Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Senyum di Balik Kacamata

Sastra | 2024-11-06 20:29:52
Dokumen hallo sehat



Setiap pagi, rutinitas yang sama selalu kulakukan. Berdiri di depan cermin, menatap pantulan diriku dengan kacamata tebal yang bertengger di hidungku. Kadang aku berpikir, mengapa aku tidak bisa seperti teman-temanku yang lain? Mereka cantik, populer, dan tidak perlu menggunakan kacamata setebal botol susu seperti milikku.

"Lina, cepat turun! Nanti kamu terlambat ke sekolah!" Suara Ibu menggema dari lantai bawah.
Aku menghela napas panjang, merapikan seragam sekolahku sekali lagi, dan bergegas turun. Di meja makan, Ibu sudah menyiapkan sarapan favoritku: nasi goreng dengan telur mata sapi.

"Ibu lihat kamu semakin cantik setiap hari," ujar Ibu sambil tersenyum.
Aku hanya tersenyum tipis. Ibu selalu mengatakan hal yang sama setiap pagi, tapi aku tahu dia hanya berusaha menghiburku. Bagaimana bisa aku cantik dengan kacamata setebal ini?

Di sekolah, seperti biasa, aku duduk di pojok kelas. Bukan karena aku tidak suka bergaul, tapi karena di sini aku merasa aman. Tidak ada yang memperhatikan, tidak ada yang berkomentar tentang penampilanku. "Eh, lihat si kutu buku!" Suara cemoohan terdengar dari belakang. Itu pasti Dina dan gengnya, kelompok siswi populer yang selalu mencari cara untuk membuatku merasa tidak nyaman.

Aku menunduk, pura-pura sibuk membaca buku pelajaran. Namun, hari ini ada yang berbeda. Seorang siswa baru masuk ke kelas kami. Namanya Rafi.
"Silakan duduk di sebelah Lina," ujar Bu Guru.

Jantungku berdegup kencang ketika Rafi berjalan ke arahku. Dia tersenyum ramah, dan yang membuatku terkejut, dia juga mengenakan kacamata, meski tidak setebal milikku. "Hai, aku Rafi," sapanya sambil mengulurkan tangan.
"L-Lina," jawabku gugup.

Hari-hari berikutnya, Rafi ternyata adalah teman sebangku yang menyenangkan. Dia pintar, ramah, dan yang paling penting, dia tidak pernah memandangku sebelah mata karena penampilanku. "Kamu tahu tidak, Lina? Kacamatamu itu justru membuatmu terlihat unik," kata Rafi suatu hari.
"Unik? Maksudmu aneh?" tanyaku skeptis.

"Bukan, tapi special. Seperti superhero yang menyembunyikan identitas aslinya di balik kacamata," jawabnya sambil tertawa.
Perlahan-lahan, Rafi mengajarkanku untuk melihat diriku dari sudut pandang yang berbeda. Dia menunjukkan bahwa kacamata bukanlah sesuatu yang harus kumalukan, melainkan bagian dari diriku yang membuatku istimewa.

Suatu hari, sekolah kami mengadakan lomba pidato. Awalnya aku ragu untuk ikut, takut menjadi bahan tertawaan. Tapi Rafi terus mendorongku.
"Kamu punya pemikiran yang brilliant, Lina. Sayang kalau tidak dibagikan ke orang lain hanya karena takut dengan pandangan mereka," ujarnya meyakinkan.
Dengan tekad yang kukumpulkan, akhirnya aku memberanikan diri untuk mendaftar. Selama berminggu-minggu, aku berlatih keras. Rafi selalu ada di sampingku, memberikan dukungan dan masukan.

Hari kompetisi pun tiba. Dengan gugup, aku berdiri di podium. Lampu sorot menyilaukan mataku, tapi aku bisa melihat Rafi di antara penonton, memberikan senyuman penyemangat. "Selamat siang," aku memulai pidatoku. "Hari ini saya ingin berbicara tentang keberanian untuk menjadi diri sendiri..."
Pidatoku mengalir lancar. Aku berbicara tentang pengalamanku sendiri, tentang bagaimana aku belajar untuk mencintai diriku apa adanya. Tentang bagaimana setiap orang memiliki keunikannya masing-masing yang patut dibanggakan.

Di luar dugaan, pidatoku mendapat sambutan meriah. Bahkan Dina, yang selama ini selalu mengejekku, memberikan tepuk tangan yang tulus.
"Juara pertama lomba pidato tahun ini... Lina Kusuma!"

Air mata bahagia mengalir di pipiku. Ini bukan hanya tentang memenangkan lomba, tapi tentang kemenangan atas rasa tidak percaya diriku selama ini.
"Tuh kan, apa kubilang," kata Rafi sambil memelukku setelah acara. "Kamu itu special, Lina. Kacamatamu, kepintaranmu, semuanya adalah bagian dari dirimu yang membuatmu istimewa."

Sejak hari itu, aku mulai melihat diriku dengan cara yang berbeda. Kacamata tebalku bukan lagi sumber rasa malu, melainkan simbol kebijaksanaan dan kekuatanku. Aku belajar bahwa yang terpenting bukanlah bagaimana orang lain melihatku, tapi bagaimana aku melihat dan menghargai diriku sendiri.

Sekarang, setiap pagi ketika aku berdiri di depan cermin, aku tidak lagi melihat gadis berkacamata yang tidak percaya diri. Yang kulihat adalah seseorang yang kuat, pintar, dan bangga menjadi dirinya sendiri. Dan senyum di balik kacamata tebalku ini? Itu adalah senyum kebahagiaan sejati.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image