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi kekhawatiran. "Saya lihat ada yang mencurigakan. Ada orang yang sudah dua kali masuk bilik pemungutan."
Jantung Misla berdegup kencang. Ia segera mengecek daftar hadir, jemarinya gemetar membuka lembar demi lembar. Namun sebelum sempat menemukan kejanggalan, teriakan keras terdengar dari luar tenda. Dua kubu pendukung paslon mulai bersitegang, menciptakan gelombang ketegangan yang menyapu seluruh TPS.
Pukul 13.00 WIBUdara siang yang panas seolah membakar suasana yang semakin memanas. Eva yang biasanya tenang tampak gelisah, kakinya tak berhenti bergerak di bawah meja. Ia mendekat pada Misla, suaranya berbisik seperti desis ular berbisa, "Bu, saya menemukan beberapa surat suara yang sudah tercoblos sebelum digunakan."
Darah Misla seakan membeku. Ia segera mengumpulkan tim inti untuk rapat dadakan di sudut tenda, sementara Ivan dengan postur tegapnya berdiri menghadang massa yang mulai tidak sabar di luar. Matanya yang tajam mengawasi setiap gerakan mencurigakan, layaknya elang yang mengintai mangsa.
Pukul 14.30 WIB"Ibu, lihat ini!" Lili menunjukkan sebuah video di ponselnya, tangannya bergetar menahan emosi. Rekaman itu menampilkan seseorang yang mencurigakan keluar masuk TPS membawa tas kecil. Misla mengenali sosok itu - Eva, rekan yang selama ini ia percaya sepenuhnya.
"Eva, kamu bisa jelaskan ini?" tanya Misla dengan suara bergetar. Matanya menatap tajam pada sosok yang kini berdiri kaku dengan wajah pucat pasi. Keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan itu, hanya terdengar detak jarum jam yang seakan mengejek.
Pukul 15.00 WIBPengakuan Eva membuat ruangan itu seakan membeku. Misla merasakan dunianya runtuh perlahan. Setiap kata yang keluar dari mulut Eva seperti pisau yang menghujam tepat ke jantungnya. Bertahun-tahun membangun kepercayaan, hancur dalam hitungan detik.
"Saya dibayar untuk menciptakan kekacauan," aku Eva di hadapan petugas Panwaslu. Suaranya bergetar, tetapi bukan karena penyesalan – melainkan karena ketakutan tertangkap basah. "Kedua tim sukses berjanji memberi saya uang yang besar." Matanya yang biasanya berbinar kini redup, menghindari tatapan mengkhianati dari rekan-rekan yang selama ini mempercayainya.
Nina dan Lili, yang tadinya saling curiga, kini berdiri bersisian dengan tekad yang sama di mata mereka. Ivan yang sempat dicurigai karena sering mondar-mandir, ternyata adalah seorang petugas intel yang sejak awal mengawasi gerak-gerik mencurigakan Eva. Ia mengeluarkan lencana kepolisiannya, membuat Eva semakin pucat.
Pukul 16.30 WIBSenja mulai turun di TPS 45, menciptakan bayangan panjang dari tenda-tenda putih yang berdiri tegak. Misla memandang Eva yang dikawal petugas keamanan meninggalkan TPS. Hatinya terasa berat, dicengkeram rasa kecewa yang dalam. Sosok Eva yang menjauh ditelan keramaian seolah membawa pergi sebagian dari kepercayaannya pada ketulusan manusia.
Namun, di tengah kekecewaan itu, ada secercah harapan yang muncul. Lili dan Nina, yang tadinya saling melempar tatapan sinis, kini berdiri bersisian dengan tekad yang sama di mata mereka. Persaingan mereka luruh, digantikan oleh kesadaran bahwa kejujuran lebih berharga dari kemenangan sesaat.
"Bu Misla," panggil Ivan, suaranya tenang dan meyakinkan. "Pemungutan suara sudah selesai. Mari kita mulai penghitungan dengan jujur dan transparan."
Misla mengangguk mantap, menegakkan punggungnya yang sempat membungkuk oleh beban pengkhianatan. Sinar senja yang keemasan menerobos celah-celah tenda, menyinari wajah-wajah lelah namun teguh para petugas dan saksi yang tersisa. Hari itu, di TPS 45 Kelurahan Sukamaju, mereka belajar bahwa dalam demokrasi, kejujuran dan kewaspadaan adalah harga mati. Tak ada yang tahu niat tersembunyi di balik senyum ramah, tapi kebenaran akan selalu menemukan jalannya untuk terungkap, seperti matahari yang pasti terbit setelah malam yang paling gelap sekalipun.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image