Kabinet Gemuk Nir-Oposisi dan Paradoks Demokrasi
Politik | 2024-11-21 11:42:24Pasca keberhasilannya memenangkan kontestasi Pilpres 2024, Prabowo Subianto akhirnya mencapai puncak kekuasaan yang selama ini ia perjuangkan: kursi presiden Republik Indonesia. Pasca perjalanan politik yang cukup panjang, penuh dinamika dan serba tak terduga, Prabowo kini berada di garis depan dalam membentuk arah politik negara ini untuk lima tahun ke depan.
Namun, sebelum kita terbuai dengan euforia menyambut kepemimpinan baru, publik harus bertanya, akan dibawa kemana Indonesia pasca Prabowo Subianto dilantik? Apa dampaknya bagi demokrasi yang sudah rakyat perjuangkan sejak Reformasi 1998?
Berkaca pada rezim sebelumnya, bagaimana kedudukan oposisi yang semakin kabur dalam peta politik yang semakin dikuasai oleh blok koalisi pemerintah? Sejumlah pertanyaan itu semestinya harus terus-menerus digemakan, bahkan jauh lebih keras, setelah Prabowo resmi dilantik.
Desain Kabinet Gemuk: Strategi Efektif atau Pragmatisme Politik?
Salah satu isu utama yang langsung mencuat begitu Prabowo dilantik adalah keputusan mengenai pembentukan kabinet. Seperti yang diprediksi banyak kalangan, kabinet yang terbentuk tidak hanya besar, tetapi juga gemuk.
Banyak pihak menilai ini sebagai upaya Prabowo untuk meredam potensi gangguan dari berbagai pihak dengan mengakomodasi sebanyak mungkin kepentingan politik dalam pemerintahan. Namun, kita harus bertanya apakah kabinet gemuk ini benar-benar berfungsi sebagai mesin birokrasi yang efisien atau justru menjadi beban dalam melaksanakan pemerintahan?
Kabinet Merah Putih di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran resmi menjadi kabinet dengan jumlah kementerian terbesar sejak tahun 1966, dengan total 48 kementerian. Kabinet ini terdiri dari 6 kementerian koordinator dan 42 kementerian teknis. Dari enam kementerian koordinator, dua di antaranya merupakan nomenklatur baru. Sementara itu, setengah dari 42 kementerian teknis juga menggunakan nomenklatur baru.
Selain itu, pemerintahan Prabowo-Gibran turut membentuk sejumlah badan dan mengangkat kepala badan yang secara struktural berada di luar kabinet, namun jabatan mereka setara dengan menteri. Tak ketinggalan, sejumlah posisi lain seperti utusan khusus presiden, staf khusus presiden, dan wakil presiden juga menjadi bagian dari struktur baru ini.
Sejak awal, kabinet yang besar ini mendapat banyak kritik, terutama terkait dengan potensi beban terhadap anggaran negara. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah pejabat dan pimpinan di tingkat kementerian, serta fasilitas-fasilitas yang harus disediakan untuk mereka.
Melihat banyaknya menteri yang berasal dari partai politik dan kelompok relawan yang mendukung selama pemilu, sulit untuk menyangkal pandangan publik bahwa kabinet yang gemuk ini lebih bertujuan untuk pembagian kekuasaan di antara koalisi.
Kekhawatiran lainnya pun muncul, yakni bahwa mekanisme check and balance terhadap kekuasaan akan semakin lemah dalam lima tahun ke depan. Pemerintahan yang dibangun dengan banyaknya posisi strategis yang didistribusikan kepada para elit para politik memang berpotensi mengarah pada penguatan kekuasaan di tangan eksekutif.
Dalam rekam sejarah Indonesia, kita kerap menyaksikan fenomena semacam ini sebagai bagian dari konsolidasi politik, di mana para pemimpin merasa perlu untuk “menenangkan” berbagai pihak yang mempunyai pengaruh di parlemen dan masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain, apakah ini tidak menandakan bahwa Indonesia kembali terjebak dalam budaya politik bagi-bagi kekuasaan yang mengorbankan substansi kebijakan?
Krisis Oposisi: Mengapa Peran Pengawasan Terancam Lenyap?
Prabowo, yang dikenal dan dianggap banyak pihak sebagai pemimpin tegas dengan cenderung militeristik, tampaknya sedang mengarahkan Indonesia menuju sebuah pemerintahan yang lebih terpusat.
Dengan kontrol penuh atas kabinet dan semakin dominan peran eksekutif, Indonesia bisa saja terperangkap dalam kooptasi sentralisme kekuasaan. Sebuah negara yang hanya mengandalkan kekuatan pusat dan mengesampingkan peran sejumlah lembaga negara lain, terutama legislatif dan yudikatif, dapat dengan mudah bergerak menuju perangkap otoritarianisme.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah krisis peran oposisi dalam pemerintah yang semakin dominan saat ini. Bagaimanapun, dalam demokrasi yang sehat, eksistensi oposisi seharusnya menjadi kekuatan penyeimbang yang memproteksi agar kekuasaan eksekutif tidak bertransformasi menjadi tirani.
Keberadaan oposisi dalam ekosistem demokrasi mempunyai fungsi strategis sebagai kontrol terhadap cara kerja kekuasaan dan memberikan ruang alternatif kebijakan yang dapat mengakomodasi kepentingan rakyat banyak. Namun, saat ini, oposisi di Indonesia tidak lebih dari sekadar figur formal yang kehilangan relevansi politik.
Di satu sisi, kita dapat memahami bahwa partai oposisi kerap terpaksa kompromis dengan pemerintah demi mendapatkan jatah “kue” kekuasaan di pemerintahan. Namun, pada akhirnya, ini justru mengurangi daya kritis mereka terhadap kebijakan yang dijalankan pemerintah.
Oposisi yang semestinya memainkan peran signifikan terhadap pengawasan dan memberikan kritik atau ketidaksepakatan, kini justru banyak terlibat dalam “permainan” politik yang mengarah pada praktik pragmatisme tanpa ideologi dan prinsip yang jelas.
Jika tren ini berlanjut, kita harus khawatir terhadap masa depan demokrasi Indonesia. Demokrasi yang sehat tidak hanya soal menyelenggarakan pemilu yang bebas dan adil, tetapi juga penguatan lembaga negara yang dapat saling mengawasi dan menjaga keseimbangan iklim kekuasaan.
Demokrasi hanya dapat bertahan apabila terdapat keseimbangan antara lembaga trias politica. Jika salah satu cabang kekuasaan melemah, maka demokrasi akan menghadapi badai ancaman serius.
Kehilangan peran oposisi dalam sistem politik kita hari ini bukan hanya problem teknis atau kekosongan politik. Ini adalah masalah fundamental bagi kelangsungan hidup demokrasi itu sendiri. Tanpa keterlibatan oposisi yang kuat dan efektif, pemerintahan dapat bergerak lebih bebas tanpa pengawasan yang memadai, yang pada gilirannya dapat mengarah pada potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Prabowo dan kabinetnya harus menyadari bahwa demokrasi tidak hanya soal dominasi politik atau penguatan kekuasaan tetapi juga tentang memberikan ruang bagi perbedaan suara dan ketidaksepakatan baik terhadap segala bentuk narasi maupun kebijakan yang diambil.
Prabowo, sebagai presiden, mempunyai kesempatan besar untuk membentuk arah Indonesia ke depan. Tetapi, jika ia mengabaikan peran oposisi, dan jika kabinet di-desain segemuk mungkin, maka kondisi tersebut dapat berpotensi mengarahkan watak kekuasaan menjadi otoriter.
Hematnya, demokrasi yang sehat memerlukan keseimbangan yang tepat antara pemerintah yang bersih dan oposisi yang kritis. Tanpa oposisi yang berfungsi efektif, tanpa lembaga pengawasan yang tepat, pemerintahan yang sangat mendominasi akan merusak nilai demokrasi yang telah diperjuangkan.
Indonesia harus berkaca dari sejarahnya dan memastikan bahwa kekuasaan tidak terpusat pada satu titik saja. Masa depan demokrasi yang telah ditata sedemikian rupa tergantung pada sejauh mana kita dapat menjaga keseimbangan ini—jika tidak, kita mungkin akan terperosok ke dalam jurang sejarah kelam yang telah lama kita coba hindari.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.