Tugu Pahlawan: Ikon Kota yang Kesepian (Catatan atas Hari Pahlawan 10 November)
Sejarah | 2024-11-10 09:37:26NAMA TOKOH
TUGU PAHLAWAN: IKON KOTA YANG KESEPIAN
(Catatan atas Hari Pahlawan 10 November)
Sarkawi B. Husain
Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati sebuah hari yang sangat bersejarah, yakni Hari Pahlawan. Sebagai simbol betapa pentingnya hari bersejarah tersebut, sebuah tugu yang diberi nama Tugu Pahlawan pun didirikan. Tugu tersebut adalah tugu pertama yang didirikan pasca proklamasi dan menempati bekas areal gedung raad van justisie (zaman Belanda) atau bekas gedung kempetai (zaman Jepang). Tulisan ini adalah deskripsi singkat bagaimana tugu tersebut didirikan dan bagaimana kita memperlakukannya agar tidak menjadi bangunan yang tidak memiliki arti apa-apa.
Ide Pendirian
Pendirian tugu ini digagas oleh Doel Arnowo (1950-1952), walikota pertama sesaat setelah penyerahan kedaulatan. Untuk menindaklanjuti gagasan ini, maka pada tahun 1951 dibentuklah sebuah panitia untuk pendirian tugu. Semula panitia pendirian tugu ini diketuai oleh Doel Arnowo.. Pada tahun 1952, jabatan beliau sebagai walikota diganti oleh R. Moestadjab Soemowidigdo. Dengan demikian, ketua panitia pendirian tugu ini diserahkan kepada walikota yang baru dengan susunan sebagai berikut: 1) R. Moestadjab Soemowidigdo sebagai ketua, 2) Ir. Tan Giok Tjauw (Ir. Ibrahim Sucahyo), Kepala Pekerjaan Umum Kota Besar Surabaya sebagai Manejer Proyek (direksi), 3) Soebangun, Kepala Pekerjaan Baru Kota Besar Surabaya sebagai wakil manajer proyek, 4) Ir. Abdul Kadir, Kepala Djawatan Kereta Api Wilayah Timur sebagai anggota, 5) Soemarsono, Kepala Djawatan Pelabuhan sebagai anggota, dan 6) Soeratmoko, kepala Djawatan Gedung-gedung sebagai anggota (Arsip Kota Surabaya, box 225, no. 4137).
Pada tanggal 1 Nopember 1951, gambar-gambar rancangan tugu mulai dipersiapkan oleh para staf ahli dari Kota Besar Surabaya. Gambar yang telah disetujui oleh para panitia berupa Tugu Pahlawan yang tingginya hanya 30 meter, dengan di atasnya terpasang tiang bendera setinggi 15 meter dalam dasar segi delapan. Dari rancangan ini segera dapat ditangkap maknanya, bahwa tinggi tugu ditambah dengan tinggi tiang bendera adalah simbol dari tahun kemerdekaan, sedangkan dasar segi delapan menandakan bulan Agustus.
Pada tanggal 10 November 1951, Presiden Soekarno melakukan peletakan batu pertama disertai permintaan agar dibuatkan beberapa gambar rencana tugu dan segera dikirim ke Jakarta. Gambar-gambar yang dikirim oleh tim dari Kota Surabaya tampaknya tidak berkenan di hati Bung Karno. Sebaliknya, beliau memutuskan sendiri bentuk tugu tersebut, yakni seperti “paku dudur” yang dibalik kepalanya dan mempunyai tinggi 45 meter (Java Post, 8 Maret 1952).. Selanjutnya, beliau meminta agar gambar perencanaan tugu tersebut dilakukan oleh Soeratmoko (Kepala Djawatan Gedung-gedung Surabaya yang merupakan salah seorang anggota panitia). Hal ini dilakukan mengingat waktu yang sangat mendesak (tinggal 2,5 bulan), karena Bung Karno meminta agar pada 10 Nopember 1952 tugu tersebut sudah dapat diresmikan.
Keputusan Soekarno yang menghendaki tugu ini memiliki tinggi 45 meter membuat Ir. Soendjasmono dari NV. Indonesia Engineering Corp (NIVIC) Surabaya sebagai pelaksana mengundurkan diri. Tidak ada keterangan mengapa Soendjasmoro mengundurkan diri, tetapi R. Sarodja (pelaksana berikutnya) menduga hal ini berkaitan dengan penambahan tinggi tugu, sedangkan pondasi sudah terlanjur dibuat sehingga secara teknis beliau tidak bisa menerima atau mempertanggungjawabkan (AKS, box 225, no. 4137). Dengan pekerjaan yang sangat singkat dan tergesa-gesa (hanya 13 bulan sejak peletakan batu pertama), tugu yang diharapkan akan berumur 100 tahun lebih ini, pada tanggal 10 November 1952 jam 10.00 WIB diresmikan oleh Presiden Soekarno.
Tugu ini melambangkan perjuangan “arek-arek Surabaya” dalam pertempuran 10 November 1945. Tinggi tugu 45 yard (41,13 meter) melambangkan tahun 1945; 10 lengkungan (canalures) pada badan tugu melambangkan tanggal 10; dan 11 bagian (geledingen) melambangkan bulan 11 (November). Pada bagian bawah (dinding relief) dihiasi dengan ornamen-ornamen yang berbentuk trisula, cakra, cangka, stambha, dan padma mula. Makna filosofis dari ornamen ini adalah asal mula manusia yang dalam perjuangan timbul kekuatan keberanian berkobar dalam hati nurani membela kepentingan/kemerdekaan sesama manusia yang dalam pewayangan memakai senjata yang ampuh yakni Cakra pusaka Kresna dan Trisula pusaka Arjuna.
Bagaimana membiayai pendirian tugu
Proses pendirian tugu ini menyedot perhatian begitu besar dari pemerintah Kota Surabaya. Singkatnya waktu pendirian yang ditetapkan oleh Presiden Sukarno membuat pemerintah kota menempuh segala upaya untuk mengumpulkan dana. Dalam suratnya kepada Menteri Urusan Sosial, d.p.a. Gubernur Kepala Daerah Propinsi Djawa Timur, walikota (R. Moestadjab) melaporkan bahwa dana yang dibutuhkan untuk pendirian tugu ini yang meliputi pekerjaan pondasi, pekerjaan tugu (menara), termasuk pemasangan tangga-tangga, kolam, dan taman adalah sebanyak Rp 323.100. Padahal, sampai tanggal 2 Agustus 1952 dana yang tersedia baru Rp 160.000 (AKS, box 225, no. 4137). Artinya, tugu ini baru memiliki dana setengah dari anggaran yang ditetapkan.
Tidak pelak lagi, rentang waktu yang tinggal empat bulan (Agustus-November) membuat panitia menempuh berbagai cara untuk mengumpulkan dana. Salah satu cara yang hendak dilakukan adalah memohon izin kepada Menteri Urusan Sosial di Jakarta untuk melakukan undian. Undian direncanakan sebesar Rp 500.000 dengan harga Rp 10,- perlembar. Adapun hadiahnya direncanakan sebesar Rp 250.000. Untuk menarik minat masyarakat membeli kupon undian, panitia menyediakan hadiah-hadiah yang cukup menggiurkan, yakni berupa rumah yang lengkap dengan perabot-perabotnya. Sayang sekali, dengan suratnya tertanggal 22 Djuli 1952 Menteri Sosial tidak dapat mengabulkan permohonan izin undian ini, karena undian yang besarnya lebih dari Rp 50.000 adalah di luar kompetensi kementerian sosial, tetapi kewenangan menteri keuangan. Menyusul penolakan menteri sosial atas permohonan ini, maka pada tanggal 2 Agustus 1952, panitia mengirim surat kepada menteri keuangan agar diberi izin mengadakan undian sebagai undian negara. Besarnya undian dan jumlah hadiah tidak berubah (AKS, box 225, no. 4137). Selain lewat undian, panitia juga mengumpulkan dana dari masyarakat melalui “Dompet Tugu Pahlawan” pada surat kabar yang terbit pada saat itu. Yang juga menarik dalam pengumpulan dana ini adalah kerelaan Dr. Ruslan Abdulgani yang saat itu menjabat sebagai sekjen Kementerian Penerangan untuk menyisihkan sebagian dari gajinya, yakni Rp 75,- bagi kesuksesan pembangunan tugu ini. (Suara Rakjat, 28/4/1952).
Setelah melalui berbagai kendala, baik persoalan finansial, maupun masalah kepanitiaan, akhirnya tugu tersebut diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 10 November 1952. Bagi Soekarno, tugu pahlawan tidaklah sekedar bangunan materil, tetapi dia adalah lambang dari sebuah jiwa besar. Hal ini tampak dari pidatonya ketika meresmikan tugu tersebut.
‘Tugu pahlawan jang gagah perkasa, jang mendjulang langit ini, adalah sebagai lambang pengisi dada pahlawan jang telah gugur pada tudjuh tahun jang lampau. Hendaknja kita jang mengelilingi Tugu inipun akan mengisi dada kita dengan tekad jang sebulat2nja untuk mengisi kemerdekaan kita dan tjita2 kita jang sediakala.
Baiklah rakjat Indonesia mengambil tjontoh djiwa pahlawan jang besar ini. Karena tjita2 mereka jang besar, karena tekad mereka jang sebulat2nja, karena persatuan mereka jang seerat2njalah, maka pada tgl. 10 Nopember 1945 meletuslah di Surabaja suatu peristiwa jang dapat membuktikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa jang berdjiwa besar.
Peristiwa 10 Nopember inilah jang membuktikan kepada seluruh dunia bahwa bangsa Indonesia tidak berdjiwa ketjil seperti jang mereka tahu. Djiwa jang besar jg diiringi oleh tekad jang sebulat2nja dibuktikan oleh pahlawan2 kita kepada dunia’ (Djawa Pos, 11 Nopember 1952).
Bagi Soekarno, mahalnya biaya untuk membangun sebuah monumen tidak ada artinya dibandingkan dengan kebesaran jiwa yang disimbolkan melalui monumen atau tugu tersebut. Hal ini pernah disampaikan Soekarno menanggapi mahalnya biaya untuk pembangunan Monumen Nasional (Monas) di Jakarta, ia berkata:
“Tidak, saudara-saudaraku, kita tidak membangun sebuah Monumen Nasional yang berharga setengah juta dolar hanya untuk membuang uang. Tidak! Kita sedang membuat ini karena kita menyadari bahwa sebuah bangsa yang hebat, jiwanya dan hasratnya adalah kebutuhan yang absolut untuk kehebatannya, harus disimbolkan dengan sebuah benda materiil, sebuah benda yang hebat bahkan, yang kadang akan membuka mata dari bangsa-bangsa lain dengan penuh kekaguman.” (Pidato Kepresidenan, Jakarta 24 Agustus 1961, ANRI, No. 326).
Bertitik tolak dari pandangannya itu, maka pendirian berbagai monumen, tugu, patung ataupun bangunan-bangunan megah lainnya seperti Hotel Indonesia dapat dipahami. Ketika Soekarno tidak lagi menjadi penguasa, pembangunan berbagai simbol masih terus dilakukan oleh penerusnya dengan cara dan bentuk yang berbeda.
Tiga kekuasaan: Tiga simbol
Survei yang dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh pemerintah Kota Surabaya menetapkan lokasi berdirinya tugu pahlawan sebagai kelompok fokus. Artinya, peristiwa-peristiwa yang terjadi di lokasi tersebut sangat penting dan menonjol peranannya dalam peristiwa-peristiwa 10 November 1945.
Ketika zaman Belanda, lokasi tempat berdirinya tugu ini adalah gedung Raad van Justitie, gedung pengadilan bagi orang-orang Eropa. Bagi orang Indonesia ketika itu, Raad van Justitie atau sering disebut juga dengan Istana Pengadilan (Het Paleis van Justitie) adalah simbol ketidakadilan dan penderitaan rakyat. Salah satu contoh ketidakadilan itu kata Doel Arnowo, terjadi ketika mengadili seorang administratur Belanda dari suatu onderneming di Sumber Bokong di Klakah, karena memperkosa wanita-wanita Indonesia yang ada di onderneming tersebut hanya dihukum enam bulan (Barwogo, 1974).
Pada masa Jepang, gedung ini dijadikan markas kempetai dan sebagai tempat tawanan. Doel Arnowo bersama-sama tawanan K.L, KNIL dan dari Gerindo (Sikayat, Abdul Rakhim, Pamudji, Kusnan, dan Tjugito, dan lain-lain) pernah menikmati ditawan di gedung ini selama 41 hari. Ketika berlangsung Perang Revolusi 1945, gedung kempetai menjadi salah satu sasaran gempuran pasukan Indonesia. Setelah terdesak dengan kepungan dan bombardir dari pasukan arek-arek Surabaya selama ± 5 jam, Jepang akhirnya menyerah dan gedung kempetai yang sudah menjadi puing-puing diserahkan pada pemerintah daerah Surabaya (Soewito, 1994: 16-17). Gedung yang telah berhasil direbut arek-arek Surabaya dengan tumpahan darah itu pada pertempuran dengan tentara Inggris, empat bulan kemudian (November) mendapat serangan berat, dihantam dengan mortir dan kanon laut, sehingga rusak sama sekali (Gapura (5) 1975: 5-7).
Selain tugu pahlawan, terdapat puluhan tugu dan patung yang dibangun di atas kawasan yang menjadi titik-titik pertempuran arek-arek Suroboyo melawan penjajah. Tugu dan patung yang umumnya dibangun pada tahun 1970-an ini antara lain: Patung Panglima Besar Jenderal Sudirman di Jalan Yos Sudarso, Patung Karapan Sapi di Jalan Urip Sumohardjo, Patung setengah badan Dr. Soetomo di depan Gedung Nasional Indonesia (GNI) Jalan Bubutan, Patung Bahari di depan bekas Museum Mpu Tantular, Patung Perjuangan di Aloon-aloon Contong, Patung Perjuangan di depan Bioskop REX (RIA), dan lain-lain.
Semua monumen, patung, dan tugu yang dibangun, baik oleh pemerintah kolonial maupun oleh pemerintah Kota Surabaya memiliki makna dan simbol-simbol tertentu. Selain itu, kita dapat menyaksikan bentuknya yang besar dan mencolok mata. Hanya saja menyaksikan monumen, patung, dan tugu perjuangan saat ini sungguh menyisakan sebuah ironi. Banyak dari patung dan monumen itu dibiarkan tidak terawat dan justru menjadi, maaf, tempat buang air kecil para tukang becak dan sopir-sopir angkutan kota. Monumen pejuang di depan Jl. Kombes Duryat misalnya, justru menjadi pangkalan para tukang becak. Kondisi beberapa monumen, patung dan tugu di atas tentu sangat memprihatinkan. Kalau pemerintah kota tidak memberi perhatian atas keberadaan simbol-simbol kota ini maka sebentar lagi semua simbol itu termasuk tugu pahlawan akan menjadi ikon kota yang kesepian@.
Surabaya, 10 November 2024
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.