Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anastasia Ivannia

Menjadi Nutrisionis Era Modern

Edukasi | 2024-11-14 16:01:54

Obsesi terhadap kesehatan meningkat pesat di masyarakat akhir-akhir ini. Melihat hal ini, asumsi nutrisionis sebagai suatu pekerjaan yang dihargai dengan karir yang menjanjikan pun ikut melesat. Tetapi, kenyataan di lapangan berkata lain. Nutrisionis masa kini menghadapi permasalahan kompleks mengenai misinformasi, perkembangan tren diet tanpa henti, dan permintaan beragam dari masyarakat.
Misinformasi nutrisi terjadi di berbagai sosial media. Berbagai sosial media kini dipenuhi oleh "wellness influencer" tanpa sertifikasi jelas yang membagikan berbagai bentuk diet, detox, atau saran-saran kesehatan yang 'ajaib'. Studi oleh Journal of Medical Internet Research tahun 2020 melaporkan hampir 40% informasi kesehatan yang dibagikan di sosial media tidak berlatarbelakang ilmiah. Dampaknya serius karena menyebabkan risiko kesehatan bagi publik seperti, praktik diet berbahaya, larangan yang tidak perlu, dan normalisasi terhadap pola makan tidak sehat. Nutrisionis yang sudah menempuh pendidikan dan pelatihan untuk memberikan rekomendasi diet sesuai keadaan klien seringkali bertarung dengan influencer populer namun menyesatkan yang menarik hati publik.
Masalah lain ialah meningkatnya masalah kesehatan karena kebiasaan makan yang kurang baik. Obesitas, penyakit jantung, dan diabetes tipe dua masih menjadi momok masalah kesehatan di Indonesia bahkan dunia. Peran nutrisionis sangat penting dalam mengontrol dan mencegah semakin buruknya kondisi ini. The Centers for Disease Control and Prevention melaporkan lebih dari 40% orang dewasa di Amerika terklasifikasi obesitas. Karenanya, nutritionis seringkali dituntut untuk juga mengintervensi perilaku dan memotivasi klien agar tetap mengikuti rekomendasi gaya hidup dan pola makan sehat. Selain itu, nutrisionis masih harus berjuang dalam mendorong pendekatan preventif atau pencegahan penyakit. Banyak sistem kesehatan yang memprioritaskan pengobatan dibandingkan pencegahan karena aspek finansial. Hal ini menyebabkan intervensi nutrisi tidak mendapat pendanaan yang cukup. Tantangannya kemudian adalah untuk menegaskan keuntungan finansial jangka panjang dari edukasi dan intervensi mengenai gizi baik, yang dapat mencegah atau mengontrol penyakit kronis dan menurunkan biaya kesehatan masa depan.
Sensitivitas kultur dan keragaman kebutuhan nutrisi juga salah satu permasalahan nutrisionis. Nutrisionis harus membiasakan diri bekerja dengan masyarakat berlatarbelakang berbeda-beda, masing-masing dengan praktik diet, kepercayaan, dan aksesibilitas pangan yang berbeda. Komoditas pangan suatu daerah berakar kuat pada kultur dan praktik keagamaan yang dilakukan masyarakat setempat. Rekomendasi pola makan yang gagal memasukkan faktor ini akan gagal diimplementasikan pada klien. Contohnya, klien dengan kepercayaan tertentu atau makanan tradisional khusus yang disarankan untuk mengubah pola makannya tanpa mengakomodasi kepentingan tersebut akan menyebabkan klien enggan melaksanakan perubahan itu. Aksesibilitas dan faktor sosioekonomi juga berperan besar dalam pemilihan makanan. Masyarakat berpendapatan rendah mempunyai akses terbatas, bahkan tidak ada, ke makanan segar dan makanan bernutrisi lain. Maka dari itu, tantangan tambahan yang harus diatasi adalah mencari jalan keluar menghadapi kekurangan dan bekerja dalam keterbatasan untuk memberikan rekomendasi yang realistis.
Ilmu gizi berkembang cepat dan mengikuti perkembangan temuan dapat menjadi suatu kesulitan, bahkan untuk seorang ahli. Studi terbaru tentang peran genetik terhadap pilihan diet dan inovasi mutrisi berdasarkan tumbuhan berkembang setiap harinya. Menerjemahkan temuan menjadi sesuatu yang dapat dilakukan sangat sulit, mengingat setiap klien akan memberi respon berbeda pada setiap saran perubahan pola makan berdasarkan biologis, gaya hidup, dan preferensi pribadi mereka. Tidak ada sepatu yang cocok untuk semua kaki, begitu pula nutrisionis harus mengerahkan kemampuannya sebaik mungkin agar rekomendasi diet sesuai dengan kebutuhan tiap klien. Meningkatnya permintaan klien untuk mendapat layanan personal menyebabkan nutrisionis harus menghadapi hambatan logistik dan finansial untuk mengakses pelatihan tingkat tinggi dan sarana yang dapat mempermudah mereka memberikan layanan tersebut.
Selain yang sudah disebutkan, kesehatan mental juga termasuk faktor yang mempengaruhi gizi. Banyak nutrisionis menyadari stres, rasa cemas, dan isu kesehatan mental lain berefek pada ketaatan dan kesehatan klien secara keseluruhan. Hubungan antara pola makan dan kesehatan mental bekerja dua arah; pola makan buruk memperburuk kesehatan mental sementara stres dan masalah mental lain memengaruhi kebiasaan makan. Studi yang diterbitkan dalam The American Journal of Clinical Nutrition melaporkan, seseorang yang mengalami level stres tinggi lebih rentan mengonsumsi makanan tinggi kalori dan rendah nutrisi untuk menenangkan diri. Nutrisionis perlu bekerja sama dengan ahli kesehatan mental untuk membantu klien mengatasi hambatan emosional ini . Mengenali kebutuhan ini tanpa melewati batasan praktik sebagai nutrisionis jadi tantangan karena nutrisionis tidak memiliki sertifikasi tersebut.
Dengan banyaknya tantangan, nutrisionis penting untuk kemajuan kesehatan masyarakat. Perannya tidak terbatas pada layanan personal tetapi juga mengedukasi, mengadvokasi, dan mengarahkan masyarakat menuju gaya hidup lebih sehat. Nutrisionis yang mumpuni, mampu beradaptasi, dan paham kultur semakin dibutuhkan mengingat dunia modern sekarang penuh manusia dengan gaya hidup tidak sehat. Mengatasi masalah-masalah ini tentu juga membutuhkan perubahan sistemik dalam dunia kesehatan dan komitmen dalam memajukan sains dan pemahaman publik mengenai gizi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image