Kolaborasi Bank Syariah, Fintech P2P Lending, dan UMKM di Era Digital untuk Memperluas Pasar
Bisnis | 2022-02-16 18:53:26Era industri 4.0 secara perlahan mulai mengubah kebiasaan masyarakat dari aktivitas perbankan tradisional menuju aktivitas perbankan digital. Kegiatan perbankan masyarakat yang semula dilakukan secara tradisional dengan mendatangi kantor-kantor cabang dan anjungan tunai mandiri (ATM) untuk bertransaksi, kini bisa dilakukan hanya dengan menyentuh layar smartphone pribadi melalui aplikasi mobile banking. Teknologi membuat aktivitas perbankan bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja dengan adanya transformasi digital di industri perbankan.
Meningkatnya tren aktivitas digital perbankan di masyarakat membawa arah industri keuangan khususnya perbankan ke era Bank Digital. Berubahnya pola perilaku masyarakat dalam transaksi perbankan menyebabkan industri perbankan harus menyiapkan diri dalam menghadapi peluang dan tantangan di era digital sekarang ini yang berubah dengan cepat. Dalam 6 tahun ke belakang perbankan mengalami penurunan kantor cabang sampai 3.000 kantor. Tahun 2015 dari 118 bank umum yang beroperasi di Indonesia kantor cabang yang beroperasi mencapai 2.963 cabang. Per Maret 2021 jumlah kantor cabang menyusut menjadi 29.889.
Perubahan pola transaksi nasabah yang dominan menggunakan mobile banking menyebabkan pembangunan kantor cabang dianggap tidak efisien (Wareza, 2021). Di era digital industri keuangan Bank Syariah tidak hanya menghadapi persaingan antar sesama bank baik itu Bank Konvensional maupun Bank Syariah sendiri. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir perbankan sebagai industri yang mendominasi aktivitas pembiayaaan di masyarakat baik perorangan maupun sektor bisnis/usaha kini menghadapi pesaing baru bernama Financial Technology (fintech)P2P Lending atau di kalangan masyarakat umum dikenal dengan istilah pinjaman online (pinjol).
Dari tahun ke tahun layanan Fintech P2P Lending terus meningkat dengan sangat pesat. Dengan jumlah akun pengguna hampir 68 juta, perputaran omset pinjol mencapai Rp260 tiriliun (cnnindonesia.com, 2021). Kelebihan fintech yang tidak dimiliki oleh Bank adalah mereka bisa menyentuh segmen masyarakat yang unbanked sampai ke pelosok daerah. Mereka tidak memiliki rekening bank dan akses ke perbankan untuk mengakses program pembiayaan tapi sebetulnya mereka memenuhi syarat sebagai borrowers. Mereka juga mampu menjangkau masyarakat desa atau pelosok yang sulit mengakses sarana perbankan di daerahnya.
Kemudahan teknologi, persyaratan yang lebih mudah, dan pencairan dana yang cepat tanpa harus ada pertemuan tatap muka membuat fintech semakin diminati masyarakat luas. Ketika pandemi covid 19 banyak menyebabkan sektor usaha terguncang dan menyebabkan pemutusan hubungan kerja besar-besaran ekonomi menjadi sangat sulit untuk masyarakat terdampak sedangkan kehidupan sehari-hari dan kegiatan usaha harus tetap berlangsung. Dalam situasi tersebut fintech hadir menjadi solusi pembiayaan yang cepat bagi kebutuhan kredit masyarakat.
Hingga bulan Oktober 2021 Fintech P2P Lending telah menyalurkan dana pinjaman kepada masyarakat sebesar Rp272,4 triliun. Sepanjang tahun 2021 Fintech P2P Lending telah menyalurkan pinjaman kepada sektor produksi khususnya UMKM sebesar Rp67 triliun atau sekitar 53,63% dari total penyaluran (Hendatyo, 2021). Di sisi yang lain, berdasarkan laporan statistik SNLIK OJK tahun 2019 jumlah UMKM yang menggunakan layanan kredit usaha perbankan hanya sebesar 4,11% sedangkan kredit syariahnya hanya 0,29% (OJK, 2021).
Dalam era digital dimana persaingan berlangsung sangat ketat Bank Syariah tentunya perlu menyiapkan strategi dan inovasi dalam memperluas pangsa pasarnya. Pesatnya penetrasi Fintech P2P Lending dalam industri keuangan digital saat ini harus dilihat dari perspektif kemitraan yang strategis. Salah satunya adalah melalui penguatan kolaborasi antara Bank Syariah, Fintech P2P Lending Syariah dan UMKM sebagai upaya memperluas pangsa pasar perbankan syariah di era disrupsi dan digital.
Menurut Bursa Efek Indonesia, hampir 75% penduduk Indonesia saat ini tidak memiliki akses ke bank (Ariesta, 2021). Per Juni 2021 berdasarkan data Dukcapil jumlah penduduk Indonesia mencapai 272.230.000 jiwa (Kusnandar, 2021), artinya masih ada sekitar 204.172.500 jiwa yang menjadi potensi pasar dan bisa dijadikan target market perbankan di era digital.
Dari sisi UMKM pun ternyata, baru sekitar 4,11% UMKM yang menggunakan fasilitas kredit dari bank baik itu Kredit/pembiayaan dengan jaminan/agunan, Kredit tanpa agunan, Kredit Usaha Rakyat (KUR), KUR Syariah, Kredit/pembiayaan mikro (UMKM) dan pembiayaan mikro syariah. Dari total 4,11% pemanfaatan fasilitas kredit bank hanya 0,29% UMKM menggunakan fasilitas Bank Syariah (OJK, 2021).
Sementara itu, sepanjang tahun 2021 pinjaman yang berhasil disalurkan oleh Fintech P2P Lending mencapai 53,63% dari total penyaluran kepada sektor produksi (UMKM) dengan total penyaluran pinjaman mencapai Rp67 triliun (Dianka, 2021). Artinya, celah besar masyarakat Indonesia yang tidak memiliki akses ke perbankan termasuk UMKM, terjaring oleh Fintech P2P Lending yang menawarkan kemudahan akses dan syarat administrasi yang lebih sederhana daripada Bank.
Celah pasar yang besar tersebut menjadi tantangan dan peluang bagi Bank Syariah untuk segera bertransformasi menyiapkan strategi dan inovasi agar bisa bersaing dengan lembaga keuangan lain yang sudah masif memanfaatkan teknologi di era digital sekarang ini.
Tantangan Bank Syariah di era digital salah satunya adalah meningkatkan ekosistem pengguna layanan perbankan digitalnya. Ketatnya persaingan bank di era digital tidak hanya menuntut Bank Syariah harus melakukan ekspansi atau peningkatan jumlah nasabah tapi lebih dari itu Bank Syariah selain meningkatkan jumlah nasabah/pengguna tapi juga memastikan nasabahnya aktif dalam transaksi perbankan.
Alih-alih menjadikan Fintech P2P Lending sebagai kompetitor, Bank Syariah perlu menguatkan strategi dan inovasi dalam menjangkau pangsa pasar yang lebih besar melalui kolaborasi dengan Fintech P2P Lending Syariah dan UMKM.
Kolaborasi merupakan salah satu kunci langkah penguatan strategi dan inovasi Bank Syariah dalam upaya memperluas pangsa pasar di era digital. Kolaborasi Bank Syariah dengan Fintech P2P Lending Syariah dan UMKM diharapkan bisa meningkatkan jangkauan nasabah Bank Syariah di masyarakat khususnya UMKM.
Kolaborasi Bank Syariah dengan Fintech P2P Lending Syariah, dan UMKM di era digital saat ini diharapkan tidak hanya berdampak pada pengembangan, perluasan, dan percepatan penyerapan produk Bank Syariah itu sendiri. Tapi juga sekaligus mendorong tumbuh dan berkembangnya entitas Fintech P2P Lending Syariah. Kemudian keterlibatan langsung UMKM dalam proses kolaborasi tersebut juga bisa mempercepat bangkitnya UMKM sebagai salah satu pilar ekonomi sektor rill di Indonesia.
Penguatan strategi dan inovasi sangat dibutuhkan melalui proses kolaborasi yang saling mendukung dan saling menguntungkan. Dari mulai aspek SDM, literasi, channelling pembiayaan, investasi, dan juga aspek proteksi (asuransi digital mikro). Inovasi platform sharing berbasis Super App harus dilakukan percepatan sebagai proses transformasi digital Bank Syariah dalam mendukung proses kolaborasi perluasan pangsa pasar.
Kolaborasi memungkinkan keterlibatan UMKM sebagai nasabah/borrowers produk Bank Syariah maupun Fintech P2P Lending Syariah yang berafiliasi (chanelling) dalam memberikan masukan melalui keterlibatan langsung/tidak langsung sehingga UMKM bisa memperlihatkan preferensi produk Bank Syariah yang mereka butuhkan melalui platform digital yang disediakan. Dari proses tersebut, Bank Syariah bisa menggali preferensi yang diinginkan/dimiliki oleh UMKM dari berbagai sektor/subsektor ataupun klaster sebagai bahan untuk mengembangkan inovasi produk Bank Syariah selanjutnya yang dibutuhkan dan diminati ke depan.***
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.