Joint Statement RI-China: Ancaman bagi Kedaulatan Maritim dan Hubungan ASEAN
Hukum | 2024-11-20 20:23:29Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, bersama Presiden China, Xi Jinping, menandatangani Joint Statement di Beijing pada 9 November 2024. Pernyataan bersama tersebut mencakup 14 poin yang membahas berbagai bidang kerja sama. Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah poin kesembilan, yang membahas isu maritim dan memicu perdebatan di antara berbagai pihak. Poin kesembilan menyatakan
“The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims...”.
Poin ini membahas mengenai klaim kemaritiman yang tumpang tindih, yang menimbulkan banyak pertanyaan dari berbagai pihak terkait makna dari istilah tersebut dalam Joint Statement. Ada dugaan bahwa klaim ini berkaitan dengan Laut China Selatan yang sering dikedepankan oleh China dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara. Jika benar demikian, maka Joint Statement ini berpotensi melanggar berbagai aturan kemaritiman, termasuk Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS 1982), yang semestinya menjadi pedoman utama dalam pengelolaan wilayah laut internasional. Karena klaim sepihak China atas Laut China Selatan hanya didasarkan pada sejarah yang mereka yakini, tanpa dasar hukum yang valid. Bahkan, jika dilihat dari segi jarak, Laut China Selatan berada lebih dari 200 mil laut dari wilayah China. Selain itu, UNCLOS 1982 tidak mengakui klaim wilayah berdasarkan sejarah, melainkan hanya mengatur batas-batas laut negara seperti Zona Teritorial, Zona Tambahan, dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Poin sembilan dalam Joint Statement ini pun menimbulkan pertanyaan dari berbagai negara di dunia terutama negara-negara di Asia Tenggara. Seperti yang diketahui bahwa Negara China hingga saat ini masih memiliki konflik dengan negara Asia Tenggara atas klaimnya terhadap Laut China Selatan karena berdampak akan kehilangannya laut dari negara ASEAN. Seperti yang terjadi dengan Filipina yang saat ini masih selisih tegang dengan negara China terlebih setelah Presiden Filipina menandatangani Undang-Undang Zona Maritim Filipina. Filipina juga pernah mangajukan keberatan terhadap China mengenai Laut Cina Selatan ke Mahkamah Arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dan pada tanggal 12 Juli 2016, Mahkamah Arbitrase juga telah memutuskan bahwa Laut China Selatan yang diklaim oleh China ini tidak memiliki dasar hukum apapun serta China dianggap telah melanggar hak kedaulatan Filipina serta merusak lingkungan di Laut China Selatan melalui pembangunan pulau-pulau buatan. Namun China hanya mengabaikan begitu saja putusan dari Mahmakah Arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa dan tetap terus meyakini klaim Nine-Dash Line mereka.
Padahal dari sejak awal hingga akhir masa jabatan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia, Indonesia konsisten menolak klaim atas Laut China Selatan. Retno Marsudi saat masih menjabat menjadi Menteri Luar Negeri, pernah menegaskan bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar dalam UNCLOS 1982. Sebagai bentuk penolakan, pada tahun 2017, Indonesia secara resmi mengganti nama wilayah Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara, yang disaksikan oleh Wakil Presiden Boediono.
Dalam hal ini, harus segera ada penjelasan resmi secara langsung yang menjelaskan maksud dari tumpang tindih kemaritiman (overlapping) ini. Walaupun Menteri Luar Negeri sudah memberikan pernyataan bahwa Joint Statement ini tidak berarti bahwa mengakui China atas Laut China Selatan, tapi harus ada langkah nyata yang diberikan oleh Negara Indonesia sebagai penolakan terlebih setelah adanya poin ke sembilan dalam Joint Statement tersebut. Penempatan frasa overlapping ini seperti Indonesia mengamini klaim Nine-Dash Line dan memberikan “kesempatan” kepada China untuk terus mendorong klaim Laut China Selatan itu pada dunia. Frasa tersebut yang akan membuat China merasa berhasil mempengaruhi Indonesia atas usahanya selama ini pengakuan Nine-Dash Line.
Apabila tidak ada penjelasan yang jelas mengenai istilah overlapping claims, hal ini berpotensi merusak reputasi Indonesia di mata negara-negara ASEAN dan melemahkan kepercayaan mereka terhadap Indonesia. Sebagai negara yang memiliki pengaruh besar di ASEAN, Indonesia berisiko memicu konflik regional jika isu ini tidak segera ditangani. Indonesia bahkan bisa dianggap mengkhianati perjuangan kolektif negara-negara ASEAN dalam menentang klaim sepihak China atas Laut China Selatan. Joint Statement ini juga berpotensi memperburuk hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Selain itu, perlu ditinjau kembali pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan Joint Statement ini. Pertimbangan apa yang mendasari dimasukkannya frasa overlapping claims, mengingat dampak besar yang dapat timbul, termasuk dugaan pengakuan terhadap klaim Nine-Dash Line. Penyusunan pernyataan diplomatik seperti ini memerlukan kehati-hatian ekstra untuk menghindari dampak negatif, baik dari segi hukum internasional maupun hubungan antarnegara.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.