Hijab dan Muslimah Uighur: Identitas dan Perjuangan Bagian 1
Agama | 2024-11-13 18:45:30Sekalipun menimbulkan perdebatan baik di kalangan Muslim maupun non Muslim, hijab atau kerudung tetap merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Secara umum kaum muslimin melihat hijab sebagai bentuk kesalehan dan identitas, sementara beberapa pihak dari kalangan non-Muslim melihatnya sebagai bentuk keterbelakangan dan pemaksaan terhadap Perempuan. Di berbagai belahan dunia Islam, hijab, selain menjadi bagian dari identitas juga menjadi objek politik. Hal ini menjadikan hijab dapat dikatakan sebagai secarik kain yang paling dipolitisasi di dunia.
Sebagian bagian dari komunitas umat Islam di dunia, bangsa Uighur juga memiliki cerita tersendiri tentang hijab. Melalui perjalanan Sejarah yang amat Panjang, hijab bagi para Muslimah Uighur bukan hanya sekedar bentuk komitmen agama mereka, tetapi juga telah menjadi identitas dan saat ini telah menjadi simbol perlawanan atas penjajahan dan upaya genosida Rezim Tiongkok.
Berikut adalah dinamika hijab dalam masyarakat Uighur sebagaimana riset Grose dan Leibold (2016) dalam artikelnya Islamic Veiling in Xinjiang: The Political and Societal Struggle to define Uyghur Female Adornment, Wanita Uighur ternyata telah mengenakan kerudung jauh sebelum Islam diperkenalkan ke kawasan Tarim Basin. Namun, penggunaan kerudung kemungkinan semakin populer ketika Islam berkembang di kawasan ini dari abad ke-10 hingga abad ke-16 Masehi. Pada periode itu memang belum ditemukan catatan bagaimana standar berhijab Muslimah Uighur. Ketika Yaqub Beg mengambil alih wilayah Uighur dari dinasti Qing pada tahun 1867, standarisasi cara berhijab berdasarkan syariat Islam diterapkan. Penguasa berusaha menerapkan hukum Islam secara ketat termasuk mengharuskan perempuan muslim untuk menutup kepala dan wajah (mengenakan semacam burqa). Menurut artikel ini, ada beberapa laporan yang mengatakan bahwa polisi syariah pada masa itu akan mencambuk Perempuan yang menampakan diri di muka umum tanpa mengenakan hijab.
Pada abad ke-19, tidak ada standar umum tata cara berhijab bagi di Uighur. Bahkan, praktik berhijab mulai berubah seiring dengan trend intelektual dan budaya di dunia Islam dan Masyarakat lokal. Pengenalan sekolah modern yang menggabungkan pembelajaran ilmu agama dan ilmu pengetahuan yang juga menerima pelajar Perempuan, membawa pengaruh terhadap kelonggaran cara berpakaian bagi muslimah termasuk cara berhijab. Sekolah-sekolah Islam modern ini juga ikut berperan untuk menghapus pernikahan anak, poligami, dan pemaksaan hijab.
Sampai sebelum tahun 1949, gaya berhijab di kalangan muslimah Uighur masih beragam berdasarkan preferensi tempatan dan status sosial-ekonomi. Penggunaan kerudung yang ketat sering kali menjadi ciri khas perempuan perkotaan yang berasal dari kalangan berada, yang tidak diharapkan untuk terlibat dalam pekerjaan manual. Gadis-gadis yang tinggal di kota biasanya mulai menutupi kepala mereka sekitar usia 12 tahun dan akan mengenakan pakaian yang lebih tertutup setelah menikah. Seperti halnya paranji (päränjä) dari Asia Tengah—sebuah pakaian yang terdiri dari jubah panjang dan kerudung berat dari rambut kuda—busana Islam di Altishahr sering kali menutupi perempuan dari kepala hingga kaki,
Sementara perempuan di Kashgar dan Yarkand kadang-kadang membiarkan wajah mereka terbuka. Para pelancong yang tiba di wilayah ini dari komunitas Muslim yang lebih konservatif merasa terkejut melihat perempuan yang tidak bercadar berbaur bebas dengan laki-laki di pasar dan berpartisipasi dalam kegiatan perdagangan. Perempuan di desa-desa terpencil, serta perempuan yang tinggal di kawasan perkotaan dari keluarga kelas menengah ke bawah, juga jarang menutupi wajah mereka dengan cadar, meskipun mereka sering menutupi kepala dan wajah ketika mengunjungi tempat-tempat suci, serta saat bertemu dengan pria berstatus sosial tinggi.
Pada dekade-dekade awal kekuasaan Tiongkok di Xinjiang, rezim komunis sudah memandang hukum Islam sebagai aturan yang melanggar hak-hak asasi perempuan. Mereka menyebut syariat islam telah mengurung para perempuan dan memaksa mereka untuk menutup kepala dan wajah. Menurut rezim, pemerintah komunis Tiongkok yang memiliki semangat kesetaraan sosial juga ingin membebaskan perempuan Uighur dari pemaksaan berhijab. Pada saat keinginan itu dituangkan dalam bentuk kebijakan, perempuan Uighur tidak serta merta melepas hijab mereka secara masal. Rezim Tiongkok pun mengadopsi pendekatan hati-hati terhadap Islam di Xinjiang dan orangt-orang etnis Han yang dikader dan dikirim ke wilayah Uighur diminta untuk tetap menghormati adat istiadat Uighur.
Pada perkembangannya, entah dipaksa atau tidak, gaya kecantikan perempuan Uighur mulai berubah di selama awal-awal aneksasi Tiongkok seiring dengan meluasnya paham komunis di Asia Tengah dan gaya berpakaian dari Moskow dan Beijing. Banyak perempuan muda Uighur lebih memilih mengikuti gaya orang Rusia dengan mengenakan gaun longgar berpotongan satu (Bragi) yang biasanya dipadukan dengan topi doppa dari pada memakai kerudung. Sementara yang lain mengadopsi seragam dan topi bergaya militer yang muncul sebagai simbol yang populer dalam revolusi di Tiongkok. Namun, ada juga bukti bahwa beberapa perempuan Uighur (terutama yang lebih tua dan dari pedesaan) tetap menggunakan selendang tipis sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an.
Pemakaian penutup kepala tradisional Uighur mendapat serangan keras selama dekade Revolusi Kebudayaan (1966–1976). Saat itu seluruh praktik keagamaan dan kebudayaan etnis minoritas di Tiongkok dikritik habis-habisan. Dalam memoarnya, The Battle of Qara Jul Village, penulis Uighur Abdurräshid Haji Kerimi menyatakan bahwa budaya Uighur, khususnya dalam hal pakaian, ditargetkan sebagai perwujudan dari “empat yang lama” (four olds) yang harus dihapus.
Pengaruh Revolusi Kebudayaan terhadap praktik berkerudung tampaknya memiliki dampak yang bertahan lama. Sebuah dokumen internal yang beredar di dalam pemerintah kota Turpan pada akhir 1980-an mengungkapkan bahwa perempuan setempat umumnya mengenakan topi (bük) dan blus panjang (künäk) serta menyimpan hiasan rambut dengan selendang berwarna cerah (yaghliq) hanya untuk acara-acara khusus. Selama penelitian lapangan pada pertengahan 1980-an dan pada pertengahan 1990-an, Rudelson (1998) mengamati bahwa praktik berkerudung hanya ditemukan di wilayah selatan Xinjiang, khususnya di Kashgar, sementara perempuan di Yining (atau Ghulja dalam bahasa Uighur) telah sepenuhnya meninggalkan praktik tersebut.
Setelah arah kebijakan politik nasional Tiongkok beralih dari kebijakan asimilasi ke pendekatan yang lebih akomodatif dalam menangani kelompok etnis minoritas pada 1980-an dan 1990-an, beberapa orang Uighur kembali menjalankan ajaran Islam dan kebudayaan yang dipersekusi selama Revolusi Kebudayaan. Pada 1990-an, lonjakan besar jumlah jamaah masjid di Urumqi mendorong pembangunan masjid baru dan perluasan masjid yang sudah ada. Jauh berbeda dengan Xinjiang pada 1970-an, sebagian besar pria Uighur kini kembali melaksanakan salat Jumat, melaksanakan shalat setidaknya sekali sehari, dan berpuasa selama Ramadan sebagai persyaratan minimal untuk menjadi seorang Muslim yang "benar," sementara banyak anggota elit Uighur kini memiliki akses ke tren budaya dan keagamaan dunia Islam yang lebih luas melalui internet serta kesempatan berdagang ata traveling.
Berkerudung juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari tren ini di Xinjiang. Revitalisasi praktik ini terutama terlihat di kalangan perempuan muda di Xinjiang selatan dan di distrik Erdaoqiao, Urumqi. Pada dekade ini juga terlihat peningkatan yang signifikan dalam jumlah jenis kerudung, hijab, dan pakaian di kalangan muslimah Uighur. Di Xinjiang, seperti halnya di tempat lain, jenis kerudung sangat beragam, begitu pula alasan di balik praktik berkerudung. Praktik berkerudung saat ini berbeda-beda menurut wilayah dan generasi, dan dipengaruhi oleh tradisi lokal serta tren mode global. Sebagian besar pejabat Han dan beberapa orang Uighur mencampuradukkan gaya-gaya ini, yang menyebabkan rezim komunis kebingungan tentang jenis pakaian mana saja yang harus dilarang.
Bersambung ke bagian 2...
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.