Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ana Fras

Kereta Cepat, Utang Lambat

Politik | 2025-10-17 09:31:27
gambar: republikaonline

Negeri ini tampaknya sedang berlari sekencang mungkin dengan beban utang yang menempel di punggungnya. Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung dulu diperkenalkan dengan narasi kemajuan dan efisiensi. Ia disebut simbol transformasi, bukti bahwa Indonesia tidak lagi tertinggal dari bangsa-bangsa maju. Namun kini, di tengah laporan kerugian triliunan rupiah dan ketidakmampuan membayar bunga pinjaman, pertanyaan sederhana muncul dari publik: siapa sebenarnya yang diuntungkan oleh kecepatan ini?

Menurut laporan resmi PT Kereta Api Indonesia, proyek ini menelan biaya 7,27 miliar dolar AS, meningkat jauh dari rencana awal 5,5 miliar dolar. Tambahan pembiayaan itu diikuti kenaikan bunga pinjaman dari Bank of China menjadi 3,4 persen. Setiap tahun, cicilan bunga mencapai sekitar Rp3 triliun. Sepanjang 2024, perusahaan mencatat rugi Rp4,19 triliun dan enam bulan pertama 2025 kerugiannya hampir Rp1,7 triliun. Kini muncul usulan agar cicilan bunga utang dibayar memakai APBN, uang rakyat yang 84 persen berasal dari pajak.

Di sinilah absurditas pembangunan kita terasa paling telanjang. Sebuah proyek yang sejak awal disebut skema bisnis murni kini justru meminta subsidi publik untuk menutup luka kapitalnya. Ia dimulai dengan jargon efisiensi dan ditutup dengan retorika penyelamatan. Kita sedang menyaksikan bagaimana kapitalisme menagih kembali janji-janji yang ia ciptakan sendiri.

Sejak awal, proyek ini lebih beraroma politik daripada logika ekonomi. Jepang sempat menawarkan skema pinjaman jangka 40 tahun dengan bunga 0,1 persen. Namun penawaran itu digugurkan demi menerima proposal China dengan bunga 2 persen dan masa konsesi 50 tahun. Di atas kertas terlihat lebih murah, tapi di lapangan, biaya melonjak, bunga meningkat, dan kontrol atas aset strategis perlahan berpindah arah. Inilah wajah pembangunan modern: negara menjadi penjamin bagi investasi asing, bukan pelindung bagi rakyatnya.

Kita mungkin mengira persoalan ini hanya soal manajemen atau salah hitung. Padahal, ia mencerminkan cara berpikir yang lebih dalam: keyakinan bahwa utang adalah satu-satunya jalan menuju kemajuan. Bahwa pembangunan tanpa pinjaman dianggap mustahil, dan kemerdekaan ekonomi tak lebih dari utopia romantik. Logika seperti ini adalah warisan kolonialisme finansial yang membungkus dirinya dengan bahasa modernisasi.

Dalam Islam, konsep pengelolaan harta publik berdiri di atas prinsip yang jauh lebih sederhana sekaligus lebih tegas. Sumber daya strategis seperti transportasi, tambang, energi, dan infrastruktur vital adalah milik umum. Negara wajib mengelolanya untuk kemaslahatan rakyat, bukan menyerahkannya pada logika pasar. Islam tidak mengenal pembangunan berbasis utang berbunga karena utang semacam itu bukan alat kemajuan, melainkan alat ketergantungan.

Rasulullah melarang individu maupun negara hidup dalam ketergantungan utang karena ia menodai kemandirian dan menjerat kebebasan. Dalam sistem Islam, pembiayaan publik bersumber dari kepemilikan umum dan pendapatan sah negara seperti zakat, kharaj, jizyah, dan hasil pengelolaan sumber daya alam. Negara tidak boleh menggadaikan kedaulatannya dengan bunga, sebab bunga adalah bentuk eksploitasi yang dilembagakan.

Paradigma ini mungkin terdengar utopis bagi dunia modern yang mengukur keberhasilan dari angka pertumbuhan dan pinjaman luar negeri. Namun yang lebih utopis justru keyakinan bahwa sistem berbasis utang akan menyejahterakan rakyat dalam jangka panjang. Faktanya, semakin besar utang, semakin besar pula ketergantungan terhadap kreditor dan semakin kecil ruang rakyat untuk menentukan nasib ekonominya sendiri.

Proyek kereta cepat hanyalah satu contoh dari bagaimana ambisi pembangunan sering kali lebih cepat dari akal sehat fiskal. Kita berlari kencang di rel yang dibangun oleh investor asing, sementara arah dan kecepatannya ditentukan oleh mereka yang memegang tagihan bunga. Di atas setiap kilometer lintasan itu, terhampar ironi: bangsa yang pernah berjuang merebut kedaulatan kini diam-diam menyewakan masa depannya dengan skema pembayaran tahunan.

Negara yang sehat bukanlah negara yang paling cepat membangun, tapi yang paling bijak menakar kemampuan dan tanggung jawabnya. Pembangunan sejati tidak menambah utang, melainkan menambah martabat. Ketika kedaulatan digadaikan atas nama efisiensi, ketika kebijakan fiskal tunduk pada logika kreditor, maka kecepatan hanya menjadi kedok dari kelambatan berpikir.

Barangkali kita memang sedang berlari, tapi entah ke mana. Dan setiap kilometer yang ditempuh dengan utang, sesungguhnya menjauhkan kita dari kemerdekaan yang sejati.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image