Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Jejak Pengorbanan

Sastra | 2024-10-31 22:59:44
Dokumen Seputar Papua

Matahari pagi menembus celah-celah jendela gubuk tua, menyinari wajah Pak Ranto yang sudah dipenuhi kerutan dalam. Tangannya yang kasar dan pecah-pecah menggenggam secangkir kopi hitam, pandangannya menerawang jauh melewati ladang padi yang membentang luas.

Dulu, tanah ini adalah milik keluarganya. Setiap inci tanah ini dipenuhi kenangan manis dan pahit. Pak Ranto masih ingat betul bagaimana ayahnya dulu mengajarinya bertani, memahami setiap detak alam, dan menghormati setiap butir tanah yang memberikan kehidupan. "Nak," kata ayahnya suatu hari, "hidup ini bukan sekadar tentang menghasilkan panen, tapi tentang pengorbanan dan perjuangan yang tak kenal lelah."

Kalimat itu selalu terngiang di telinganya, bahkan ketika kehidupan mulai memaksanya untuk meninggalkan tanah kelahirannya. Krisis ekonomi telah merampas hampir seluruh miliknya. Utang demi utang menumpuk, sementara hasil panen tak lagi mampu menutupi biaya hidup. Isterinya, Pak Tini, telah pergi lima tahun lalu, meninggalkannya sendirian berjuang melawan ketidakpastian.

Anak-anaknya memilih pergi ke kota, mencari kehidupan yang lebih baik. Mereka tak ingin terperangkap dalam lingkaran kemiskinan yang sama. Nur, anak sulungnya, kini bekerja sebagai pegawai pabrik di Jakarta. Dia mengirimkan sejumlah uang setiap bulan, walau Pak Ranto tahu betul bahwa anaknya sendiri masih berjuang.

Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, Pak Ranto memulai aktivitasnya. Meskipun usia telah menggerogoti tenaganya, semangatnya tak pernah padam. Dia masih mencoba mengolah sebagian kecil lahannya yang tersisa. Hanya tersisa sekitar setengah hektar yang mampu dia garap sendiri.

Setiap langkahnya terasa berat. Tulang-tulangnya sudah tidak sekuat dulu, namun tekadnya tak pernah kendur. Dia terus melangkah, mengangkut karung pupuk, mencangkul tanah, dan menanam benih dengan penuh harap.
Tak jarang tetangga mempertanyakan mengapa dia masih bertahan. "Sudahlah, Pak Ranto," kata mereka, "lebih baik menjual tanah ini dan menikmati sisa hidupmu dengan tenang."

Tapi Pak Ranto tahu, tanah ini lebih dari sekadar sebidang lahan. Ini adalah warisan, kenangan, dan identitasnya. Setiap inci tanah ini mengandung sejarah perjuangan keluarganya. Suatu hari, ketika matahari hampir terbenam, Nur pulang. Dia terkejut melihat ayahnya yang kian renta, namun masih tegak di antara ladang yang mulai hijau.

"Ayah," katanya dengan suara bergetar, "mengapa Ayah masih bertahan?"
Pak Ranto tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Inilah perjuangan, Nak. Bukan sekadar tentang bertahan, tapi tentang makna. Setiap tetes keringat, setiap butir keringat adalah pengorbanan."

Nur menangis. Dia baru menyadari betapa besar pengorbanan ayahnya selama ini. Bukan hanya tentang menghasilkan panen, tapi tentang martabat, harga diri, dan keteguhan.

Malam itu, mereka berbincang panjang. Nur menceritakan rencananya untuk membantu ayahnya, membangun kembali lahan yang tersisa. Bukan sekadar dengan uang, tapi dengan semangat dan dedikasi.
"Hidup memang perjuangan," kata Pak Ranto, "Dan perjalanan adalah guru terbaik. Tanpa pengorbanan, kita akan tergerus oleh waktu, tersisihkan oleh mereka yang berani bermimpi dan bertindak."

Ketika cahaya bulan mulai menembus jendela gubuk tua itu, terasa ada secercah harapan baru. Bukan sekadar tentang tanah dan panen, tapi tentang spirit yang tak terpatahkan, tentang cinta yang melampaui segala keterbatasan.
Pak Ranto dan Nur saling berpelukan. Dalam pelukan itu, tidak ada kata-kata yang terucap. Hanya ada pengertian mendalam tentang perjuangan, pengorbanan, dan kebangkitan.

Hidup memang tidak mudah. Setiap langkah adalah pelajaran, setiap tantangan adalah kesempatan untuk tumbuh. Pengorbanan tidak selalu berarti kehilangan, terkadang justru menjadi pintu menuju pembaruan dan harapan.
Karena sejatinya, hidup bukan tentang berapa banyak yang kita miliki, melainkan tentang seberapa besar kita mampu bertahan dan bangkit.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image