Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Menikmati Setiap Jejak Waktu

Sastra | 2024-10-30 05:03:58
Dokumen Sukabumi Update

 

Senja itu, Kirana duduk termenung di beranda rumahnya yang sederhana. Secangkir teh hangat menemani, sementara matanya menerawang jauh ke horizon yang mulai memerah. Di tangannya, sebuah amplop cokelat berisi hasil diagnosa dokter yang baru ia terima siang tadi. Kanker stadium awal, begitu dokter menjelaskan dengan nada yang ia coba buat setenang mungkin.

"Enam bulan sampai satu tahun," bisik Kirana pada dirinya sendiri, mengulang perkataan dokter. Angin sore membelai lembut rambutnya yang mulai beruban, seolah hendak menghibur.

Tapi Kirana tidak menangis. Justru, seulas senyum tipis tersungging di bibirnya. Enam puluh tahun hidupnya telah ia jalani dengan berbagai macam perasaan - takut akan masa depan, cemas akan apa yang belum terjadi, dan sesal akan masa lalu. Kini, paradoksnya, kepastian akan batas waktunya justru memberinya keberanian untuk benar-benar hidup.

Esok paginya, Kirana bangun lebih pagi dari biasanya. Ia membuka jendela kamar lebar-lebar, membiarkan cahaya fajar yang keemasan menerobos masuk. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia benar-benar memperhatikan bagaimana matahari pagi menyentuh setiap sudut ruangan, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di dinding.

"Ma, ayo sarapan dulu," suara Rita, putri semata wayangnya, terdengar dari arah dapur.

Di meja makan, Kirana menatap nasi goreng buatan putrinya dengan mata berbinar. Dulu, ia selalu terburu-buru sarapan, bahkan sering melewatkannya karena kesibukan mengurus toko kelontong mereka. Kini, ia menyuap setiap sendok dengan perlahan, merasakan setiap bumbu yang menyatu dalam harmoni rasa.

"Ma, nasi gorengnya keasinan ya?" tanya Rita khawatir.

Kirana menggeleng, "Justru ini enak sekali, Nak. Mama baru sadar, sudah lama tidak benar-benar menikmati masakanmu."

Rita tersenyum bingung, tidak biasa melihat ibunya seperti ini. Sejak ayahnya meninggal lima tahun lalu, Kirana selalu tenggelam dalam rutinitas dan kesibukan, seolah takut berhenti sejenak untuk merasakan kesepian.

Hari-hari berikutnya, Kirana mulai melakukan hal-hal yang selama ini ia tunda. Ia mengajak Rita berkebun di halaman belakang yang selama ini terbengkalai. Setiap pagi, mereka menyiram tanaman bersama, memperhatikan bagaimana tunas-tunas muda mulai tumbuh dari tanah.

"Ma, tumben sekali Mama semangat berkebun?" tanya Rita suatu pagi.

"Mama baru sadar, Nak. Selama ini Mama selalu menunggu waktu yang tepat untuk melakukan banyak hal. Padahal, waktu yang tepat itu adalah sekarang, saat kita masih bisa menikmatinya."

Kirana juga mulai mengunjungi teman-teman lamanya. Ia menghabiskan sore yang menyenangkan bersama Tuti, sahabatnya sejak SMA yang sudah lama tidak ia temui. Mereka berbagi tawa dan cerita, mengenang masa muda mereka dengan hangat.

"Rana, kamu berbeda sekarang," ujar Tuti. "Lebih... hidup."

Kirana tersenyum, "Mungkin karena aku akhirnya belajar untuk benar-benar hadir dalam setiap momen, Tut."

Di toko kelontong, Kirana tidak lagi sekadar melayani pembeli dengan tergesa. Ia mulai mengenal mereka satu per satu, mendengarkan cerita-cerita mereka, berbagi tawa dengan anak-anak yang membeli permen.

Suatu malam, Rita menemukan ibunya sedang menulis di buku diary lamanya.

"Ma, Mama nulis apa?" "Mama sedang mencatat semua hal indah yang Mama temui hari ini," jawab Kirana sambil tersenyum. "Tadi ada Desi, anak Bu Sumi, yang akhirnya berani bicara setelah setahun lebih hanya menunjuk-nunjuk kalau mau beli sesuatu. Ada Pak Karman yang berbagi mangga dari pohonnya. Ada kupu-kupu cantik yang hinggap di bunga melati kita."

Rita duduk di samping ibunya, "Ma, Mama berbeda sekali belakangan ini. Mama seperti... lebih bahagia."

Kirana menutup bukunya, menatap putrinya dengan lembut. "Mama baru menyadari sesuatu, Nak. Selama ini, Mama selalu berpikir kebahagiaan itu ada di masa depan. Kalau sudah kaya, kalau sudah pensiun, kalau sudah ini dan itu. Padahal, kebahagiaan itu ada di sini, sekarang, dalam hal-hal sederhana yang kita jalani setiap hari."

Air mata Rita mulai menggenang, "Ma..." "Ssst," Kirana mengusap air mata putrinya. "Tidak apa-apa, Nak. Mama bahagia. Sangat bahagia."

Lima bulan kemudian, Kirana pergi dengan tenang dalam tidurnya. Di kamarnya, Rita menemukan buku diary ibunya. Halaman terakhir bertuliskan:

"Hari ini, aku menyadari bahwa cara terbaik untuk membayar semua momen indah dalam hidup adalah dengan benar-benar menikmatinya. Bukan dengan penyesalan akan masa lalu atau kecemasan akan masa depan, tapi dengan kehadiran penuh di setiap detik yang kita miliki. Karena pada akhirnya, hidup ini bukan tentang berapa lama kita ada, tapi tentang seberapa dalam kita merasakan setiap momennya. Dan aku, akhirnya, telah belajar untuk benar-benar hidup."

Rita memeluk buku itu erat-erat, air matanya mengalir deras. Tapi ada senyum di bibirnya, senyum yang sama seperti yang selalu ia lihat di wajah ibunya dalam bulan-bulan terakhirnya. Senyum yang mengatakan bahwa hidup, dengan segala keterbatasannya, adalah anugerah yang patut dirayakan dengan kesadaran penuh akan setiap detiknya.

Di luar, matahari mulai terbenam, melukis langit dengan warna-warni yang memukau. Rita membuka jendela lebar-lebar, membiarkan angin sore membelai wajahnya. Ia memejamkan mata, merasakan sepenuhnya momen ini, persis seperti yang ibunya ajarkan. Karena ia tahu, cara terbaik untuk mengenang ibunya adalah dengan melanjutkan pelajaran berharga yang ia tinggalkan: bahwa cara paling baik untuk membayar momen-momen indah adalah dengan menikmatinya sepenuh hati.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image